Lihat ke Halaman Asli

Review Skripsi

Diperbarui: 4 Juni 2024   23:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Risma Wahdani (222121072)//HKI 4B

Putusan Hakim pengadilan agama bekasi tentang pembatalan perkawinan karena mahar imitasi perspektif maslahah
      (Studi putusan pengadilan agama bekasi nomor 2699/Pdt.G/2018/PA.Bks) /Aldhila Paramitha

Pendahuluan

Setiap orang memiliki keinginan dan keinginan untuk hidup berkelompok dan berdampingan dengan orang lain. Ini dicapai melalui pernikahan antara seorang pria dan seorang wanita. Selain sebagai kebutuhan pemenuhan hajat hidup manusia, perkawinan merupakan salah satu bentuk Sunnatullah yang berlaku universal pada semua ciptaan Tuhan, baik manusia maupun hewan dan tumbuhan. Pernikahan adalah cara yang dipilih Tuhan untuk memiliki anak, melahirkan dan mempertahankan daya tahan tubuh seseorang.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, "perkawinan" berasal dari kata "kawin", artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis; menikah atau menikah; untuk seks dan hubungan intim. Sedangkan menurut literatur fikih, pernikahan atau perkawinan dilambangkan dengan dua kata yaitu nikah dan zawaj. Kedua kata ini tidak hanya digunakan dalam kehidupan sehari-hari orang Arab, tetapi juga banyak digunakan dalam Al-Qur'an dan Hadits Nabi. , dimana kata Al-Nikah dan Al-Zawaj secara etimologis dapat berarti sebagai berikut:

al-Dhammu wa al-Jam'u (bersatu atau terkumpul), al-Wath'i (kawin). Menurut Syara, perkawinan adalah akad agama antara seorang pria dan seorang wanita yang tujuannya untuk saling memuaskan dan membentuk bahtera rumah tangga.

Selain itu, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan adalah persatuan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal, yaitu berdasarkan keyakinan oleh Tuhan Yang Maha Esa Untuk pengertian perkawinan menurut Pasal 1 UU No. 1.1 Tahun 1974, dalam kaitannya dengan perkawinan harus ada hubungan lahiriah dan hubungan batiniah, keduanya harus ada.

Ikatan lahir adalah ikatan yang kelihatan, ikatan yang benar, mengungkapkan adanya hubungan antara seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri. Sebaliknya, ikatan batin adalah ikatan yang tidak dapat dilihat tetapi hanya dirasakan oleh kedua pasangan, seperti saling cinta, kasih sayang dan kepercayaan. Sekalipun tidak nyata, ia pasti ada, karena tanpa keterikatan lahir dan batin ia menjadi rapuh."

Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan yang bersangkutan dan setiap perkawinan dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dan pelaksanaannya juga harus memenuhi segala syarat pernikahan.

Jika perkawinan itu tidak memenuhi syarat dan syarat, maka Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 22 Perkawinan batal.

Jika suatu perkawinan telah dilangsungkan sementara itu dan ternyata telah terjadi pelanggaran terhadap undang-undang perkawinan, maka pengadilan agama dapat membubarkan perkawinan itu atas permintaan pihak yang bersangkutan. Dengan demikian, suatu perkawinan dapat dibatalkan dan batal demi hukum. Namun, pembatalan tidak selalu dikabulkan, karena dalam kasus-kasus tertentu hakim biasanya bertujuan agar pemohon mencabut permohonan pembatalan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline