Apa itu Base erosion and profit shifting (BEPS)?
Base erosion and profit shifting (BEPS) mengacu pada strategi perencanaan pajak yang digunakan oleh perusahaan multinasional yang mengeksploitasi kesenjangan dan ketidaksesuaian dalam aturan perpajakan untuk menghindari pembayaran pajak. Ketergantungan pada pajak penghasilan badan di negara-negara berkembang mengakibatkan negara-negara tersebut menderita BEPS yang serius. Praktik BEPS menyebabkan hilangnya pendapatan negara sebesar USD 100-240 miliar setiap tahunnya.
Dampak dari praktik BEPS
Beberapa waktu yang lalu terdapat berita yang menghebohkan yaitu kasus yang menimpa Google di Inggris, Starbucks Inggris, Amazon Inggris, dan lain-lain. Perusahaanperusahan multinasional tersebut menggunakan praktik transfer pricing untuk meminimalkan pembayaran pajak mereka. Dengan memanfaatkan celah-celah peraturan yang ada, mereka dapat memindahkan keuntungan di Inggris ke luar negeri dengan tarif pajak yang jauh lebih rendah. Meskipun terlihat legal tetapi cara-cara seperti ini dianggap sebagai cara yang amoral. Transfer pricing sendiri berkaitan dengan penentuan harga wajar sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha atau disebut sebagai arm’s length principle bagi perusahaan yang berafiliasi. Harga wajar mengacu kepada harga pasar, yaitu harga yang mencerminkan syarat dan kondisi yang disepakati oleh pihak ketiga atau di luar pihak afiliasi.
Praktik transfer pricing ini mengakibatkan potensi pendapatan negara dari sektor pajak mengecil atau bahkan menghilang. Padahal pajak merupakan sumber utama pendapatan negara. Misalnya di Indonesia, pajak menyumbangkan 74 – 80% dari total pendapatan. Menurut OECD (2014), terdapat 60% lintas perdagangan internasional yang dilakukan multinational cooperation di Indonesia. Namun, 39% dari transaksi tersebut artinya melakukan penghindaran pajak melalui aktivitas transfer pricing.
Bagaimana Base Erosion and Profit Shifting berpengaruh bagi Indonesia?
Bagi Indonesia, praktik BEPS sangatlah berpengaruh karena berdampak pada berkurangnya penerimaan pajak negara. OECD (2023) mengungkap bahwa tax ratio di indonesia tercatat terendah jika dibandingkan dengan tax ratio negara-negara tetangga diantaranya Papua New Guine, Malaysia dan Singapore dan negara Asia lainnya. Hal ini menunjukan bahwa indonesia masih memiliki kinerja penerimaan pajak yang rendah dibanding dengan negara tetangga.
Jika tidak ada ketegasan kebijakan terhadap tindakan penghindaran pajak maka indonesia akan mengalami kerugian penerimaan pajak yang seharusnya bisa digunakan untuk kepentingan umum. Berdasarkan Laporan Tax Justice Network dalam The State of Tax Justice 2020: Tax Justice in the time of Covid 19, Indonesia mengalami kerugian sebesar 4,78 Miliar US Dollar atau setara Rp. 67,6 Triliun tiap tahunya akibat praktek penghindaran pajak yang dilakukan korporasi di Indonesia.
Di Indonesia peraturan perpajakan terkait praktik-praktik BEPS sudah cukup komprehensif mengingat peraturan perpajakan yang mengatur tentang transfer pricing sudah ada. Namun pada praktiknya dilapangan masih banyak praktik tersebut yang belum bisa ditangani oleh Pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak. Efek globalisasi mengakibatkan para investor akan mencari tempat baru untuk berinvestasi di Negara-negara yang minim akan pajak. Logikanya dengan jika memberikan insentif pajak, perusahaan akan berbondong-bondong dating ke Indonesia dan menggunakan fasilitas yang ditawarkan sehingga perusahaan multinasional khususnya akan semakin banyak tumbuh dan berkembang di Indonesia. Semakin terbukanya perekonomian dunia maka akan mengakibatkan pasar ekonomi Indonesia di mata investor akan menjadi tujuan investasi.