Gambar Shakuni main dadu sumber www.chandamama.com
Kejahatan Sekarang Tidak Banyak Berbeda Dengan Kejahatan Masa Lalu
“Diperkirakan perang Bharatayudha terjadi sekitar 5000 tahun yang lalu. Pada waktu itu sudah ada tokoh yang terkenal culas yaitu Shakuni, patih dari Kerajaan Hastina. Pada saat ini pun masih banyak tokoh yang berkarakter serupa sehingga Anand Krishna menyampaikan: “Sejarah berulang. Para pelakunya mungkin berubah, namun jalan ceritanya kurang lebih masih sama. Panggungnya juga masih sama. Ini mengherankan bagi saya, betapa umat manusia tidak banyak berubah selama 5000 tahun terakhir. Kita membuat kesalahan-kesalahan yang sama, blunder yang sama. Kita melakukan kejahatan-kejahatan yang sama.” Terjemahan bebas dari kutipan buku Christ of Kasmiris (Krishna, Anand. (2008).Christ of Kasmiris. Anand Krishna Global Cooperation)
Shakuni yang Culas
Shakuni sangat benci kepada Pandu dan keturunannya, Pandawa karena dia sebetulnya menginginkan Kunti sebagai istrinya akan tetapi kalah bersaing dengan Pandu. Shakuni juga tersinggung, karena Gendari, adiknya yang seharusnya menjadi istri Pandu, oleh Pandu dihadiahkan kepada Destarastra yang kedua matanya buta.
Shakuni adalah tokoh politik yang ambisius, culas dan menghalalkan segala cara dalam mencapai ambisinya. Shakuni ahli dalam membuat rekayasa, untuk menghancurkan Pandawa. Karena menginginkan jabatan patih, Shakuni pernah menjebak patih Hastina sebelumnya, Gandamana masuk dalam sumur perangkap dan kemudian menimbun sumur tersebut dengan batu. Kepada Pandu yang waktu itu menjadi Raja Hastina, dia bilang Gandamana tidak cakap memimpin pasukan dan telah tewas dalam pertempuran, sehingga Shakuni diangkat sebagai patih menggantikan Gandamana. Ternyata Gandamana masih hidup dan datang ke Hastina memukuli Shakuni hingga babak belur dan cacat.
Shakuni juga figur amoral
Ketika Bhagawan Abhyasa membagi Minyak Tala yang membuat kulit menjadi kebal, para Korawa tidak mau antri dan berdesak-desakan sehingga Kunti pingsan. Shakuni mendapat kesempatan sambil berdesak-desakan menyingkap kain penutup dada Kunti. Setelah sadar Kunti mengutuk, dia tidak akan memakai kain penutup dada lagi kecuali yang dibuat dari kulit Shakuni dan mulai saat itu Kunti memakai jubah bekas dari Bhagawan Abhyasa. Shakuni juga pernah meracun Bhima dan kemudian bersama para Korawa menceburkan Bhima ke Sumur Jalatundha yang banyak binatang berbisa. Akan tetapi ternyata gigitan binatang-binatang berbisa tersebut justru menawarkan racun Bhima sehingga Bhima bertambah kuat. Shakuni juga pernah mengatur rekayasa permainan dadu sehingga Pandawa kalah dan Drupadi istri Pandawa dipermalukan dan Pandawa diasingkan selama 12 tahun.
Masih adakah orang yang membuat rekayasa menjatuhkan atasannya untuk menggantikan jabatannya? Masih adakah orang yang membuat rekayasa untuk menjatuhkan orang lain? Jiwa Shakuni mungkin sudah merasuki banyak orang sehingga ada kerjasama beberapa pejabat yang mendukung suatu rekayasa.
Shakuni dalam Diri
Dalam diri kita pun mungkin jiwa Shakuni masih hidup. Bila kita membuat rekayasa demi keuntungan pribadi dan tidak peduli pada pihak yang dirugikan maka jiwa Shakuni pun masih berkembang dalam diri. Semua karakter wayang ada potensinya dalam diri kita semua. Baik karakter Korawa maupun karakter Pandawa ada dalam diri kita. Pada zaman dulu Korawa dan Pandawa terpisah, sekarang mereka sudah menyatu dalam diri kita. Semoga pikiran kita jernih dan mau melakoni nasehat Sri Krishna yang juga ada dalam diri kita.
Menghadapi Shakuni dalam Perang Bharatayudha
Dalam perang Bharatayudha, Shakuni ternyata tidak dapat dilukai, bahkan panah Arjuna pun tidak mempan. Bhima pun berkali-kali membanting Shakuni, akan tetapi tubuh Shakuni nampaknya kebal. Krishna mengingatkan Bhima tentang Shakuni yang pernah berguling-guling membasahi kulit tubuhnya dengan minyak tala yang tumpah dari Bhagawan Abhyasa. Bhima akhirnya membuka mulut Shakuni dan mengupas kulit Shakuni dan akhirnya Shakuni mati mengenaskan. Kisah-kisah versi leluhur memang terasa sadis, akan tetapi mungkin itu adalah salah satu cara untuk menyadarkan mereka yang bergelimang dengan kekerasan. Bahasa kelembutan tidak dapat dipahami mereka.
“Paham Tanpa Kekerasan atau Ahimsa tidak berarti Anda menerima kejahatan, ketidakadilan, kezaliman, dan sebagainya. Seorang sanyasi memang menjalankan ahimsa, tetapi tidak berarti ia menerima kejahatan dengan cara membisu dan berdiam diri. Bagaimana tanggung jawab sosial seseorang ketika ia memaafkan? Seorang penjahat yang dimaafkan itu bukannya sadar, malah menjadi lebih ganas, lebih buas, lebih liar. Ia pikir dirinya bisa berbuat apa saja dan akan selalu dimaafkan. Dari penjahat kelas teri ia akan menjadi penjahat kelas kakap. Dalai Lama menjawab bahwa bukan demikian maksudnya, Seperti halnya kita (orang-orang Tibet yang terpaksa hidup dalam pengasingan) memaafkan China. Berarti kita berupaya untuk tidak memiliki perasaan negatif terhadap mereka. Tetapi tidak berarti kita menerima perilaku mereka yang salah. Memaafkan tidak sama dengan menerima kejahatan. Jika Anda menerima kejahatan, maka Anda sendiri menjadi jahat. Seseorang yang menerima sampah, menjadi tong sampah.” (Krishna, Anand. (2012).Sanyas Dharma Mastering the Art of Science of Discipleship Sebuah Panduan bagi Penggiat Dan Perkumpulan Spiritual. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)
Memperbaiki Karakter Shakuni dalam Diri
“Zaman dahulu, yang baik dan yang buruk adalah dua kelompok yang terpisah. Mereka dapat dengan mudah dikenali. Aku tidak perlu berpikir dua kali sebelum memberi ganjaran pada yang baik, dan memberi hukuman pada mereka yang buruk. Sekarang, sudah lain ceritanya. Yang baik dan yang buruk eksis di dalam diri orang yang sama. Bagaimana aku dapat memberi ganjaran sekaligus menghukum seseorang di saat yang sama? Karena hal inilah ‘sistem pemberian ganjaran dan hukuman’ tidak bisa lagi diterapkan. Kita mesti mengembangkan sebuah sistem baru yang lebih sesuai dengan tuntutan zaman. Ketimbang memberi ganjaran atau hukuman pada seseorang, marilah kita tingkatkan kesadarannya. Orang yang sadar tidak akan berbuat kesalahan. Orang yang sadar menjadi baik bukan karena takut atau karena iming-iming ganjaran, tetapi karena pemahaman, karena kesadaran yang mendalam bahwa menjadi baik adalah hal yang baik.” Terjemahan Bebas dari Kutipan buku The Hanuman Factor (Krishna, Anand. (2010). The Hanuman Factor, Life Lessons from the Most Successful Spiritual CEO.Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)
Situs artikel terkait
http://kisahspiritualtaklekangzaman.wordpress.com/
http://www.facebook.com/triwidodo.djokorahardjo
http://www.kompasiana.com/triwidodo
Agustus 2013
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H