Lihat ke Halaman Asli

Pencatatan dalam Perkawinan

Diperbarui: 21 Februari 2024   19:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

SEJARAH PENCATATAN PERKAWINAN DI INDONESIA
A.Sebelum Lahirnya Undang-Undang Perkawinan
Untuk sebelum berlakunya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Adriaan Bedner dan Stijn van Huis menjelaskan: "Sebelum tahun 1974 penduduk Indonesia adalah tunduk pada berbagai peraturan perkawinan yang diwarisi dari pemerintah kolonial. Dengan cara yang biasanya bersifat pragmatis, Pemerintah kolonial tidak pernah berusaha untuk membawa semua warga negara di bawah satu undang-undang, melainkan hanya ikut campur dalam perihal keluarga jika dibutuhkan oleh tekanan eksternal, semisal dari gereja di Belanda yang ingin peraturan khusus untuk seluruh umat Kristen mereka di Hindia Belanda." Detail dari pluralisme hukum perkawinan tersebut juga terdapat dalam Penjelasan Umum dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Nomor 2, sebagai berikut:
a.bagi orang-orang Indonesia Asli yang beragama Islam berlaku hukum yang telah diresipiir dalam Hukum Adat.
b.bagi orang-orang Indonesia Asli lainnya berlaku Hukum Adat.
c.bagi orang-orang Indonesia Asli yang beragama Kristen berlaku Huwelijks Ordonatie Christen Indonesia (Stbl. 1933 Nomor 74).
d.bagi orang Timur Asing Cina dan warga negara Indonesia keturunan Cina berlaku ketentuan-ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata dengan sedikit perubahan.
e.bagi orang-orang Timur Asing lainnya dan warganegara Indonesia keturunan Timur Asing lainnya tersebut berlaku Hukum Adat mereka.
f.bagi orang-orang Eropa dan warga Negara Indonesia keturunan Eropa dan yang dsamakan dengan mereka berlaku Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Ketujuh hukum perkawinan tersebut, jika disimpulkan maka akan terdapat empat sistem hukum perkawinan, yaitu: (1) hukum perkawinan adat, (2) hukum perkawinan Islam, (3) KUHPerdata (BW), dan (4) Huwelijks Ordonnantie Christen- Indonesiers (HOCI). Oleh karena itu, pembahasan berikut akan terfokus pada empat sistem hukum tersebut.
B.Lahirnya Undang-Undang Perkawinan
Pada tanggal 2 Januari 1974 diundangkan sebagai Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-undang ini merupakan RUU tentang perkawinan yang diajukan oleh pemerintah pada 22 Desember 1973, yang selanjutnya diteruskan dalam Sudang Paripurna DPRK-RI. Sebagai pelaksananya. diundangkan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 

Juga dengan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Yang melatar belakangi lahirnya Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu ide unifikasi hukum dan pembaharuan hukum, ide unifikasi hukum merupakan upaya memberlakukan satu ketentuan hukum. yang bersifat nasional dan berlaku untuk semua warga Negara. Sedangkan ide pembaharuan hukum pada dasarnya berusaha menampung aspirasi emansipasi tuntutan masa kini dan menempatkan kedudukan suami dan istri dalam.

Perkawinan dalam derajat yang sama, baik terhadap hak Ketentuan pencatatan perkawinan. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan terdapat dalam Pasal 1 ayat (2), yaitu: "Tiap-tiap perkawinan dicatal memurut peraturan perundang-undangan yang berlaku." Sedangkan ketentuan instansi pelaksana pencatatan perkawinan terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, yaitu (1) Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan

Nikah, Talak dan Rujuk (2) Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama lalam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada kantor catatan sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan Sedangkan alat bukti dari adanya peristiwa perkawinan yang sah adalah Akta Perkawinan, sebagaimana ketentuan dalam Pasal 11, yaitu (1) Sesaat sesudah dilangsungkannya perkawinan sesuai dengan ketentuan- ketentuan Pasal 10 Peraturan Pemerintah ini, kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku.

(2) Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh mempelai itu, selanjutnya ditandatangani pula oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat yang menghadiri perkawinan dan bagi yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang mewakilinya. 

(3) Dengan penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah tercatat secara resmi Sedangkan ketentuan pencatatan perkawinan dalam KH adalat: 1. Tujuan pencatatan perkawinan, yaitu sebagai jaminan ketertiban perkawinan, sebagaimana dalam Pasal 5 ayat (1), yaitu: "Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat islam setiap perkawinan harus dicatat 

2. Akibat hukum perkawinan yang tidak dalam pengawasan PPN adalah tidak mempunyai kekuatan hukum, sebagaimana dalam Pasal 6, yaitu: (1) Urituk memenuhi ketentuan dalam pasal 3, setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencalat Nikah (2) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan Hukum.(3) Keberadaan akta nikah adalah sebagai bukti telah terjadi perkawinan, dan jika tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah maka dilakukan isbat nikah. oleh Pengadilan Agama, sebagaimana dalam Pasal 7 ayat (1) dan (2), yaitu (1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah (2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akata Nikah dapat diajukan itibat nikahnya ke Pengadilan Agama.

Mengapa Pencatatan Perkawinan Diperlukan?
Berikut adalah beberapa alasan mengapa pencatatan perkawinan sangat diperlukan:
 1. Bukti Sahnya Perkawinan: Akta perkawinan adalah bukti pencatatan perkawinan yang harus dimiliki oleh pasangan yang sudah melansungkan pernikahan menurut hukum dan tata acara agama. Pencatatan perkawinan sangat penting bagi kedua mempelai karena akta nikah yang mereka peroleh merupakan bukti nyata sahnya perkawinan tersebut, baik secara agama maupun secara nasional.
2. Melindungi Hak-hak Individu: Pencatatan pernikahan menjadi suatu hal yang sangat penting untuk memastikan keberlangsungan pernikahan sebagai kontrak hukum dan melindungi hak-hak individu. Pencatatan pernikahan adalah proses pendaftaran secara resmi atas ikatan pernikahan antara dua individu di hadapan pihak berwenang.
3. Menjamin Ketertiban Perkawinan: Pentingnya mencatatkan perkawinan juga tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Setiap perkawinan harus dicatat agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat. Dengan mencatatkan perkawinan, pasangan dapat menghindari berbagai masalah hukum yang mungkin timbul di kemudian hari.
4. Mengesahkan Keturunan: Dengan adanya akta nikah, pasangan juga dapat mengesahkan keturunan yang sah dari perkawinan tersebut dan memperoleh hak-hak ahli waris. Ini sangat penting untuk melindungi hak dan status anak dalam hukum dan masyarakat.
5. Membangun Dasar Hukum: Pencatatan pernikahan juga berfungsi untuk membangun dasar hukum perlindungan hak dan kesejahteraan. Dengan adanya pencatatan pernikahan, pasangan dapat menikmati berbagai hak dan perlindungan hukum, seperti hak atas harta bersama, hak asuh anak, dan lainnya.
Pencatatan perkawinan bukan hanya sekadar formalitas, tetapi merupakan langkah penting untuk memastikan sahnya perkawinan dan melindungi hak-hak pasangan dan anak-anak mereka. Oleh karena itu, setiap pasangan yang hendak menikah dianjurkan untuk melakukan pencatatan perkawinan sesuai dengan hukum dan prosedur yang berlaku.

Analisis Makna Filososif, Sosiologis, Religious Dan Yuridis Pencatatan Perkawinan
A.Filosofis : Adanya pencatatan pernikahan akan terjamin nya perlindungan terhadap status hukum suami, istri maupun anak dan perlindungan Hak hak tertentu yang timbul dari pernikahan seperti hak waris , hak akte kelahiran dan lain lain, sehingga dengan pencatatan pernikahan keluarga tersebut juga akan terjamin dari segi apapun agar terciptanya keluarga bahagia damai secara lahir maupun batin.
B.Sosiologis : Disini pihak yang melakukan perkawinan nikah siri sering kali dianggap perzinahan tanpa perikatan pernikahan, sehingga berdampak pada istri yang sulit bersosialisasi dimasyarakat, begitu halnya seperti anak yang lahir pada perkawinan yang tidak dicatat maka dianggap tidak sah secara yuridis, tetapi secara agama dianggap sah maka pentingnya pencatatan perkawinan agar tercipta nya kemaslahatan dalam masyarakat dan keluarga.
C.Religious : Perkawinan yang tidak tercatat ini menimbulkan problema hukum yang barangkali tidak terpikirkan oleh orang-orang islam pada waktu menikahkan anak perempuan yang di lakukan di bawah tangan, aspek religious islam mungkin sah namun secara yuridis tidak sah.
D.Yuridis : Secara yuridis fungsi pencatatan perkawinan ini merupakan syarat perkawinan agar mendapatkan perlindungan dan pengakuan hukum dari negara ,seperti didasarkan UU 1/1974 pencatatan perkawinan merupakan syarat formal yang harus dilaksankan agar suatu perkawinan diakui keabsahan nya sebagai perbuatan hukum yang harus dijamin dan dilindungi oleh negara.

Pendapat Kelompok Tentang Pentingnya Pencatatan Perkawinan Dan Dampak Yang Terjadi Tidak Sosiologis, Religious, Yuridis?
Menurut pendapat kelompok kami pencatatan perkawinan itu sangat penting. Karena, perkawinan yang sah bukan hanya sah menurut ketentuan agama, tetapi juga harus sesuai dengan hukum negara. 

Perkawinan yang sah menurut hukum negara, wajib dilaporkan dan tercatat pada instansi yang berwenang. Namun demikian, kesadaran masyarakat untuk mengurus akta perkawinan atau mencatatkannya masih rendah. Rendahnya kesadaran tersebut dapat dilihat dengan seringnya terjadi keterlambatan dalam mengurusnya. Mereka cendrung baru mengurusnya apabila saat diperlukan.
Lantas apa dampaknya jika perkawinan tidak dicatatkan? Burhanuddin mengatakan, meskipun perkawinan tersebut menurut agama sah, namun menurut hukum negara dianggap tidak sah. "Di mata negara sebuah perkawinan dianggap tidak sah jika belum dicatat oleh Kantor Urusan Agama (untuk muslim) atau Kantor Catatan Sipil (untuk non muslim). Kemudian, anak yang lahir dari perkawinan yang tidak tercatat sesuai hukum negara, hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline