Lihat ke Halaman Asli

Steven Gerrard

Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, S1 Informatika

Pentingkah Transformasi Kendaraan Listrik untuk Kelas Menengah?

Diperbarui: 8 September 2024   00:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Otomotif. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Terhimpit. Satu kata yang menggambarkan kelompok pendapatan kelas menengah di Indonesia saat ini. “Kelas menengah” dan “menuju kelas menengah” memang memiliki kecukupan finansial di atas kebutuhan dasar. Namun, ini tidak berarti mereka memiliki kesejahteraan yang memadai dalam aspek lain. Mereka yang termasuk kelompok kelas menengah memiliki pendapatan Rp 1,2 juta - 6 juta, sedangkan kelompok “menuju menengah” memiliki pendapatan Rp 532 ribu - 1,2 juta(1).

Badan Pusat Statistik (BPS) melalui hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2021 mengatakan bahwa 69 dari 100 penduduk Indonesia adalah kelompok penduduk menuju menengah(2). Beberapa ekonom, termasuk dari LPEM UI, memperkirakan bahwa jumlah “kelas menengah” di Indonesia akan terus menurun menjadi “menuju kelas menengah”. Sepanjang tahun 2018-2023, proporsi kelas menengah berkurang dari 23 persen menjadi sekitar 17-18 persen(3). Penurunan ini tengah menjadi perhatian sebab dua kelompok tersebut merupakan pendorong konsumsi yang penting bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Nasib pekerja kelas menengah makin nestapa karena bertambahnya rupa-rupa potongan gaji dan biaya hidup yang semakin mahal. Wacana Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) sudah mereda, kini pekerja kelas menengah kembali dibayangi rencana kebijakan asuransi wajib kendaraan bermotor atau Third Party Liability (TPL). Belum lagi harus menghadapi wacana penghapusan bahan bakar subsidi jenis pertalite yang sudah menjadi pembahasan pemerintah sejak Agustus 2023 lalu. Jika bahan bakar jenis pertalite dihapus maka harga bahan pokok akan melambung, membuat kebutuhan pokok bagi kelompok “menengah” dan “menuju menengah” tidak terjangkau.

Belum selesai dengan masalah tersebut, pemerintah Indonesia seolah mendorong kelas menengah untuk beralih ke kendaraan listrik melalui penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) No. 79 Tahun 2023. Perpres tersebut bertujuan mempercepat adopsi kendaraan bermotor listrik berbasis baterai di Indonesia. Kebijakan ini mencakup berbagai insentif, seperti pengurangan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), pembebasan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) untuk kendaraan listrik di beberapa daerah. Melalui kebijakan ini, pemerintah berharap kelas menengah dapat beralih ke kendaraan listrik sebab biaya administrasinya jauh lebih terjangkau dibandingkan dengan kendaraan bermotor.

Dengan dalih ramah lingkungan dan juga biaya-biaya lain yang lebih terjangkau pemerintah terus mengampanyekan penggunaan kendaraan listrik. Lihat saja pada acara KTT G20 Bali, Indonesia berhasil menarik perhatian investor global dengan potensi besar yang dimilikinya untuk mengembangkan industri kendaraan listrik. Seluruh mobil resmi pada perhelatan tersebut menggunakan mobil listrik mulai dari Wuling Air Ev hingga Hyundai Genesis G80 Special Edition yang dikhususkan untuk para kepala negara.

Konversi ke kendaraan listrik di Indonesia sejatinya masih menemui jalan berbatu. Hasil riset Institute for Essential Services Reform (IESR) pada tahun 2024 mengungkapkan beberapa fakta kurang sedap perihal ide konversi kendaraan listrik ini. Infrastruktur masih menjadi kendala utama. Masyarakat acap kali kesulitan menemukan Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU), 71,2 persen responden dari penelitian IESR menyetujui hal tersebut. Kondisi tersebut sejalan dengan tingginya mobilitas kelompok kelas menengah yang membutuhkan stasiun pengisian bahan bakar lebih banyak.

Kelompok kelas menengah di Indonesia cenderung punya sifat mobilitas tinggi. Biaya perumahan yang terjangkau acap kali hanya tersedia di pinggiran kota sedangkan lapangan kerja umumnya akan banyak tersedia di wilayah perkotaan, hal tersebut membuat kelas menengah selain membutuhkan transportasi yang murah juga ketersediaan infrastruktur pendukung yang memadai. Jika yang digaungkan adalah biaya operasional yang lebih minim, maka pada konteks ini tidak bisa dipenuhi oleh pemerintah.

Penggantian baterai dan masalah operasional menjadi kendala utama berikutnya yang dinyatakan oleh 46,6 persen responden IESR. Masyarakat menengah khususnya dihadapkan pada pilihan yang pelik perihal transformasi ini. Baterai mobil listrik biasanya perlu diganti setiap 10 hingga 15 tahun atau setara 200 ribu kilometer. Biayanya pun tidak murah bisa mencapai sekitar 30 persen sampai 50 persen dari harga baru kendaraannya(3). Untuk kelompok kelas menengah yang “mendang-mending” tentu masalah ini menjadi masalah yang serius sebab kendaraan bukan satu-satunya permasalahan ekonomi kelas menengah. Selain baterai, masih ada durasi pengisian daya, performa, ketahanan, dan keamanan yang menjadi pertimbangan kelompok kelas menengah untuk adopsi kendaraan listrik secara luas.

Masih pada masalah biaya, di Indonesia harga kendaraan listrik dan suku cadangnya relatif lebih mahal jika dibandingkan dengan harga negara lain, terutama negara-negara pusat industri kendaraan listrik berasal. Misalnya Wuling Air Ev di negara asalnya dibanderol dengan harga sekitar 146 juta, sedangkan di Indonesia sekitar 243 juta. Komponen utama dengan biaya produksi paling tinggi dari kendaraan listrik adalah baterai lithium-ion dan Indonesia belum mampu untuk memproduksi sendiri.

Padahal, Indonesia diperkirakan memiliki sekitar 21 juta ton cadangan nikel, dimana angka tersebut merupakan 23% dari total cadangan nikel dunia. Nikel merupakan senyawa kimia yang berperan penting dalam baterai lithium-ion. Bahkan pada tahun 2023, Indonesia kembali menegaskan posisinya yang strategis dalam industri baterai kendaraan listrik yang sedang berkembang pesat yaitu dengan memproduksi nikel sebanyak 3,6 juta metrik ton dan berada pada urutan pertama negara penghasil nikel.

Menilik lebih dalam, emisi nol pada kendaraan listrik juga cukup kontroversial di dunia internasional akhir-akhir ini. Kendaraan listrik memang memiliki gas buang nol dan disambut baik oleh banyak pihak. Namun, menjelang konferensi listrik Cop26 di Glasgow, Volvo merilis bahwa emisi dari pembuatan kendaraan listrik 70 persen lebih tinggi dari kendaraan berbahan bakar bensin(4). Baterai lithium-ion selain dibuat dengan energi yang besar, sangat berat, juga memiliki karakter yang tidak terurai sehingga penggunaan kendaraan listrik untuk klaim melawan krisis iklim perlu dikaji kembali.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline