Lihat ke Halaman Asli

Sudahkah Indonesia Terbuka Terhadap LGBT?

Diperbarui: 26 Februari 2016   23:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Mereka yang lesbian, gay, bisexual maupun transgender tetap merupakan manusia biasa"][/caption]Kasus LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, dan Transgender) selalu menjadi topik yang kontroversial khususnya di Indonesia. Hal ini banyak menimbulkan pro dan kontra dari banyak pihak, mulai dari ranah pemerintahan hingga level masyarakat awam. Kasus ini sebaiknya tidak dipandang sebelah mata dan hanya dilihat dari satu sisi saja. Banyak fakta yang bisa dikaitkan dengan masalah ini serta banyak juga pendapat dari berbagai pihak yang patut untuk dipertimbangkan.


Tidak dapat dipungkiri bahwa pihak-pihak yang tergolong LGBT sebenarnya tetap hanyalah manusia biasa yang berhak hidup dengan damai dan tenteram di negaranya sendiri. Mereka adalah orang-orang yang memiliki hati, memiliki perasaan, juga dapat jatuh cinta pada orang lain sama seperti kaum Heteroseksual . Perbedaan hanya terletak pada “pasangan” yang mereka sukai. Oleh sebab itu, kaum LGBT tidak seharusnya menerima intimidasi atau merasa seperti tengah terancam oleh masyarakat maupun lembaga – lembaga kenegaraan khusus.


Ada beberapa opini yang beredar dimasyarakat dan mayoritas dari opini – opini tersebut mengatakan bahwa LBGT dapat menular kepada orang-orang yang berada disekitarnya atau yang menjadi temannya. Hal ini menyebabkan masyarakat berasumsi kalau beberapa kaum LBGT memiliki kecenderungan untuk mempengaruhi orang-orang disekitarnya atau mem-brain wash. Padahal menurut kami, yang cukup berbahaya sebenarnya bukanlah pelaku LBGT tersebut, melainkan korbannya. Karena korban LBGT memiliki kemampuan untuk mempengaruhi orang lain sehingga menghasilkan banyak korban lainnya.


Sederhananya, berhubung kami mempunyai beberapa teman yang terang - terangan mengaku kalau mereka termasuk kedalam kaum lgbt. Kami tidak setuju apabila ada beberapa pernyataan yang menganggap bahwa lgbt itu menular seperti virus. Karena dari beberapa teman tersebut, kami belajar kalau "kasarnya" mereka tidak akan mengganggu orang - orang yang berorientasi seksual normal. Mereka malah mempunyai tingkat sensitivitas dan kepekaan yang muncul secara batiniah yang biasa mereka gunakan untuk mendeteksi mana - mana saja orang yang sama seperti mereka.


Namun, bukankah pada dasarnya semua umat manusia ditakdirkan untuk menjadi sama dan serupa? Tetap sama - sama bernafas dengan oksigen, sama - sama masih makan nasi dan sama - sama berpijak pada bumi yang sama. Hanya saja yang patut disayangkan adalah kebanyakan orang dari umat peradaban manusia masih suka menciptakan dan memunculkan perbedaan - perbedaan itu.


Padahal, dinegara maju seperti Amerika Serikat saja sudah berhasil memenuhi salah satu tuntutan kelompok LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender) yang telah lama mereka perjuangkan, yaitu pernikahan sejenis yang nantinya akan mendukung eksistensi kelompok ini. Keputusan ini menjadi kemenangan dan menjadi babak baru perjalanan kaum LGBT di Amerika bahkan di SELURUH dunia.


Tapi pada saat yang bersamaan, di negara kita Indonesia ini yang mengaku hidup dalam budaya bhineka tunggal ika, segala topik pemberitaan dimedia yang menyangkut LGBT seringnya akan langsung menjadi topik yang sangat sensitive dan memiliki tone negatif. Contohnya pada peresmian kampus baru Universitas PGRI Semarang (UPGRIS) 2 Januari 2016 lalu, Menristek-dikti, M. Nasir, menyatakan bahwa kelompok LGBT dilarang berada dalam lingkungan kampus. Beberapa waktu lalu, NU juga ikut mendeklerasikan penolakkan terhadap LGBT.


Sebelum menulis artikel ini, kami sempat melakukan sebuah riset singkat yang dilakukan melalui media internet, kami menemukan salah satu tokoh masyarakat yang termasuk dalam kaum lgbt serta mendukung lgbt dan bisa dianggap lebih sukses dibandingkan kebanyakan orang yang berorientasi seksual normal.


Sosok tersebut adalah Bapak Hamzah pemilik restoran House of Raminten dan toko batik Mirota di Jogja. Beliau dengan terang - terangan menyatakan pada salah satu jurnalis yang pernah mewawancarainya terlebih dahulu kalau dia lebih suka dipanggil Raminten saja karena dia merupakan salah satu orang yang transgender. Bahkan di restorannya, sesekali pada hari - hari tertentu, dia suka mengadakan kabaret dimana kabaret tersebut kebanyakan diperankan oleh mereka yang transgender. Walaupun bersifat kontraversial tapi pementasan kabaret tersebut malah disukai oleh banyak orang termasuk wisatawan asing yang tentu akan menciptakan pundi - pundi uang baru bagi Raminten dan pegawainya.


Raminten atau Bapak Hamzah sendiri merupakan sosok yang sangat baik. Kami yakin menyebut beliau baik karena dia sangat memperhatikan kesejahteraan semua pekerjanya. Dia yang juga pernag berprofesi sebagai seniman bahkan dengan tidak segan - segan mau memperkerjakan mereka yang berbeda. Ia bahkan terlihat cukup cuek dengan komentar orang dan malah memberi pekerjaan dan kesempatan untuk mengembangkan diri bagi mereka penganut lgbt. Walaupun dia dicap buruk karena terkesan mendukung lgbt, tapi Raminten menjadi penguasa Mirota batik dan resto - resto House of Raminten.


Contoh kasus diatas menjelaskan jelas kalau mereka yang lgbt tetap bisa membantu menjalankan roda perekonomian indonesia, bukan? Dan ini juga menerangkan kalau tidak semua penganut lgbt itu selalu melambangkan semua keburukan dan hal - hal negatif.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline