Lihat ke Halaman Asli

Mimpi yang Tertunda

Diperbarui: 25 Juni 2015   20:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Gelap dan tenang. Itulah yang seketika aku rasakan dalam beberapa menit setelah membuka mata dari tidur panjangku. Mata yang seolah hampir tidak mampu untuk bergerak ini memaksa aku untuk tetap terbangun dan berharap ada sepatah dua kata yang mampu aku ucapkan. Terlihat sekelompok orang yang berdiri di depanku, batinku mengatakan siapakah mereka itu. Perlahan aku mampu menggerakkan tubuhku, kemudian datang seorang ibu yang dengan seketika memeluk tubuhku erat sambil menangis dan berkata “Roy kamu sudah sadar nak”.

“Oh tuhan, dialah ibuku” ucapku pelan.

Setelah tahu bahwa aku baru saja terbangun dari tidur panjang selama tiga minggu. Dalam istilahnya, aku mengalami koma dan hampir tidak bernyawa. Tiba-tiba teringat bahwa dalam beberapa minggu kemarin, aku mengalami kecelakaan besar di dalam perjalanan menuju sekolah. Ceritanya begini. Malamnya aku di telepon pak Hendri, guru olah raga yang sekaligus juga pelatih bola yang memerintahkan aku untuk berangkat sekolah lebih awal, karena ada persiapan khusus sebelum bertanding melawan sekolah tetangga.

“Roy, ini saya pak Hendri. Tolong besok kamu dan teman-teman datang lebih awal, karena ada beberapa gerakan tambahan yang harus saya masukan dalam permainan kalian.” Tutur pak Hendri

“Baik pak, aku akan hubungi teman-teman yang lain” jawabku singkat.

Dan dari situlah, maut mendatangikudalam perjalanan yang hanya terhitung beberapa menit saja.

Kemudian aku menggerakkan kaki kananku yang memang dari awalnya sudah terasa lebih ringan di banding dengan kaki kiriku yang masih berat untuk di gerakkan.

“Ibu, apa yang terjadi dengan kakiku.” Aku panik dan ketakutan

Tanpa menunggu jawaban ibu, aku dengan segera bangun dan sedikit kesakitan di kaki kananku, perlahan aku membuka kain panjang putih yang terbentang dan sedang menutupi kakiku. Seketika tubuhku bergemetar, aku tak kuasa menahan tangis yang hampir saja kuluapkan. Disana aku melihat kaki kananku telah hilang, entah di bawa kemana. Seluruh anggota keluarga yang saat itu melihat keberadaanku juga ikut berisakan tangis.

“Sudahlah Roy, kamu memang harus ditakdirkan untuk seperti ini.” Kata ibu sambil memelukku.

“Tidaaaaaaaaaaaaaakkkkk..........” teriakanku meluap

“Aku tidak ingin cacat, bagaimana dengan pertandinganku.”

“Roy, maafkan ibu. Hanya itu jalan yang terbaik untuk kamu. Kakimu telah membusuk, dokter hanya bisa untuk mengambil cara ini demi keselamatan kamu Roy.”

Balutan itu tidak mampu mengembalikan kakikku seperti semula, yah aku tahu itu. Dan butuh beberapa tahun untuk bisa menerima keadaan ini.

Hari ini awal aku bersekolah. Dengan keadaan yang berbeda dengan sebelumnya. Tentu saja dengan tanpa kaki kananku. Dengan modal tongkat seadanya, aku di bantu beberapa teman menuju ruang kelas. Jujur, aku malu dengan kondisiku seperti ini. Bukankah aku lebih pantas berada di sekolah luar biasa, tempat anak-anak penyandang cacat. Banyak yang memandangku dengan wajah iba, terutama teman-teman club sepak bola di sekolah. Bahkan di antara mereka sempat menangis ketika aku harus berjalan dengan satu kaki. Jelas sudah, tanpa pengunduran diri atau di keluarkan dari club, aku tidak bisa terlibat untuk bermain bola lagi. Apalagi dalam perlombaan. Bola adalah masa depanku. Karena bermain sepak bola, aku banyak di gemari teman-teman dan guru di sekolah. karena dalam pertandingan setiap eventnya, aku yang paling sering mencetak gol terbanyak. Hobbi yang sudah ada sejak kecil ini mampu membawa namaku harum di kalangan sekitarku. Terutama di sekolah.

Ketika melihat teman-teman bertanding, rasanya ingin disana bersama mereka. Kakiku terasa ingin melangkah dan mengayun seperti layaknya aku bermain bola. Tapi semua itu tidak mungkin, bagaimana bisa aku bermain dengan satu kaki saja. Apalagi dengan bantuan tongkat.

“Jangan mimpi yah bisa jadi jagoan lagi.” Ucap Doni yang tiba-tiba datang dari arah belakang.

Doni adalah pemain kedua yang menjadi favorit para guru setelah aku berhenti bermain dalam pertandingan. Ia begitu membenciku. Karena selalu saja ada pujian-pujian yang datang dari guru atau teman-teman untukku. Doni iri dengan semua itu. Termasuk karena aku yang paling di senangi pak Hendri. Aku sadar, semua ini hanya bakat dan kemampuanku saja. Tapi karena kerja keras lah aku mampu membawa diriku hingga mengalami kelumpuhan seumur hidup seperti ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline