(Gambar : BEM UI menolak Reklamasi, sumber : Facebook)
Reklamasi Teluk Jakarta mungkin sekarang menjadi hot topic di Medsos, dan apapun topik yang melibatkan Ahok pasti akan jadi trending topic, entah ini tradisi atau apa, mengingat no one gives a damn tentang Reklamasi yang ada di Bali dan beberapa wacana di daerah lain. Hal ini menunjukkan Reklamasi ini kental dengan politik, dan dimana ada politik, pasti semut-semut muncul. Dan seperti biasa, hanya butuh seorang Ahok, untuk orang apatis dan deadbeat melakukan Henshin! menjadi ahli politik, ahli etika, dan ahli sains (gadungan).
Salah satu yang masuk dalam kelompok ini adalah orang yang saya katakan kelompok 'Phobia Reklamasi'. Intensitas kelompok ini banyak, mulai dari orang yang tanpa rasa malu menunjukkan mereka menyukai SARA dalam kata-kata mereka dan orang yang masih bisa ditoleransi karena masih ada teknis dan rasionalitas dalam argumen mereka. Hanya yang pasti, kedua kelompok ini harum dengan dasar ideologi yang menurut terlalu kaku, dibandingkan sifat visioner dan rasionalitas yang dibutuhkan dalam pembangunan.
Dua tipe ini berbeda, orang-orang yang saya sebut pertama dengan polosnya mengatakan gamblang, bahwa alasan mereka menolak Reklamasi bekisar antara konspirasi Chinese Daratan yang ingin menguasai Indonesia hingga argumen dasar seperti cukong atau taipan atau 9 naga atau apa sajalah. Anda bisa klik search di Facebook 'Reklamasi Teluk Jakarta' dan pilih tab 'Latest', banyak yang akan menglink tulisannya Karni Ilyas di sini. Sementara orang yang kedua masih memiliki phobia ringan, hanya masih memakai otaknya, hanya argumennya lemah dan kurang konkrit. Orang yang masuk di sini mungkin Mahasiswa UI di atas dan orang seperti Rizal Ramli yang masih at least memutar otaknya.
Kelompok 'Phobia Reklamasi' ini mengulang tanpa henti argumen yang sama, saya pernah berdebat dengan orang di Medsos yang seperti ini, yang mennurut saya phobianya level intermediate, dimana lagu lama 'Lingkungan, Nelayan, dan Hukum' diulang-ulang tanpa henti. Tapi tentu saja, dia tidak bisa menjabarkan alasannya secara konkrit. Saat itu saya yakin kalau kelompok phobia reklamasi ini mayoritas tidak memiliki alasan teknis dan rasional yang konkrit untuk menolak, instead mereka mengandalkan abstrak dan menekan 'risk' yang akan dihadapi proyek itu. Tidak lain bukan karena rasionalitas, tapi karena Ideologi mereka. Mereka juga kesannya ingin dodging away manfaat Reklamasi seperti oportunitas bisnis dan chain reaction ekonomi Jakarta yang sampai cukup detail.
Ideologi mereka adalah tipikal sosialisme akut yang terlalu menekan ekualitas. Konservatif Amerika yang Kapitalis kuat, pernah menyindir sistem Sosialis adalah 'equally shared misery', dan ini adalah main force ideologi mereka menolak, sayangnya bukan rasionalitas dan prinsip untung-ruginya bagi masyarakat yang menjadi prinsip pembangunan. Itu sebabnya mereka tersandung dan tidak siap saat ada yang bertanya soal teknis dan prinsip untung-rugi, karena memang mereka mungkin malas atau takut studi dasar tentang hal seperti itu, karena memang revenue Reklamasi Teluk Jakarta pun diakui menggiurkan, bahkan oleh yang kontra-reklamasi. Ideologi mereka kental dilihat dalam sikap anti-cukong, proyek ini menguntungkan orang kaya bla bla bla, dan tidak sesuai dengan nawacita, atau argumen-argumen tipikal 'aktivis' lainnya.
Argumen mereka pun tidak cukup baik kualitasnya, mereka kesannya meng-ignore nilai plus dari Reklamasi sendiri, yaitu faktanya bahwa Jakarta itu lebih kompleks dari daerah apapun yang mereka tinggal. Sebagai orang yang menyenggol ilmu bisnis di UI, kita tahu bahwa money is what makes things move. Anda tidak bisa menganggap remeh potensi bisnis di Jakarta. Bisnis lukratif, suka atau tidak suka, menimbulkan chain reaction yang positif di daerah yang termasuk surga bisnis macam Jakarta. Berbeda dengan anggapan umum Reklamasi adalah tindakan yang hanya menguntungkan orang-orang berduit, cipratan ke kalangan menengah dan bawah sebenarnya sangat signifikan.
Katakanlah ada tempat bisnis seperti mall di situ, pasti ada toko yang membuka bisnis di situ, contohnya McDonalds, KFC, Burger King, dsb. Anda bisa menyerap at least 10-20 fresh meat per outlet, dan jika ada 100 outlet, sudah 2000 orang mendapatkan kerja. Inilah salah satu 'cipratan' itu. Belum lagi, orang-orang berpendidikan tinggi bisa dapat kerja yang layak dengan pendidikan mereka. Inipun belum ditambah cost pajak bisnis lukratif yang relatif tinggi dan bisa menjadi revenue ke Pemda DKI sendiri.
Ironisnya, kelompok yang mereka tidak sukai sebenarnya adalah yang secara tidak langsung menopang hidup oeang kecil, dengan memberikan pekerjaan pada mereka. Anda usaha Warmindo? Barangnya dari Taipan Indofood? Bisnis kuota Internet? Barangnya dari Taipan Grup Sinarmas. Podomoro, Kapuk Naga, dan Developers seperti inipun, suka atau tidak suka, tidak terlepas dari pembangunan. Mereka adalah orang yang memberikan jantung bisnis di mana-mana : PELANGGAN. Tanpa ada pelanggan, bisnis tidak akan berjalan dan kegiatan ekonomi akan stagnan, dan hal ini berimbas pada makroekonomi negara kita.
Pemikiran yang cenderung ideologik dan aktivis ini memang erat dengan cara berfikir mahasiswa yang masih naif dan labil. BEM UI yang demo ini juga mewakili ideologi mereka. Dari sejak saya kuliah di UI, banyak anggota di BEM seluruh UI adalah golongan konservatif kanan, bukan rahasia juga kalau mereka semua seringkali memiliki ideologi keagamaan yang kental, mungkin karena mereka cenderung dididik dengan ideologi seperti itu. Argumen mereka pun cenderung abstŕak ketimbang BEM yang lebih 'liberal' seperti FEB dan FT, mungkin karena memang jarang dari mereka yang bergabung ke BEM UI.
Pemikiran labil seperti ini, menurut saya akan harmful di long run. Mengingat pembangunan yang semakin pesat di Jakarta dan konsentrasi penduduk yang besar, sebenarnya untuk jangka panjang, hal ini lebih bermanfaat untuk dilakukan daripada tidak, apalagi pergerakan pendidikan Jakarta pun positif dengan pace yang cepat sejak hadirnya KJP di Jakarta, begitu juga dengan kesadaran akan pentingnya membuat usaha sendiri.