Saudi Arabia merupakan negara di Timur Tengah yang memiliki posisi penting dalam pasar minyak global, hal ini dapat dibuktikan dengan cadangan minyak mentah terbukti mencapai 297,6 miliar barel yang mempresentasikan 17 persen dari total cadangan minyak dunia. Pada tahun 2019 Saudi Arabia mampu memproduksi 11,8 juta barel perhari minyak mentah, campuran dan kondensat tidak campur dan gas alam cair. Dengan besarnya produksi minyak mentah yang dihasilkan, Arab mengekspor sebagain besar produksi minyak mentahnya yang sekaligus menjadikan Saudi Arabia memiliki posisi dominan dalam perdagangan internasional.
Dalam urusan kebutuhan domestik Saudi Arabia menerapkan kebijakan menfaaatkan minyak dengan harga yang relatif murah. Minyak mentah di Saudi Arabia termasuk yang termurah didunia untuk ditemukan, dikembangkan dan menghasilkan. Hal ini berbeda dengan kondisi negara-negara penghasil minyak lainya seperti Iran, Irak, Libya dan Venezuela yang relative mengalami berbagai konflik, instabilitas politik dan terkena sanksi internasional.
Bisnis minyak Saudi Arabia selama ini dikendalikan oleh BUMN Arab Bernama Aramco yang dibawah naungan Kerajaan Saudi. Aramco mengintegrasikan sektor hulu dengan asset penyulingan dan hilirbaik didalam negeri kerajaan maupun di luar negeri.Arab Saudi juga memiliki posisi yang sangat penting di organisasi OPEC baik yang terkait dengan pemotongan produksi guna menyeimbangkan pasar ataupun peningkatan produksi untuk mengantisipasi gangguan produksi di tempat lain.
Meskipun di Saudi Arabia relatif aman dari gangguan produksi yang diakibatkan oleh stabilitas politik dan sanksi internasional, Kerjaan Saudi harus waspada dengan berbagai ancaman serangan militer yang berasal dari pemberontak di negara tetangga. Pada bulan Maret 2022 tercatat bahwa KIlang Minyak Saudi Arabia di Riyadh diserang oleh pesawat tanpa awak atau drone yang memicu kebakaran kecil tetapi belum menggangu pasokan minyak. Sebelumnya pada bulan September 2019 juga pernah terjadi serangan pada kilang minyak Aramco di Khuras. Dalang dari serangan pesawat tanpa awak tersebut adalah pemberonatak Houthi di Yaman yang didukung oleh negara Iran yang beraliran Syiah Islam.
Rentetan kejadian tersebut mengharuskan Saudi Arabia untuk melindungi fasilitas kilang minyaknya, karena sedikit saja terjadi gangguan pasokan minyak Saudi akan berakibat pada stabilitas harga minyak dunia. Sebenarnya Kerjaaan Saudi telah memiliki sistem pertahanan bernilai miliaran dollar untuk membeli peralatan militer dari Amerika Serikat khususnya baterai sistem pertahanan udara Patriot dari Saudi tapi nyatanya masih kecolongan serangan drone.
Sehingga pihak kerajaan membeli 1,050 rudal canggih buatan Bpeing yang terdiri dari 650 rudal jelajah SLAM ER dan 400 rudal antikapal Harpoon Block II dengan transakis lebih dari 2 miliar dollar AS. Proposal pembelian senjata tersebut telah disetujui oleh parlemen AS pada bulan Mei 2020.
Tapi dibalik kebijakan kerajaan Saudi untuk memperkuat perlindungan terhadap fasilitas kilang minyaknya, pihak pemerintahan Saudi terlah menyiapkan kebijakan alternatif utntuk mengurangi ketergantungan pada bisnis minyak. Pemerintah Saudi Arabia mulai terbuka dengan mencanangkan program reformasi Visi 2030, salah satunya adalah pada bidang pariwisata.
Program ini dicanangkan oelh Putera Mahkota Mohammed bis Salman untuk menfurangi ketergantungan pemasukan negara dari sektor perminyakan dan penyelenggaraan ibadah haji dan umroh. Kini berbagai kebijakan baru diluncurkan yang berisi kelonggaran-kelonggaran yang selama ini tidak diberikan untuk lebih menggiatkan perekonomian negara Saudi. Seperti dikutip dari berbagai media, Komisi Arab Saudi untuk pariwisata mengupload pertauran baru yang membuat pemerintah Saudi terbuka antara lain pertauran tentang hiburan, kelonggaran berpakaian dan lain lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H