Lihat ke Halaman Asli

Pasar Anyar Tangerang Tempo Dulu

Diperbarui: 17 Juni 2015   08:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rumah kami di Pasar Anyar, Tangerang. Bukan didalam pasar, tetapi didekatnya. Pasarnya sendiri kira-kira 100 meter di sebelah barat rumah kami. Saya biasa disuruh ibu belanja ke pasar, beli bahan sayur asem, gula, ikan asin.

Tepat dipinggir pasar ada rumah besar yang kami sebut pabrik topi. Sebenarnya bukan pabrik, tetapi pengumpul topi anyaman bambu. Topi-topi anyaman bambu yang rumbainya masih panjang datang dalam karung dengan becak. Topi-topi ini masih basah, lalu dijemur dengan menggelarnya sepanjang pinggir jalan pabrik topi. Ada petugas yang membolak-balik topi selama dijemur. Kalau hujan, beberapa petugas sibuk menumpuk topi-topi itu untuk diselamatkan dari air hujan.

Kadang terlihat seseorang sedang memotong rumbai-rumbai topi yang sudah kering dengan golok. Topi yang sudah dipotong rumbainya ini sepertinya dikirim lagi ke tempat lain untuk finishing. Sebagian akan menjadi topi pramuka, sebagian lagi jadi topi biasa. Saya punya satu.

Saya senang kalau disuruh ibu belanja ke pasar. Kecuali dipesan agar segera kembali, karena belanjaannya penting untuk melengkapi proses masak yang sedang berlangsung, atau saya sendiri yang harus segera memasaknya, sayur asem, saya hampir selalu mengelilingi pasar terlebih dahulu sebelum membeli pesanan ibu. Diajari ibu, bumbu sayur asem untuk satu panci sedang itu begini: bawang merah tiga siung, kemiri tiga butir, lengkuas tiga senti, terasi segumpal kecil, garam satu sendok makan, gula pasir setengah sendok makan, buah asam muda empat batang, ditumbuk dalam lumpang sampai agak halus. Kalau ada, cabe merah ikut ditumbuk. Gula pasir bisa diganti dengan sebongkah gula merah. Asam muda bisa diganti dengan sebongkah asam jawa. Kalau salah satu dari dua yang terakhir ini digunakan, atau kedua-duanya, kuah sayur asem jadi gelap. Enaknya sama. Bumbu yang sudah ditumbuk dimasukkan kedalam rebusan sayuran yang sedang mendidih.

Saya suka melihat tandanan pisang yang bergelantungan di los pisang. Berbagai jenis pisang, yang kuning, hijau, hitam. Sebagian sudah dipotong-potong, sehingga tidak tandanan lagi, tetapi sisir. Yang masih hijau digelar di tanah, yang sudah matang biasanya digantung dengan tali asin atau tali gedebog pisang. Tali asin adalah tali yang berasal dari daun sejenis rumput yang tumbuh di rawa, dijemur, warnanya kehijauan, panjangnya satu meteran. Tali asin kurang kuat. Tali gedebog pisang lebih kuat, terbuat dari suiran gedebog pisang yang juga dikeringkan dengan di jemur, sehingga warnanya jadi coklat. Tali asin rasanya tidak benar-benar asin.

Bahan sayur asem yang saya beli, melinjo, daun melinjo, kacang panjang, kacang tanah, potongan nangka muda, potongan pepaya muda, buah asem muda, disatukan, biasanya dibungkus dengan sehelai daun teratai atau beberapa helai daun waru. Lalu diikat dengan tali asin.

Saya juga senang melihat peralatan di toko kelontong, terutama yang menjual peralatan dari bambu dan kayu. Tampah, bakul nasi, sapu lidi, sapu ijuk, sikat ijuk, ayakan, penggilesan (papan cuci), irus (sendok sayur dari tempurung), centong (sendok nasi dari tempurung), coet dan ulekan batu, lumpang batu. Ember terbuat dari seng. Dandang ada yang terbuat dari seng, ada yang tembaga. Alumunium belum populer. Plastik masih mahal.

Toko kelontong juga menjual lampu tempel, atau lampu teplok, atau lampu semprong. Lampu ini terbuat dari berbagai bahan. Tempat bahan bakar biasanya terbuat dari kaca yang berwarna hijau. Bahan bakarnya minyak tanah. Mekanisme untuk mengatur nyala api, yakni memanjangkan atau memendekkan sumbu, terbuat dari kuningan. Pelindung nyala api disebut semprong, terbuat dari kaca bening. Itulah sebabnya kami menyebutnya lampu semprong. Lalu ada reflektor cahaya sekaligus penggantung lampu, kebanyakan di samping, tapi ada juga yang di atas semprong, terbuat dari kombinasi pelat baja, pelat seng, dan kawat. Lampu ini disangkutkan pada paku di tiang atau ditembok, sehingga ia nempel atau neplok di situ.

Di rumah kami mungkin ada enam atau tujuh lampu tempel. Saya kerap kebagian membesihkan semprong pada sore hari, sekaligus mengisikan minyak tanah ke lampu yang sudah kosong. Rumah kami ada listriknya, tapi tidak selalu menyala. Mungkin hanya menyala tiga atau empat hari saja dalam seminggu. Saya memecahkan beberapa semprong. Begitu pula abang saya. Bukan disengaja.

Biasanya minyak tanah dijajakan oleh penjual minyak keliling kampung kami. Tapi suatu kali kami harus antri di depot minyak untuk mendapatkan 20 liter minyak tanah. Untuk menghemat ongkos, minyak tanah dalam jeriken hasil antrian kami bawa dengan sepeda. Abang saya menuntun sepeda, saya memegangi jeriken yang kami taruh di atas goncengan sepeda. Hampir sampai di rumah, saya lengah, jeriken jatuh menimpa jempol kaki kanan saya. Saya telanjang kaki. Kuku jempol kaki saya mendongak dari belakang. Saya menangis kesakitan. Tetangga menolong membawakan jeriken minyak ke dapur rumah kami, saya berjalan pincang mengikuti abang saya yang menuntun sepeda.

Melihat jempol kaki saya ibu istigfar. Ibu mengambil beberapa butir cabe rawit, menggerusnya sebentar. Cabe gerusan dibungkus dengan kain perban. Lalu sekeliling kuku jempol kaki saya diolesi minyak kelapa. Bungkusan cabe diletakkan tepat diatas kuku yang mendongak. Ditekan sedikit, kukunya kembali ke tempat semula. Cabe dan jempol dibebat dengan perban. Besoknya ibu minta ijin sakit satu hari ke sekolah untuk saya. Hari berikutnya saya sekolah dengan mengenakan sandal jepit. Hari ke tiga bungkusan jempol saya dibuka, cabenya sudah kering, begitu juga lukanya. Dua hari kemudian kukunya lepas. Jempol tanpa kuku kelihatannya jelek. Kuku jempol saya tumbuh lagi, tapi tidak sebagus yang sebelumnya.

Ibu bilang, pengobatan dengan cabe ini khusus untuk luka kecil yang tidak banyak mengeluarkan darah. Minyak kelapa melindungi bagian yang tidak luka dari kepanasan oleh cabe. Cabe tidak menambah rasa sakit atau pedih pada luka. Saya merasakannya sendiri.

Saya juga senang ke toko yang menjual gula merah dan ikan asin. Saya bisa mencicipi lelehan atau serpihan gula merah yang dijual. Toko ikan asin juga selalu menawarkan untuk mencicipi teri asin dari Medan yang katanya tidak perlu digoreng lagi. Namanya teri mambo. Memang enak.

Sampai kelas dua SD, saya belum bisa membaca dengan  lancar. Apalagi menulis. Saya lebih suka menggambar. Tapi nilai rapor saya baik-baik saja, tidak ada yang merah.

Kelas tiga, pada rapor caturwulan pertama, ada dua yang merah. Berhitung dan menulis. Nilainya 5. Ibu marah besar. Saya tidak boleh sekolah selama seminggu, dan tiap hari diajari sendiri menulis dan berhitung oleh ibu. Dulu, sebelum menikah, ibu memang guru SR (Sekolah Rakyat, sekarang menjadi SD).

Enam hari diajari ibu menulis dan berhitung ini sebenarnya menyenangkan, karena saya tidak perlu berjalan kaki berpanas-panas pergi dan pulang sekolah. Sekolah saya memang cuma sekitar 2 kilometer dari rumah. Dan saya mengenakan topi bambu. Begitu pula abang saya.

Pak Guru dan bu Guru di sekolah tidak pernah mencubit atau menyakiti saya dengan cara apapun. Tetapi selama seminggu belajar di rumah, ibu mencubit dan menjewer saya kalau tidak puas dengan tulisan tangan dan jawaban berhitung saya. Acuan menulis bagus yang harus saya ikuti adalah tulisan tangan ayah yang memang bagus sekali. Ayah saya kidal, karena saya lihat beliau menggergaji dan memegang palu selalu dengan tangan kiri. Tetapi beliau menulis dengan tangan kanan, dan tulisannya bagus sekali. Ayah menulis dengan pulpen, saya menulis dengan potlot. Tidak mungkin sama. Ibu memberi saya pulpen, mereknya Tatung. Tulisan saya dengan Tatung menghasilkan cubitan lagi dari ibu.

Selama belajar langsung kepada ibu, tugas sore hari membersihkan lampu semprong dan menggembala kambing tidak boleh ditinggalkan.

Sore hari saya dan abang saya menggembala kambing. Saya dan abang saya masing-masing punya dua ekor kambing, pemberian kakek. Kandangnya di depan rumah, di bawah pohon mangga. Ayah dan kakek bersama-sama membuat kandangnya dari bambu, seperti rumah panggung. Lantainya terbuat dari anyaman bilah bambu, di beberapa tempat sengaja direnggangkan supaya kotoran kambing bisa langsung jatuh ke tanah. Akibatnya kadang kambing-kambing kami terperosok. Kamar tidur kakek berada paling dekat dengan kandang kambing, dan beliau tidak keberatan dengan baunya.

Kami menggembalakan kambing kami ke lapangan dan tegalan yang tidak jauh dari rumah, sore hari. Mula-mula kami harus menuntun kambing-kambing kami ke lapangan, melepaskannya di sana, lalu menuntun kembali mereka pulang. Lama-kelamaan kambing kami bisa berjalan sendiri ke lapangan rumput dan pulang sendiri sore hari. Kami menyabit rumput dan mengambil dedaunan untuk kambing kami makan pagi dan siang. Dalam setahun kambing kami berlipat dua.

Di tegalan, saya dan abang saya dan sesama penggembala yang lain, kadang mencari buah yang dapat dimakan dari pohon dan tanaman rambat liar. Salah satunya adalah buah makanan ular. Seseorang menyebutnya begitu, padahal kami tahu ular makanannya tikus. Pohonnya merambat, seperti ubi jalar, buahnya sebesar biji kedelai, terbungkus kulit hijau tipis yang menggelembung seperti balon. Kalau kulitnya sudah berwarna kekuningan, buahnya berwarna merah dan manis. Baunya kurang enak.

Kami menyukai buah seri, ada yang menyebutnya kersen. Kalau sedang musim, tidak perlu memanjat, buah yang sudah matang tinggal memungut saja di tanah, merah dan manis, ada yang sampai sebesar kelereng.

Padi muda juga enak. Ini adalah padi yang belum muncul keluar, tapi masih berada di dalam batangnya. Padi bunting. Kami tahu mengambil padi bunting adalah kejahatan, karena padi bukan tanaman liar, ada pemiliknya. Tapi padi muda ini bulirnya berisi air  yang rasanya manis menyegarkan. Kami pikir, satu atau dua batang yang kami makan tak akan berdampak pada panen. Maafkan kami, pak Tani.

Suatu minggu pagi, ketika kami sedang menuntun kambing kami menuju tegalan di belakang gereja di pinggir kali, kami lihat orang berkerumun di depan gereja. Orang-orang berkerumun mengelilingi sebuah mobil sedan berwarna putih. Mobil Amerika, tak ada rodanya. Katanya, mobil ini didorong maling dari rumah pemiliknya ke sini untuk dicuri rodanya. Maling yang aneh. Ini peristiwa besar. Tak lama datang anggota polisi.

Saya dan kawan-kawan kembali ke tegalan, mencari tawon hitam yang punggungnya berbulu kuning. Kami menggunakan pohon perdu yang kami cabut sebagai pemukul untuk melumpuhkan tawon. Kalau tidak kami bisa disengat. Setelah didapat, kepala tawon itu akan kami copot dengan hati-hati dari badannya. Kalau beruntung, di kepalanya akan bergantung kantong kecil berisi setetes cairan manis, mungkin madu. Kalau tidak, kantongnya kempes. Kami melahap kantong yang berisi madu, membuang yang kempes. Sadis, ya.

Sekolah kami terletak di pinggir alun-alun. Alun-alun ini digunakan untuk berbagai upacara dan latihan. Juga berkemah. Kadang menjadi markas sementara tentara atau polisi yang berlatih. Beberpa kali saya melihat pasukan berseragam hijau dengan senjata laras panjang berbaris dan beristirahat di alun-alun. Saya terkesan dengan penampilan mereka. Saya dengar mereka anggota OKD. Saya sempat bercita-cita menjadi OKD. OKD bukan polisi atau tentara, tetapi ternyata Organisasi Keamanan Desa.

Prestasi akademis saya di kelas empat jauh lebih baik dari sebelumnya. Mungkin akibat gojlokan seminggu dari ibu saya akibat nilai merah di kelas tiga. Sekolah kami mulai menerapkan peringkat murid di kelas setiap caturwulan, berdasarkan jumlah nilai rapor. Saya selalu berada di lima terbaik.

Naik ke kelas lima, prestasi saya melesat hebat. Saya selalu nomor satu. Pelajaran yang nilainya biasanya tidak mungkin melebihi delapan, yaitu menggambar, nilai di rapor saya sembilan, tiga catur wulan terus menerus. Jangan heran, wali kelas saya di kelas lima adalah paman saya. Adik sepupu ibu. Paman mungkin berlebihan memberi saya nilai fantastis untuk menggambar, tetapi ia tidak mungkin memberikan nilai sesuka hati untuk pelajaran yang penilaiannya terukur, seperti berhitung dan pengetahuan umum. Kenyataannya saya juga mendapat nilai fantastis untuk mata pelajaran itu. Saya rupanya memang pintar saat itu.

Seorang paman lain, guru juga, tetapi bukan di sekolah saya, waktu saya kelas lima menghadiahi saya sebuah buku bersampul biru polos, sekitar seratus halaman tebalnya, judulnya SCIENCE. Pada waktu itu saya tidak tahu bagaimana membaca judulnya. Tetapi isinya bahasa Indonesia sepenuhnya, mengenai tokoh-tokoh bersejarah seperti Archimedes, Franklin, Bell, Marconi, Edison. Saya belum bisa memahami isinya, tetapi saya sangat terkesan dengan buku itu. Penulisnya saya lupa, dan buku itu  hilang pada sekitar pemberontakan G30S PKI.

Ayah adalah salah seorang pengurus sepak bola kabupaten. Kalau tidak salah jabatannya sekertaris. Oleh karena itu kami anak-anaknya dibuatkan kartu gratis menonton bola. Orang-orang menyebutnya prekar. Terbuat dari karton seukuran kartupos, isinya diketik dengan mesin tik Remington, lalu dilipat dua. Ayah membubuhkan tandatangan dan memberi stempel di atasnya. Dengan kartu sakti ini saya bisa masuk stadion bola di kampung kami tanpa membeli karcis.

Stadion adalah lapangan bola yang dikelilingi dinding bambu, yang dibangun setiap ada kompetisi. Pintu utamanya adalah jembatan saluran irigasi. Loket karcis ada di pinggir jalan, petugas penyobek karcis berdiri di ujung jembatan sebelum menyeberang ke stadion.

Tapi saya dan abang saya tidak suka masuk ke stadion melalui jalur resmi ini, kecuali kalau pergi menonton bareng ayah. Dengan gerombolan penggemar sepak bola lainnya yang tidak mau membayar karcis, kami akan menyeberangi kali irigasi dari tempat yang agak jauh dari stadion, lalu mendatangi stadion dari belakang. Kami akan menemukan celah dinding bambu yang bisa kami jadikan jalan masuk. Kalau tidak ada, kami akan membuatnya. Stadion sama sekali tidak memiliki pengamanan.

Tak sampai satu kilometer ke selatan rumah kami, menyebrangi jalan kereta, ada rumah kawin orang Tionghoa. Dikenal sebagai rumah cokek. Soalnya, setiap ada perayaan perkawinan di sini, selalu ada cokek. Cokek adalah perempuan muda yang akan menemani pengunjung yang berminat, laki-laki maupun perempuan, untuk berjoget atau ngibing, diiringi gambang kromong. Setelah puas ngibing pengunjung akan memberikan persenan kepada cokek yang menemaninya ngibing. Pengunjung laki-laki, ada yang mengenakan piyama, biasanya ngibing dengan setengah mabuk karena minum arak terus menerus.

Rumah cokek ini dindingnya hanya di bagian belakang dimana mempelai bertahta. Tiga sisi lainnya hanya berpagar kayu. Cokek manggung di sisi depan. Kalau ada acara, jalan di sekeliling rumah cokek akan dipenuhi para penjual jajanan, makanan, minuman, dan mainan. Anak-anak akan berkerumun dekat panggung cokek, menikmati kelakuan para pemabuk dan lenggang lenggok cokek. Situasinya kadang lucu, kadang menyebalkan. Musiknya juga, yang didominasi suara rebab cina, atau erhu, bisa menggelikan, bisa membosankan.

Prestasi akademis saya di kelas enam tetap tinggi. Selesai ujian akhir SD saya yakin saya mendapat nilai tinggi untuk berhitung. Sayang ujian itu dinyatakan bocor, sehingga harus diulang. Saya agak kecewa, karena saya jadi tidak yakin hasilnya akan sebaik ujian yang bocor itu. Tapi saya lulus juga dengan nilai yang tidak memalukan.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline