Lihat ke Halaman Asli

Agung Budi Santoso

Konsultan teknik dan penulis lepas tinggal di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah

Surat Cintaku di Hari Valentine

Diperbarui: 17 Juni 2015   11:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Selembar kertas HVS sudah ada di depan mataku. Dan sebatang ballpoint juga sudah aku pegang. Namun aku belum juga menulis. Kertas itu masih kosong. Sebenarnya ada banyak kisah berkecamuk di dalam otakku. Tapi tetap saja aku belum bisa menulis.

“Mengapa belum kau tuliskan goresan tinta di atas kertas itu, sayang ?” tanya istriku.

“Tidak tahu. Aku mendadak buntu gak ada ide untuk menulis ketika berada dekat di sampingmu.”

“Kan kamu bisa saja menulis kisah-kisah kita dulu sewaktu masih pacaran.”

Istriku kembali memberiku semangat untuk menulis.

”Tidak sayang. Aku ingin menulis hal yang berbeda. Kisah kita tidak ada yang menarik untuk ditulis di secarik kertas ini.”

”Lalu, kapan kau akan menulis ?” Istriku bertanya lagi.

”Entahlah aku hanya ingin menghisap sebatang rokok saat ada di dekatmu. Mungkin setelah kau tidur aku baru bisa menulis.”

”Ah, kamu ini aneh, Mas.”

Istriku mendadak protes. Dia mulai sewot. Karena gara-gara ia berada di sampingku aku jadi buntu gak ada ide buat menulis.

“Maafkan aku sayang, saat kau ada di sampingku ...Aku hanya ingin memandang parasmu yang cantik sambil minum kopi dan sedikit menghisap rokok.”

“OK, kalau begitu aku mau tidur saja. Biar kamu ada ide untuk menulis.”

Istriku nampaknya sudah mulai bosan menemani aku di ruang kerja. Dia lantas pergi ke kamar dan beranjak ingin tidur. Kini aku sendirian di ruang kerja. Hanya secangkir kopi dan sebungkus rokok saja yang menjadi temanku malam ini.

Sudah tiga puluh menit istriku beranjak tidur. Namun aku juga belum menulis. Kertas HVS yang ada di depanku belum tergores oleh tinta ballpoint yang aku pegang. Aku malah memainkan ballpoint yang aku pegang. Aku putar-putar dengan jariku dengan sesekali aku menyeruput secangkir kopi yang ada di atas meja. Sejenak imajinasiku melayang. Aku melamun. Membayangkan masa-masa pacaran. Ya, memang benar kata istriku. Aku bisa saja menuliskan kisah romantisku ketika masih pacaran. Tapi batinku menolak. Aku tak mampu melukiskan kisah romatisku saat pacaran dengannya. Aku pun tertidur. Entah pukul berapa aku mulai tertidur.

***

Menjelang subuh aku terbangun. Kertas HVS ini masih kosong. Putih bersih tanpa goresan tinta ballpoint. Tiba-tiba aku ingin menulis surat. Ya, aku menulis surat. Tepatnya surat cinta. Dan ketika nanti istriku terbangun paling tidak aku sudah memberikan sebuah tulisan. Istriku merindukan aku menulis cerpen atau novel. Tapi aku rasa saat ini bukan saat yang tepat. Aku pun mulai menulis surat cinta. Tepatnya surat cinta ketika aku pertama mulai mengenalnya. Aku pernah mengalami LDR dengan istriku. Tepatnya sepuluh tahun yang lalu ketika aku masih kuliah di luar kota. Dan tak berapa lama tanganku mulai lincah menggoreskan tinta di atas kertas HVS. Tak butuh lama. Karena ketika ide menulis datang, biasanya aku begitu cepat dalam menulis. Istriku sudah bangun dan menghampiriku di ruang kerja.

”Mas, kamu sudah menulis ?” tanya istriku lagi.

”Sudah.” Aku menjawab pertanyaan istriku. ”Tapi kali ini aku tidak menulis cerpen atau novel.”

”Lalu apa yang kau tulis ?”

”Aku menulis surat. Surat cinta untuk mantan kekasihku.”

”Apa ? Kamu diam-diam pacaran lagi ya ?”

“Ya, memangnya aku gak boleh menulis surat cinta buat mantan kekasihku ?” protesku di depan istriku.

“Coba berikan padaku, aku ingin membacanya.”

”Silakan saja baca sendiri.”

Istriku mulai merebut kertas HVS yang ada di atas meja. Lalu ia mulai membaca.

Untuk mantan kekasihku,

Sayang, malam ini adalah malam hari kasih sayang. Maafkan aku. Di hari ini tak ada sebatang coklat. Coklat kasih sayang yang seperti biasanya aku berikan kepadamu. Namun sebagai gantinya, aku hanya bisa menuliskan surat cinta ini. Supaya kau baca dan kau resapi. Bahwa aku masih tetap mencintaimu sampai kapan pun. Kalau seandainya sebatang coklat aku berikan saat ini. Aku takut. Cinta kita hanya sebatas panjangnya batang coklat. Namun lewat surat ini. Cintaku suci. Putih bersih seperti bersihnya kertas HVS ini. Dan setelah kugoreskan tinta di atas kertas HVS ini semoga cintaku membekas abadi di lubuk hatimu. Sayang, sekali lagi sebagai ganti coklat valentine. Sudilah kiranya kau menerima surat cinta ini.

Dari mantan kekasihmu,

Aditya

Setelah membaca isi surat cinta itu tiba-tiba istriku mau merobeknya.

“Eit, mau kau apakan surat itu ? Mau kamu robek ?”

”Ya, aku mau merobeknya. Toh surat itu bukan untukku.”

”Sabar dulu, apakah kamu tidak membaca ? Surat itu untuk mantan kekasihku.”

”Ya, buat apa kau perhatian sekali dengan mantan kekasihmu ?”

Sejenak aku diam. Dan aku mulai menjelaskan kepada istriku, bahwa mantan kekasih itu adalah istriku sendiri.

”Apa kau tak menyadari bahwa kau sekarang sudah menjadi mantan kekasihku ? Karena kau sudah aku pinang menjadi istriku tiga tahun lalu ?”

Istriku pun batal merobek surat cinta itu. Ia mulai melupakan isi surat itu. Kini hanya pelukan istriku yang aku dapatkan. Perlahan ia berucap lirih di telingaku.

”Sayang...coklat valentine sudah habis. Kini hanya cinta kita yang ada di rumah ini.”

Aku pun semakin erat membalas pelukan istriku. Selamat pagi sayang. Selamat valentine, walau sebatang coklat tak hadir di depan matamu.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline