Pada suatu sore ,seorang manajer pajak ingin membuka komputer stafnya di kantor untuk melihat rekapan bukti potong pajak. Kebetulan stafnya tidak masuk kantor sehingga manajer itu menelpon stafnya.
Manajer " Hallo "
Staff " Hallo Pak"
Manajer " Komputermu dipasang password yah?"
Staff " Iya Pak, agar tidak dilihat orang lain"
Manajer " Tolong beritahu saya passwordnya"
Staff " Bayarpajak,Pak"
Manajer " Lho, kok passwordnya Bayarpajak?"
Staff "Justru password itu yang paling susah ditebak karena tidak ada yang suka penghasilannya dipotong untuk bayar pajak"
Jika kita membicarakan pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima, maka hal ini merupakan penerapan kebijakan witholding tax yang berlaku di Indonesia. Dalam kebijakan tersebut, pemerintah memberikan kepercayaan kepada wajib pajak untuk melakukan pemotongan/pemungutan pajak atas penghasilan yang dibayarkan kepada penerima penghasilan dan sekaligus menyetorkan ke kas negara. Pada satu sisi, hal ini akan menimbulkan kerumitan bagi wajib pajak pemotong karena kewajiban administrasi perpajakannya akan bertambah rumit. Namun di sisi yang lain, pajak dibayar pada saat penghasilan diterima melalui pemotongan sudah menjadi kebiasaan, jika penghasilan telah diterima maka penerima penghasilan mungkin akan lupa untuk membayar pajak. Dengan sistem pemotongan pajak, maka penerimaan negara dari pajak dapat dioptimalkan. Sebagai bukti pertanggungjawaban bahwa jumlah yang dipotong dari penghasilan telah disetorkan ke kas negara, maka pemotong pajak akan memberikan bukti potong kepada pihak penerima penghasilan yang dipotong. Dalam artikel ini, akan dibahas bukti potong witholding tax yaitu bukti potong PPh pasal 23 dan PPh pasal 26.
Berdasarkan Pasal 1 ayat 11 Peraturan Direktur Jendral Pajak (Per Dirjen) nomor PER-04/PJ/2017, bukti pemotongan PPh pasal 23 dan/atau PPh pasal 26 adalah formulir/dokumen lain yang dipersamakan yang digunakan oleh pemotong pajak sebagai bukti pemotongan PPh pasal 23 dan/atau pasal 26 dan pertanggungjawaban atas pemotongan PPh pasal 23 dan/atau pasal 26 yang dilakukan. PPh pasal 23 adalah pajak yang dipotong atas penghasilan yang berasal dari modal, penyerahan jasa atau hadiah dan penghargaan, bonus dan sejenisnya selain yang telah dipotong PPh pasal 21. Berdasarkan Pasal 23 Undang-Undang nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan UU nomor 36 tahun 2008 (UU PPh), jenis penghasilan yang dikenakan PPh pasal 23 beserta tarif pemotongan antara lain:
- Dividen (tarif 15%)
- Bunga termasuk premium, diskonto dan imbalan karena jaminan pengembalian hutang (tarif 15%)
- Royalti (tarif 15%)
- Hadiah, penghargaan, bonus dan sejenisnya selain yang telah dipotong PPh pasal 21 (tarif 15%)
- Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali yang telah dikenakan PPh pasal 4 ayat 2 (tarif 2%)
- Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh pasal 21 (tarif 2%). Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 141/PMK.03/2015, terdapat 62 jenis jasa lain yang termasuk objek PPh pasal 23.