Entah mengapa, malam ini aku tak begitu semangat melayani nafsu para pria hidung belang. Padahal, pada akhir pekan seperti ini, kesempatanku untuk mendapatkan uang sebanyak mungkin sangatlah besar.
Badanku sungguh letih, sepertinya besok aku akan berlibur sejenak dari aktifitas busuk ini. Aku menelepon ibuku dan memintanya untuk menghubungi Mbah Karti, tukang pijat urat langgananku. Pijatan Mbah Karti sangat nyaman, tidak terasa sakit. Tangannya yang sudah terlihat keriput masih lihai dan bertenaga. Pijatannya mampu membuat badanku terasa segar dan menghilangkan stres dan penat di kepalaku.
Tetapi sesungguhnya, bukan itu alasan utamaku ingin segera pulang dan menyudahi pekerjaanku malam ini. Perasaanku tidak enak, entahlah. Seperti ada sesuatu yang buruk yang hendak menimpaku. Aku tak ingin terlalu lama berandai-andai. Untuk itu, malam ini aku hanya melayani lima orang saja. Biasanya, ketika akhir pekan seperti sekarang, aku sanggup melayani sepuluh orang pria dan membawa pulang uang dalam jumlah yang banyak. Apalagi jika ada yang memintaku untuk menemani tidur di hotel. Long time service. Tarifku bisa jauh lebih mahal lagi. Untuk menemani tidur, aku meminta bayaran satu juta rupiah. Tidak termasuk biaya hotel. Tapi khusus malam ini, lima orang saja sudah cukup. Memang, banyak yang kecewa, terutama bagi yang memintaku untuk menemani mereka tidur di hotel. Aku menolaknya dengan alasan tidak enak badan.
**
Aku masuk kedalam kamar setelah sebelumnya duduk di teras depan losmen. Kututup pintu kamarku, kubersihkan riasan tebal di mukaku. Aku tidak mandi, nanti saja di rumah pikirku. Segera ku bereskan barang-barang bawaanku, tissue, kondom dan alat-alat make up yang selalu ku bawa kemanapun aku pergi.
“Mir, Mirna. Kamu lagi ngapain? Kok pintu kamar di tutup. Ini ada yang nyariin kamu, cowok ganteng lho. Ayo, buruan keluar…!” Terdengar suara mami Sarah memanggilku dari luar kamar. Ia tidak tahu kalau aku akan pulang lebih cepat dari biasanya. Dia pasti akan bertanya-tanya.
“Sebentar mi, aku lagi beres-beres. Aku mau pulang mi, gak nerima tamu lagi. Mas-nya suruh balik besok lagi aja. Aku gak enak badan..!” Aku menjawab panggilan mami Sarah dengan setengah berteriak.
“Loh, koe ngopo kok pengen pulang? Iki isih ono sing ngantri mir. Piye to koe nduk?” Benar dugaanku, mami pasti akan bertanya-tanya. Dia pasti akan kecewa, karena malam ini begitu ramai, dan aku adalah anak kesayangannya, karena aku-lah yang akan memberinya pemasukan paling banyak dibandingkan anak-anaknya yang lain.
“Aku ga enak badan mi, sepertinya mau sakit.”
Tidak ada jawaban lagi dari mami Sarah. Mungkin dia telah menyuruh pria tadi untuk mencari perempuan yang lain. Aku sedikit tidak enak dengan mami Sarah. Ah, tapi sudahlah, tak perlu aku memikirkannya. Aku lalu melanjutkan pekerjaan membereskan barang-barang bawaanku yang tadi sempat tertunda karena mami Sarah memanggilku. Baru saja hendak memasukkan barang yang terakhir ke dalam tas, mami Sarah kembali mengetuk pintu kamarku.
“Mir, coba kamu keluar dulu, ini liat cowoknya dulu. Kamu pasti suka. Aku udah di kasih duit Mir..” Mami sarah mencoba merayuku.