Lihat ke Halaman Asli

Pengunduran Diri Hakim Agung, Karakter Kesatria atau Menghindari Resiko Pribadi?

Diperbarui: 24 Juni 2015   21:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di luar negeri seorang pejabat mengundurkan diri karena mengaku berbuat salah dan malu akan perbuatannya. Akan tetapi di Indonesia seorang Hakim Agung mengundurkan diri dengan dalih sakit, padahal diberitakan sehari sebelumnya masih segar-bugar, tanpa mengakui kesalahannya, sehingga banyak hal yang perlu dikaji dengan teliti. Bila pengunduran diterima, teoritis sang Hakim Agung menjadi orang biasa dan untuk mengusut tindak pidananya perlu dimulai dari Berita Acara di Kepolisian, Tuntutan Jaksa, Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan PK yang akan memakan waktu lama dan diduga banyak kroni yang mendukungnya lepas dari jerat pidana.

Achmad Yamanie bersama Imron Anwari dan Timur Manurung pada tahun 2010 pernah membebaskan bandar narkotika jenis sabu-sabu Naga Sariawan Cipto Rimba alias Liong-liong, dari hukuman 17 tahun menjadi hukuman bebas. Achmad Yamanie bersama Imron Anwari dan Nyak Pha pada tahun 2012 membatalan hukuman mati terhadap bandar narkotika Hengky Gunawan, produsen narkoba  dengan dalih hukuman mati melanggar HAM. Berarti mengurangi hukuman terhadap bandar narkoba tidak merupakan penyesalan terhadap Achmad Yamanie yang mengundurkan diri dengan dalih sakit. Padahal narkoba adalah kejahatan yang serius. 4 juta penduduk Indonesia (sekitar 2%) mengkonsumsi narkoba, demikian data dari Badan Narkotika Nasional. 41 orang per hari tewas akibat narkoba, atau 15.000 orang per tahun meninggal karena narkoba. Artis, pengusaha, pelajar, mahasiswa, olahragawan, pejabat, wakil rakyat, polisi menjadi korban narkoba. 90% dari korban tersebut adalah remaja, generasi penerus bangsa.

Silakan baca artikel kami: http://hukum.kompasiana.com/2012/10/15/vonis-sumbang-bandar-narkoba-nyanyian-duet-hakim-agung-ma/

Buku Satgas Pemberantasan Mafia Hukum (PMH) dibuat berdasar Keputusan Presiden Nomor 37 Tahun 2009 tentang PMH. Buku setebal 91 halaman tersebut dilengkapi dengan dua lampiran untuk melihat rincian ulah Mafia Peradilan yang mungkin terjadi dalam sebuah kasus. Lampiran pertama berisi ringkasan akar masalah mafia hukum dan strategi yang perlu dilakukan untuk menjawab masalah tersebut. Lampiran kedua berisi matriks pola dan modus mafia hukum yang lebih detail yang disusun berdasarkan tahapan berperkara di setiap institusi penegak hukum dan pengadilan. Dalam penentuan majelis hakim di MA disebutkan dalam lampiran tersebut yang intinya adalah ..... bahwa proses urutan registrasi perkara bisa diatur sedemikian rupa, agar jatuh ke majelis-majelis tertentu, baik melalui pengkondisian usulan distribusi, agar perkara seolah-olah secara tidak sengaja jatuh ke Tim/majelis tertentu, ataupun dengan mengaturnya langsung dengan pimpinan...... Mungkinkah perkara Produsen Narkoba Hengky Gunawan secara kebetulan dapat jatuh ke duet Hakim Agung Imron Anwari dan Achmad Yamanie? Karena duet tersebut pernah membebaskan Bandar Narkotika Liong-liong bebas dari putusan 17 tahun penjara? Salahkah masyarakat menduga penentuan registrasi perkara jatuh ke duet Hakim Agung tersebut?

Selanjutnya, silakan baca artikel kami:

http://hukum.kompasiana.com/2012/10/12/akrobat-ma-batalkan-hukuman-mati-produsen-narkoba-tapi-batalkan-putusan-bebas-pencuri-6-piring-500608.html

Salah seorang Hakim Agung yang lain, Zaharuddin Utama menghukum Nenek Rasminah pembantu rumah tangga karena mencuri 6 piring setelah diputus bebas oleh PN Tangerang. Oleh Zaharuddin Utama dkk, Nenek Rasminah dinyatakan terbukti sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana pencurian dan menghukum terdakwa dengan hukuman 4 bulan 10 hari. Zaharuddin Utama juga menyatakan Prita Mulyasari bersalah dan menghukum 6 bulan penjara. Kini Zaharuddin Utama diduga menerima suap sebesar Rp 1.7 M untuk membebaskan Misbakhun dari hukuman.

Dalam Buku Satgas Pemberantasan Mafia Hukum Lampiran kedua MODUS OPERANDI UMUM MAFIA HUKUM PADA SELURUH LEMBAGA PENEGAK HUKUM diungkapkan modus operandi yang kira-kira intinya “pemesanan vonis”..... Para pihak dalam perkara sendiri ataupun melalui perantara melakukan pendekatan kepada pimpinan pengadilan, pimpinan kejaksaan maupun pimpinan kepolisian untuk mengintervensi proses penegakan hukum yang berjalan pada lembaga masing-masing dalam proses penanganan perkara.

Sekarang kita meloncat ke kasus Anand Krishna. Jaksa Penuntut Umum Martha Berliana Tobing tanpa saksi mata dan visum RS (yang kemudian visum dr. Mun’im Idris dari RS Cipto Mangunkusumo ternyata korban masih perawan dan tak ada tanda-tanda kekerasan) tetap menuntut perkara pelecehan seksual terhadap Anand Krishna. Kemudian yang terjadi adalah pembombardiran berita di media massa tentang kesalahan Anand Krishna, tanpa didukung fakta yang benar. Di media online Tempo Interaktif (25/2/2010) pengacara Tara Pradipta Laksmi, Agung Mattauch mengaku, “Pelecehan hanya entry gate untuk persoalan yang lebih serius. Ini adalah penodaan agama.”........ Belum ada keputusan hukum, pihak Anand Krishna sudah di hakimi bersalah oleh masyarakat.

Kuasa Hukum Anand Krishna, Darwin Aritonang S.H pernah bertemu dengan Abrory Abdul Djabar (Salah Seorang Saksi Memberatkan) di sela-sela mengisi sebuah acara di salah satu studio tv swasta nasional. Pada saat itu, Abrory mengajukan beberapa syarat agar kasus Anand Krishna ini bisa diselesaikan dengan segera, yakni : (1) A.K meminta maaf di depan publik, (2) A.K tidak boleh terkait apapun lagi di Yayasan Anand Ashram, dan (3) penyerahan segera seluruh aset Yayasan Anand Ashram. Hal ini dipertanyakan kembali oleh kuasa hukum di dalam ruang sidang pengadilan tapi Abrory menjadi berang dan marah. Bahkan saksi tersebut sempat mengancam untuk membunuh sang kuasa hukum dan Anand Krishna di depan Hakim Persidangan. Majelis hakim yang dipimpin oleh Hakim Hari Sasangka dalam sidang tersebut membiarkan tindakan kriminal yang melecehkan sidang pengadilan..

Di pertengahan kasus sempat terjadi pergantian Hakim Ketua Hari Sasangka karena terlibat affair dengan saksi korban Shinta Kencana Kheng, sehingga Hakim Ketua di non-palukan dan dipindahkan ke luar Jawa. Persidangan pun diulang dengan dipimpin oleh hakim Albertina Ho dan dua hakim anggota baru yang memanggil semua saksi dan mendatangi lokasi kejadian. Dan kemudian ternyata tak ada bukti secuil pun yang mendukung tututan jaksa. Dalam pemeriksaan ulang ini, banyak terungkap inkonsistensi dalam kesaksian yang sudah berbeda dengan kesaksian sebelumnya yang pernah dilontarkan, baik oleh saksi pelapor, maupun saksi-saksi lainnya yang mengaku pernah dilecehkan. Selanjutnya Hakim Albertina Ho memberi vonis bebas.

Selanjutnya Jaksa Martha Berliana Tobing mengajukan kasasi dengan memasukkan masalah sengketa merk di Pengadilan Tinggi Jawa Barat, kasasi yang jauh dari kualitas profesional. Akan tetapi tiga oknum Hakim Agung: Zaharuddin Utama, Achmad Yamanie dan Sofyan Sitompul tanpa menguraikan mengapa kasasi diterima, langsung mengabulkan kasasi jaksa. Tiga oknum Hakim Agung itu mengabaikan fakta persidangan yang dipimpin Albertina Ho yang memberi vonis bebas terhadap AK. Tiga oknum Hakim Agung tersebut hanya memutuskan dari belakang meja berdasar BAP yang tak terbukti di persidangan.

Sebuah pertanyaan muncul, mengapa kasus yang penuh rekayasa tersebut dapat jatuh pada oknum Hakim Agung Zaharuddin Utama dan Achmad Yamanie yang dari track recordnya diduga banyak masalah? Apakah kasus tersebut tidak ada kesengajaan agar ditangani Hakim Agung yang berani membuat masalah? Dalam Lampiran Buku Satgas Pemberantasan Mafia Hukum tentang penentuan majelis hakim di MA disebutkan.... ..... bahwa proses urutan registrasi perkara bisa diatur sedemikian rupa, agar jatuh ke majelis-majelis tertentu, baik melalui pengkondisian usulan distribusi, agar perkara seolah-olah secara tidak sengaja jatuh ke Tim/majelis tertentu, ataupun dengan mengaturnya langsung dengan pimpinan......

Berdasarkan hukum legal/formal meskipun jauh dari fakta, substansi perkara dan penuh rekayasa dalam prosesnya, putusan 3 oknum Hakim Agung tersebut akan dieksekusi oleh Kejaksaan. Anand Krishna melawan dengan mengutip karakter kesatria Dr. Martin Luther King Jr: Kita semua harus tunduk patuh pada hukum manakala hukum itu telah mencerminkan kebenaran dan keadilan. Sebaliknya, jika produk hukum dibuat oleh oknum yang menginjak-injak nilai kebenaran dan keadilan, maka secara moral pula, harus berani melakukan perlawanan........

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline