Lihat ke Halaman Asli

Mirna dan Dosa (Emak Ros)

Diperbarui: 26 Juni 2015   08:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Sekarang hari Sabtu, dan awal bulan. Salon pasti sangat ramai. Banyak pria-pria hidung belang yang baru menerima gaji dan menghamburkan sebagian gaji mereka, untuk kepuasan nafsu birahinya.

Salon ini memang sudah terkenal di seantero Jogja. Mulai dari pejabat, pegawai negeri, sampai mahasiswa pernah berkunjung ke salon ini. Namun aku lebih memilih melayani pejabat dan pria-pria paruh baya, disamping memiliki banyak uang, biasanya mereka tidak terlalu banyak maunya. Beda dengan mahasiswa, selain selalu menawar dan banyak maunya, aku juga merasa kasihan dengan mereka. Menggunakan sebagian uang makan-nya hanya untuk kenikmatan sesaat.

Pernah sekali waktu aku mendapatkan seorang pelanggan dari kalangan mahasiswa. Orangnya lumayan ganteng, berkulit putih dan terlihat glamor. Sebelum ke tahap berikutnya, biasanya aku melakukan pijatan kepada para pelanggan, karena memang, sesungguhnya pelayanan yang di tawarkan adalah pelayanan pijat. Selanjutnya, pintar-pintar kita untuk merayu pelanggan agar mau mengeluarkan uangnya lagi untuk pelayanan “plus-plus”.

Aku sendiri tak pandai memijat, bahkan tidak bisa memijat sama sekali. Sesungguhnya yang kulakukan itu bukanlah pijatan, melainkan sentuhan-sentuhan halus yang dapat membangkitkan syahwat para pria tersebut. Mulai dari punggung, pantat hingga selangkangan mereka. Bahkan tidak segan-segan aku menyentuh bagian paling sensitif dari tubuh pria, yaitu penisnya. Aku yakin sentuhan-sentuhan itu akan membuat mereka penasaran, sehingga menginginkan yang lebih daripada sekedar pijat.

Mahasiswa itu terlihat sangat menikmati pijatan lembut yang kuberikan. Sesekali, tangannya yang jahil ingin meraba payudaraku, yang memang sengaja agak ku tonjolkan. Tetapi segera kutepis tangannya.

“ Kalau untuk yang itu, ada biaya tambahannya mas..” Ujarku.

“ Kalau main berapa mba? ” Dengan muka penasaran, ia bertanya.

“ 300 ribu mas, sudah ama pijet..”

“ Wah kok mahal mba? Gak bisa kurang po? ” Dia coba menawar.

“ Gak bisa mas, emang segitu harganya. Kalau pijit saja cuma 50ribu mas…”

“ 250 ya mba? Duit saya pas-pasan nih..”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline