Lihat ke Halaman Asli

Belajar dari Benteng Somba Opu

Diperbarui: 26 Juni 2015   10:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

(Semua orang bisa membangun, tetapi hanya orang cerdas yang mampu memelihara.)


Beberapa pesan dengan catatan penting masuk ke email saya. Baru membaca subyeknya, rasa dingin dan menyakitkan sudah menyebar ke seluruh tubuh. Satu lagi cerita penzaliman terhadap peninggalan bersejarah yang menjadi pusaka bangsa! Memilukan, karena mereka yang pertama menunjukkan keprihatianan adalah rekan-rekan komunitas pemerhatinon Indonesia. Mereka bilang “tolong bantu kami untuk membicarakan masalah ini”! Ada rasa malu, marah dan sesal menjadi satu menghadapi situasi yang sulit digambarkan, yang terjadi justru ketika orang-orang rindu dan mengedepankan nostalgia masa lalu.

Tengoklah berbagai acara seremonial dari hari jadi propinsi atau hari jadi kota-kota di Sulawesi Selatan, bahkan sekedar pada acara resepsi pengantin. Umumnya penampilan sebagai orang penting yang punya jaringan dengan kejayaan masa lalu, ditunjukkan dengan kerelaan mengeluarkan biaya hingga milyaran rupiah membeli barang imitasi pernak-pernik monarki sebagai pembungkus tubuh Mereka mengundang para juru kamera untuk merekam adegan ketika memasuki ruangan dengan wibawa raja diraja, diiringi umbul-umbul, tarian kebesaran dan puja-puji para punakawan. Mereka meminta penulis terkenal untuk mengarang buku yang memperlihatkan pohon silsilah, agar masyarakat luas tahu bahwa mereka punya garis darah langsung dengan kerajaan-kerajaan hebat di masa lalu. Sebuah cita-cita yang sederhana, yang sayangnya terbukti tanpa sebuah makna! Kita saksikan di Benteng Somba Opu, semua fakta perjuangan sebuah harga diri di masa lalu dengan sadar dimusnahkan oleh anak cucu yang menyatakan bahwa diri merekalah yang paling pantas menjadi pewaris dari suatu tatanan yang paling hebat di wilayah ini.

Membangun itu mudah, konsistensi itu mimpi!

Tahukah kita mengapa pyramid Mesir, Borobudur, Taj Mahal, Tembok China, dan berbagai kehebatan produk arsitektur dibangun dalam waktu yang sangat panjang? Konseptor dan peletak pondasi tentulah orang-orang hebat bukan saja di zamannya, bahkan sepanjang peradaban dunia. Tetapi mereka yang senantiasa memelihara agar ide itu bisa konsisten dengan pemikiran konseptor membutuhkan kecerdasan dan kearifan yang luar biasa. Pertama, mereka harus masuk ke dalam relung pemikiran para konseptor tersebut secara bathiniah, karena tidak bisa berdialog secara langsung. Kedua, mereka harus mengumpulkan informasi-informasi yang tercerai-berai dan merajutnya menjadi suatu realitas yang mendukung keyakinan bahwa yang mereka pikirkan sama dengan yang dipikirkan oleh konseptor. Ketiga, mereka harus mampu melawan “keakuan” untuk tidak berkompetisi dengan ambisi sebagai konseptor untuk proyek mercu suar yang lain. Keempat, mereka sadar bahwa umur membangun suatu karya besar jauh melebihi usia manusia penciptanya, karena itu tak ada mimpi peletak pondasi harus tampil sebagai penggunting pita saat acara peresmian sebuah keberhasilan.

Banyak ide-ide besar di negeri ini sekedar menjadi sebuah ide, karena visi yang berhenti dan berganti seiring pergantian pimpinan. Entah mengapa seorang pemimpin selalu merasa tak perlu melanjutkan apa yang sudah dikerjakan pemimpin sebelumnya. Itulah akibatnya kita selalu tertinggal dari bangsa-bangsa lain, karena titik “start” kita selalu mulai dari angka “nol”. Kita tidak memiliki konsistensi dan kearifan sebagai satu kesatuan bangsa untuk melanjutkan apalagi mewujudkan cita-cita pemimpin bangsa di masa lalu. Ketika seorang pemimpin bangsa berlalu, lenyap pulalah semua ide dan pemikirannya.

Marilah kita membayangkan berbagai cita-cita yang siap menjadi puing, ataupun kalau berjalan ke luar dari idealisme konsep awal. Kebun binatang, stadion olah raga dan sekarang Benteng Somba Opu. Bagi masyarakat kecil seperti kita yang buta politik, tidak pernah jelas apa yang sedang dipikirkan dan dikerjakan oleh pemimpinnya. Lucunya ketika timbul sedikit pertanyaan berkaitan dengan “keanehan” kebijakan pemimpin, maka yang kita hadapi adalah jargon atas nama rakyat yang membutuhkan uang atau semua penolakan tak lebih dari cara politisasi masalah sebagai sebuah bentuk rasa “iri”. Hari ini juga, datanglah ke Benteng Somba Opu dan saksikanlah apa yang telah terjadi disana supaya kita mampu bicara tentang fakta dan tidak berdebat atas nama rakyat dan politik.

Siapa mengganggu siapa?

Dalam diskusi dengan pihak-pihak penentu kebijakan, satu kalimat bersayap yang menjadi “senjata pamungkas” adalah “jangan mengganggu situs”. Maka berdebat kusirlah peserta diskusi tentang apa itu situs. Sungguh sebuah ironi, mengambil kebijakan yang berkaitan dengan situs tetapi tidak mencari informasi memadai akan makna sebuah nama “situs”. Pembicaraan disibukkan dengan mengapa Gowa, mengapa bukan Somba Opu, mengapa bukan Sulawesi. Nama itu hanya penting kalau kita tahu maknanya. Tanpa sebuah makna, nama hanya sepotong kata yang tak berarti apa-apa. Ketakpahaman akan makna itulah yang membuat tidak jelasnya jargon “mengganggu” yang dimaksud.

Ibarat seorang perempuan, rasa terganggu itu bergantung pada siapa perempuan itu. Bagi seorang perempuan “baik-baik”, dia sudah sangat terganggu secara bathiniah bila mengetahui ada laki-laki kurang baik yang memimpikannya. Bagi perempuan lain, dilirik oleh seorang lelaki tak dikenal dapat menimbulkan ketersinggungan yang berbuntut “sirik”. Bagi perempuan pelacur, menyentuh bahkan melumatnya habis-habisan tidak pernah akan menjadi sebuah masalah. Begitulah juga sebuah ruang arsitektur! Ketergangguan adalah soal kepatutan dan bukan soal “kira-kira”, karena apapun yang tidak sesuai dengan syarat peruntukan aktifitasnya adalah bentuk gangguan. Syarat peruntukan itu sifatnya baku sesuai dengan standarisasi keilmuan aktifitas tersebut.

Reruntuhan situs purbakala yang menjadi bagian dari cagar budaya sangat rentan terhadap aktifitas manusia. Ini selain karenaalasan bentuk fisiknya yang rapuh karena faktor usia, situs tak memiliki kemampuan untuk melindungi dirinya sendiri. Itulah sebabnya kita menyaksikan bagaimana para arkeolog sebagai penanggungjawab memperlakukan mereka dengan penuh kasih dan kehati-hatian saat penggalian. Dielus-elus, disiram atau dibersihkan dengan kuas, agar partikel-partikel lain bisa lepas dengan mudah tanpa merusak obyek aslinya. Hanya arkeolog gila yang menggunakan buldoser tanpa peta situs saat melakukan eksplorasi. Karena itu pula waktu yang dibutuhkan untuk eksplorasiselalu panjang dan tak pernah bisa “instant”. Mereka yang bukan arkeolog atau antropolog cukup melihat benda-benda situs dari jarak tertentu dan bila ingin mendekat dan menyentuh harus dengan dengan syarat-syarat tertentu.

Area situs purbakala adalah area meditatif yang menembus ruang batas dan waktu. Medan energi yang terbentuk pada area situs menggiring kita pada perenungan tentang peradaban di masa lalu.Medan energi ini dikenal sebagai “roh suatu tempat” dan terbentuk dalam waktu yang relatif panjang. Semakin tua tempat tersebut, semakin kuat medan energinya. Roh tempat ini membuat bathin dan memori kita bisa membedakan mengapa suatu tempat terasa lain dengan tempat yang lain walaupun didesain dalam bentuk kembar. Gelombang energi pengunjung yang tersinkronisasi dengan gelombang energi dari suatu tempat ini yang kita terjemahkan sebagai kerinduan untuk selalu berkunjung kembali ke tempat tersebut. Contoh yang paling mudah kita temui pada mesjid-mesjid tua yang rajin dikunjungi oleh para pencari spiritualitas. Masuk ke mesjid-mesjid tua dengan medan energi yang kuat, tidak membutuhkan waktu lama membuat gelombang energi kita tersinkronisasi masuk ke ruang meditatif.

Roh tempat sebagai medan energi bisa rusak karena masuknya gelombang energi asing ke dalamnya. Gelombang energi asing dibawah oleh aktifitas yang tidak memiliki keterkaitan bathin dengan tempat tersebut. Gelombang energi dari aktifitas kekinian yang dibawa dalam bentuk Discovery Park jelas asing bagi gelombang energi ruang Benteng Somba Opu. Ibarat mengawinkan mesjid dengan diskotik. Pengunjung mesjid memungkinkan orang-orang yang sama dengan pengunjung diskotik, tetapi gelombang energi manusia-manusia ini tidak mungkin tersinkronisasi dengan mudah pada dua tempat dengan gelombang energi yang berbeda. Bila aktifitas diskotik lebih besar dari aktifitas mesjid, medan energi mesjid akan rusak dan kita tidak akan memiliki sensasi apa-apa lagi tentang spiritualitas saat masuk kesana. Demikian halnya ketika memasukkan aktifitas kekinian ke dalam area situs Benteng Somba Opu.

Fasilitas tanpa aktifitas

Sekali lagi “membangun itu mudah”, yang penting anda punya uang semua bisa terlaksana. Ini kalau yang kita maksudkan dengan membangun hanyalah menghasilkan produk fisik. Sebuah karya arsitektur hanyalah sebuah benda mati tanpa aktifitas di dalamnya, karena tujuan sebuah karya arsitektur dibuat adalah sebagai wadah suatu aktifitas. Ini berarti ketika kita memutuskan untuk membuat wadah tersebut, pada saat yang sama kita juga sudah harus memikirkan keberlanjutan aktifitas tersebut setelah wadah menjadi fakta fisik. Karya arsitektur tanpa aktifitas adalah sebuah kesia-siaan!

Kelemahan instansi yang terkait dengan pariwisata di Sulawesi Selatan adalah selalu menghubungkan anggaran pembangunan berkaitan dengan fisik semata. Kita ketahui pariwisata adalah aktifitas yang sangat multi sektor dan mampu melibatkan semua aktifitas kehidupan. Karena itu aktifitas pariwisata tidak bisa dirancang sepotong-sepotong tetapi harus menjadi bagian dari rangkaian aktifitas-aktifitas lainnya. Benteng Somba Opu yang distigmakan “mati” adalah contoh kegagalan Dinas Pariwisata yang tidak cukup memiliki kecerdasan merancang aktifitas wisata. Rumah-rumah adat dibiarkan kosong tanpa aktifitas, sehingga anggaran pemda hanya dihabiskan untuk membayar gaji karyawan yang memelihara. Pemeliharaanpun dilakukan setengah hati, tentu dengan alibi dana yang terbatas. Tak ada rencana yang jelas untuk menggiring turis datang ke Benteng Somba Opu, karena fasilitas rumah adat dikelola sebagai bagian yang terpisah dengan Benteng Somba Opu.

Rumah adat Sulawesi Selatan dalam bentuk duplikat bisa ditemui di Taman Mini Indonesia Indah Jakarta dan turis yang ingin melihat keasliannya tentu akan langsung ke lokasi daerah. Tetapi Benteng Somba Opu hanya ada di area situs dan inilah bentuk peradaban tua yang dicari oleh turis berpendidikan tinggi. Ini pulalah yang harus dikedepankan oleh Dinas Pariwisata misalnya dalam bentuk aktifitas wisata budaya. Aktifitas pendukung lain harus dirancang mengikuti irama aktifitas Benteng Somba Opu agar keseluruhan aktifitas wisata bersinergi satu sama lain.

Dinas Pariwisata harus belajar saat studi banding yang dilakukan ke berbagai ke manca negara, bagaimana aktifitas wisata kota-kota yang memiliki cagar budaya mendatangkan uang dalam jumlah besar tanpa merusak cagar budaya mereka. Bukan sebaliknya menyatakan bahwa tak ada situs yang hidup kalau tidak didukung oleh aktifitas kekinian. Paradigma ini harus diubah, bahwa aktifitas wisata yang masuk ke dalam sekitar area situs adalah aktifitas pendukung yang mengedepankan Benteng Somba Opu dan bukan sebaliknya. Aktifitas kekinian berubah dengan cepat setiap hari, tetapi peninggalan sejarah sudah membuktikan bahwa rohnya mampu hidup melewati batas usia kita.

Marilah kita juga membuktikan bahwa kita adalah pewaris cita-cita yang belum sempat terwujud di masa lalu dan tidak cukup bangga hanya sekedar dengan menggunakan bajunya pada berbagai acara seremonial. Kita harus mau dan konsiten menjaga agar roh peradaban itu tetap terpelihara dengan baik. Masalah yang terjadi pada Benteng Somba Opu hendaknya menjadi pelajaran yang baik bagi kita semua untuk menata ulang kembali apa yang telah keliru di hari kemarin. Tak ada salahnya mundur satu dua langkah untuk siap dengan langkah yang lebih patut.-




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline