Lihat ke Halaman Asli

Topi Santa: Kultural, Bukan Religius

Diperbarui: 17 Juni 2015   14:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Natal kembali lagi, dan natal bukanlah natal Indonesia tanpa larangan memakai atribut natal oleh ultra-fundamentalis. Secara fundamentalis, saya biasa saja dengan larangan ucapan selamat natal, karena kita memang harus menghormati paham agamik orang masing-masing.

Tapi ada yang menarik, kalau hal seperti itu oke saja dilarang, karena paham religi masing-masing, tapi yang baru di sini adalah melarang SESEORANG memakai atribut kultural yang dekat dengan tradisi Natal.

Pertama saya akan menjelaskan arti kultural tersebut. Kultural dapat dikatakan sebagai 'identitas' seseorang dalam suatu daerah tertentu (terj. bebas dari dictionary.com), yang berkaitan dengan kustom. Kustom ini terkadang dekat dengan tradisi lainnya yang membentuk suku : 'AGAMA' atau religion.

Contoh kultural yang berkaitan dengan agama lainnya adalah :

1. Misteri Tangkuban Perahu, Hikayat Asal Usul suatu tempat (Danau Toba, Gunung Merapi, dll), bisa dikatakan figur mitos seperti Roro Mendut, Ratu Pantai Selatan, dan lainnya adalah bagian dari 'kultur' Indonesia, kultur2 ini berkaitan dengan 'animistik', dan memakai pakaian daerah yang dilestarikan hingga sekarang.

2. Kultur Arab 1001 malam, yang direferensikan bahkan di komik Doraemon. Kultur ini memiliki religi Islamik, dengan penyebutan Sultan Harun Al Rasyid (Kaliph Abbasid), monster seperti ghoul dan makhluk religi yang diakui agama seperti Jin. Tentu saja, meskipun ini kultur agamik, tetap orang di situ memakai 'atribut' yang dekat dengan budaya Arab seperti kerudung, Turban, dan pakaian yang biasa dipakai oleh 'habib' di Indonesia.

3. Kultur budaya lain yang mengalami perubahan utilitas penyembahan seperti tarian, alat musik bedug (animisme indonesia dan india), ketupat (malaysia dan etnis filipina), dan Baju Koko (China, dengan nama 'koko')

Sinterklaas atau St Claus adalah salah satu di atas itu, hanya budaya ini dekat banyaknya dengan barat, khususnya Jerman. Sinterklaas sendiri adalah seorang santo dari Jerman yang dijadikan folklore atau dongeng berdasarkan orang yang nyata, dan konteks ini, meskipun awalnya kental dengan agama, berevolusi menjadi 'kultural' Barat. Sama seperti Sultan Harun Al Rashid, Sinterklaas adalah dongeng yang berdasarkan living figur historis.

Yang masalah di sini adalah, masalah mengenakan topi sinterklaas itu adalah masalah paham pribadi menurut saya. Ada memang orang Kristen di sekeliling saya (Chinese) yang menolak Imlek karena kental dengan kultur Kong Hu Chu. Namun Chinese New Year yang diperingati sekarang adalah kultural, dengan beberapa aspek ajaran filosofik China. Namun kami sekeluarga tidak pernah menganggap Chinese New Year adalah religious tetapi KULTURAL yang menafikkan budaya China. Jadi keluarga saya, meskipun Protestan yang konservatif, masih merayakan imlek.

Di sini, orang fanatik memang sulit membuktikan mana yang 'kultural' dan yang 'religius'. Jika menunjuk pada kaitan orsinilitas, maka sewajarnya Bedug, Ketupat, dan bahkan gamis dan turban harus dilarang pula, karena dekat dengan budaya paganisme yang mengalami perubahan utilitas.

Begitu pula sinterklaas, meskipun dekat dengan budaya Natal, Sinterklaas sendiri adalah alkulturasi budaya 'Kristen' yang kebetulan dimasukkan ke dalam natal, meskipun awalnya, sinterklaas adalah folklore yang diperingati setiap 6 Desember (Hari St. Claus). Karena tidak mungkin unsur religi, adalah seorang berjanggut, yang naik 'slide' dengan ditarik Rusa, dan membawa mainan yang dibuat oleh 'elf', maka sinterklaas bukanlah religi seperti yang dikatakan, tetapi murni kultur dan FOLKLORE.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline