Lihat ke Halaman Asli

Renungan Bhagavatam: Robohnya Kedua Pohon Kembar, Rahmat Tuhan dan Kekayaan yang Bersifat Sementara

Diperbarui: 26 Juni 2015   02:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Yashoda adalah seorang ibu rumah tangga yang rajin, bila pembantunya sedang sibuk melakukan pekerjaan rumah tangga, maka dia tidak segan-segan bekerja sendiri membantu pembantunya. Pada suatu hari saat Yashoda mengaduk susu untuk membuat mentega di luar dapur, Krishna kecil yang merasa lapar mendatanginya. Krishna lama memandang wajah ibunya yang cantik yang sedang sibuk mengaduk susu dalam periuk. Yashoda tersenyum dan kemudian memangku Krishna kecil dan membiarkan tangan kecil Krishna ikut memegang pengaduk susu, selanjutnya bersama-sama dengan Krishna mengaduk susu dalam periuk. Ada rasa bahagia yang mengalir dalam diri Yashoda. Dia betul-betul merasa bahagia memiliki seorang anak yang menjadi sumber kebahagiaan dirinya. Akan tetapi rasa bahagia tersebut terhenti, kala dia membaui adanya bau gosong masakan di dalam periuk di dapur. Yashoda segera meninggalkan Krishna kecil dan menengok masakannya di dapur. Setelah beberapa lama, ketika Yashoda balik ke tempat semula, dia melihat periuk sudah pecah dan mentega yang sudah jadi hilang dan Krishna tidak nampak. Yashoda tersenyum sambil berpikir bahwa Krishna telah memecahkan periuk dengan memukulnya memakai pengaduk, kemudian mengambil mentega dan bersembunyi. Sambil membawa kayu pengaduk Yashoda mencari Krishna dan menemukannya sedang duduk di atas batu tempat menumbuk yang terletak di halaman sambil makan mentega. Ada beberapa kera di depannya yang juga diberi mentega olehnya. Yashoda berpikir Krishna kecil memang nakal, akan tetapi bila dipukul dengan pengaduk, walau pukulan pelan untuk menegur tindakannya, terbit juga rasa kasihan, anak kecil nakal kan sudah biasa. Kemudian Yashoda berupaya mendekati Krishna untuk menangkapnya. Tiba-tiba Krishna melihat Yashoda datang dengan kayu pengaduk dan Krishna lari, berpura-pura takut kepada Yashoda. Dan terjadilah kejar-mengejar antara Yashoda dengan Krishna. Krishna kecil sangat lincah dan cukup sulit bagi Yashoda untuk menangkapnya. Keringat Yashoda bercucuran dan ikatan rambutnya terlepas menambah kecantikannya. Akhirnya Krishna tersenyum dan membiarkan dirinya dipegang oleh Yashoda. Yashoda berkata, "Krishna, kamu jangan nakal! Lain kali jangan memecahkan periuk dan mengambil mentega, mintalah padaku akan kuambilkan! Sekarang ibu akan ke dapur lagi, tetapi kau harus kuikat, agar tidak nakal lagi! Nanti setelah dari dapur akan kulepaskan ikatanmu!" Yashoda kemudian mengambil tali pengikat dan mengikat batu tempat menumbuk dan kemudian baru akan mengikat Krishna. Rencananya Krishna akan diikat dengan jarak tali sekitar 4 depa dari batu tempat menumbuk tersebut. Dalam pikiran Yashoda biarlah Krishna bisa bergerak, tetapi dalam jarak 4 depa saja. Akan tetapi Yashoda sempat kaget karena talinya kurang panjang untuk mengikat badan Krishna. Yashoda menyambung tali tersebut dengan tali lainnya akan tetapi tetap kurang panjang juga. Para Gopi berdatangan melihat kejadian tersebut. Yashoda sampai kewalahan menyambungnya dengan tali-tali lainnya. Krishna kecil hanya tersenyum dan setelah merasa cukup mempermainkan ibunya Krishna kemudian membiarkan dirinya diikat oleh Yashoda. Kita melihat pesan yang disampaikan dalam kisah ini bahwa Rahmat Tuhan memegang peranan pokok. Bisakah kita mengikat Tuhan? Bisakah Tuhan diikat oleh Bhakta yang mengasihinya? Yashoda pun tidak berhasil mengikat Krishna kecil, kecuali saat Krishna membiarkan dirinya diikat. Walaupun bersedia diikat, apakah Dia patuh pada pengikatnya dan tidak bergerak? Tidak juga! Dia tetap bergerak sesuai kehendak-Nya! Dalam buku "Masnawi Buku Kedua Bersama Jalaluddin Rumi Memasuki Pintu Gerbang Kebenaran", Anand Krishna, Gramedia Pustaka Utama, 2000 disampaikan......... Rumi menasehati kita, "Janganlah sombong, janganlah angkuh; Kendati kesadaranmu sudah meningkat, jangan mengira bahwa hal itu terjadi karena upayamu semata-mata. Tidak! Apa pun yang terjadi, karena Rahmat-Nya.".......... Dalam buku "Hidup Sehat Dan Seimbang Cara Sufi", Anand Krishna, Gramedia Pustaka Utama, 2001 disampaikan........ Dalam dunia ini, segala sesuatu dapat dibeli. Hanya satu yang tidak dapat dibeli Rahmat Allah. Yang satu ini kita dapatkan secara gratis, karena kita tidak mampu membayarnya entah itu dengan amal saleh atau kebajikan apa pun. Karena amal saleh, kebajikan dan ketekunan kita sepanjang umur hanya ibarat setetes air jika dibandingkan dengan lautan luas Kurnia Kasih-Nya........ Setelah ngobrol dengan para Gopi, Yashoda kembali ke dapur dan para Gopi meninggalkan tempat tersebut. Krishna kecil hanya tersenyum melihat ibunya meninggalkan dia. Pikiran Yashoda masih terikat dengan Krishna. Sambil memasak dan melakukan rumah tangga lainnya, Yashoda selalu ingat pada Krishna kecil yang menyenangkan. Wajah Krishna yang tersenyum dengan jenaka tak dapat lepas dari pikirannya. Yashoda segera menyelesaikan pekerjaan di dapur sambil mengingat-Nya. Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Yashoda segera kembali kepada-Nya. Ingat selalu kepada-Nya itulah zikir. Yashoda adalah contoh seseorang yang tidak tersibukkan oleh urusan dunia, dia selalu ingat kepada-Nya. Dalam salah satu materi di Svarnadvipa Institute of Integral Studies (http://svarnadvipa.org/), Bapak Anand Krishna pernah menyampaikan......... Seorang pedagang yang sedang berkunjung ke kota lain boleh menikmati segala kenyamanan dan kemewahan hotel dimana ia sedang bermalam. Tapi, dia selalu ingat tujuannya berada di kota asing itu. Ia tidak larut dalam kenyamanan dan kenikmatan itu. Pagi-pagi ia sudah bangun. Meninggalkan kamar hotel, dan pergi ke pasar untuk berdagang. Ia tidak memiliki keterikatan dengan hotel itu, dengan segala kenyamanan kamarnya. Itulah sebab ketika urusannya selesai ia pun langsung checkout, tidak menunggu diusir, dan pulang ke "negeri asalnya". Kiranya inilah arti ayat 11 dlm surat al-Fath, "harta dan keluarga kami merintangi". Qur'an Karim mengingatkan para mukmin untuk tidak terikat dengan kenyamanan dan kenikmatan duniawi, dan untuk senantiasa mengingat tujuan hidup. Yaitu "berjuang" dalam, dan dengan kesadaran ilahi.......... Sayidina Umar sang panglima perang pernah berkata bahwa "Pada hakikatnya setiap orang di dunia ini adalah seorang tamu dan uang yang dimilikinya adalah pinjaman". Seorang tamu pastilah cepat atau lambat akan pergi, dan pinjaman harus dikembalikan. Para leluhur mempunyai ungkapan "Urip mung mampir ngombe", hidup hanya sesaat yang seakan hanya untuk minum beberapa tegukan. Untuk kemudian melanjutkan perjalanan menuju "sangkan paraning dumadi", menuju ke asal dan juga akhir penciptaan. Ada sebuah SMS Wisdom yang menyampaikan, bahwa "manusia ditakdirkan menjadi peziarah, sayang sekali ia menjadi pengelana tak bertujuan". Sebagai seorang peziarah kita tidak boleh terlenakan pada kenyamanan suatu tempat, kita harus ingat bahwa kita sedang berjalan menuju Dia, kita selalu mengingat Dia setiap saat. Dan, Bhagawan Abyasa memberikan contoh seorang Yashoda yang sangat sayang kepada Sri Krishna....... Tidak berapa lama, Yashoda dan para Gopi mendengar ada bunyi pohon besar jatuh dua kali di halaman. Yashoda dan para Gopi berlarian datang dan mereka  menyaksikan Krishna kecil berada di antara dua pohon kembar di halaman rumah yang roboh. Krishna masih terikat dengan batu tempat menumbuk. Anak-anak kecil bercerita, bahwa mereka melihat Krishna menarik batu tempat dia diikat ke halaman dan batu tersebut tersangkut pada salah satu akar pohon, sehingga pohon tersebut menjadi roboh tertarik oleh Krishna. Krishna masih menarik lagi dan tersangkut pohon lainnya sehingga akhirnya kedua pohon itu roboh. Anak-anak kecil tersebut melihat ada dua manusia bercahaya berlutut didepan Krishna dan kemudian lenyap. Akan tetapi siapa yang percaya dengan cerita anak-anak kecil? Yang penting bagi Yashoda dan para Gopi adalah Krishna selamat dan mereka bersyukur pada Narayana. Adalah sebuah kisah di balik kedua pohon kembar di depan rumah Nanda. Nalakuvera dan saudaranya Manigriva adalah anak-anak Dewa Kemakmuran Kubera. Sebagai putra-putra seorang kaya mereka suka berfoya-foya. Pada suatu hari Nalakuvera dan saudaranya sedang bermain air dengan gadis-gadis surgawi di sungai Gangga. Resi Narada kebetulan lewat di tempat tersebut. Ketika gadis-gadis tersebut melihat Narada, mereka segera berpakaian dan menghormat kepada sang resi. Akan tetapi kedua bersaudara putra Kubera tersebut begitu asyik sehingga hanya menoleh sebentar dan melanjutkan kesenangan mereka. Resi Narada kecewa dengan Nalakuvera dan Manigriva, yang lupa diri karena kelebihan harta dengan berfoya-foya dengan wanita dan anggur. Bila mereka terus melakukan hal yang demikian tanpa tobat, maka mereka semakin jauh dari jalan ilahi dan mudah tergabung dengan kelompok para Asura. Resi Narada kemudian mengutuk mereka menjadi pohon. Selama menjadi pohon, mereka bertapa, tanpa pindah tempat dan berbuat baik dengan melayani kebutuhan manusia. Pohon memberikan kayu, ranting, buah-buahan dan perlindungan dari teriknya matahari, serta dedaunannya menghasilkan oksigen bagi manusia. Mereka akan kembali ke kahyangan setelah bertemu Krishna, setelah kesalahannya diampuni, setelah sadar bahwa kenyamanan dunia hanya bersifat sementara, setelah sadar bahwa dunia ini hanya bayang-bayang-Nya, setelah sadar untuk memfokuskan diri pada Dia dan tidak memfokuskan diri pada bayang-bayang-Nya........ Ketika Krishna kecil menyeret batu tempat penumbuk dengan tali dan tersangkut pada kedua pohon tersebut, pohon-pohon tersebut menjadi roboh dan mereka bebas dari hukuman. Keduanya segera menghormat kepada Krishna dan kembali ke kahyangan. Di sini pohon kembar adalah simbol dari keangkuhan karena memiliki banyak kekayaan. Dan keangkuhan tersebut dirobohkan oleh Sri Krishna....... Sri Krishna Dvipayana, sebutan bagi Bhagawan Abyasa, menyampaikan sebuah mutiara dari kisah pohon kembar, sebuah perjalanan batin dari kedua putra Dewa Kubera yang terikat dengan harta benda yang akhirnya dapat melepaskan diri dari ikatan yang membelenggu mereka setelah bertemu dengan Sri Krishna. Dalam buku "Sabda Pencerahan,  Ulasan Khotbah Yesus Di Atas Bukit Bagi Orang Modern", Anand Krishna, Gramedia Pustaka Utama, 2004 disampaikan....... Ketenaran, kedudukan dan kekayaan - 'tiga "K" ini merupakan perkembangan dari rasa kepemilikan kita. Rasa kepemilikan ini harus diganti dengan Kesadaran. Selama ini tidak terjadi, selama itu pula kita akan selalu terombang-ambing di tengah lautan kehidupan. Kita akan selalu menderita. Mengumpulkan harta di dunia berarti mengumpulkan tiga "K" tadi. Dan tiga "K" ini tidak langgeng, tidak abadi. Sewaktu kita masih memilikinya, kita senang. Begitu kehilangan, kita kecewa, kita sedih. Harta sorgawi yang dimaksudkan oleh Yesus adalah Kesadaran. Dalam lautan kesadaran, segala rasa terlarut dan jiwa kita menjadi bersih. Sekali rasa kesadaran ini terkembangkan, kita akan terbebaskan dari keterikatan-keterikatan duniawi..........

Demikian nasehat Bapak Anand Krishna untuk meningkatkan kesadaran putra-putri bangsa. Bapak Anand Krishna menyampaikan pandangannya sebagai manusia dan sebagai warga negara Indonesia. Sayang pandangan kebhinnekaan beliau tidak disenangi oleh beberapa pihak tertentu yang berusaha mendiskreditkan nama baiknya. Silakan lihat.....

http://www.freeanandkrishna.com/in/

Tadinya kedua putra Dewa Kubera merasa diri mereka berharga karena kekayaannya, tetapi akhirnya sadar bahwa kekayaannya hanya bersifat sementara. Dalam buku "Menemukan Jati Diri I Ching Bagi Orang Modern", Anand Krishna, Gramedia Pustaka Utama, 2002 disampaikan........ Hidup Anda terasa hampa, kosong, karena memang tidak ada isinya. Anda tidak pemah mengisinya dengan sesuatu yang indah. Hidup Anda tidak memiliki kedalaman. Kalaupun memiliki kedalaman, maka masih kosong. Kehampaan itu, kekosongan itu yang membuat anda gelisah. Kemudian, Anda berupaya untuk mengisinya dengan kekayaan, kedudukan dan ketenaran. Semuanya sia-sia, karena kekayaan, kedudukan dan ketenaran akan menguap dalam sekejap. Sesaat kemudian, Anda menjadi hampa kembali, kosong lagi. Lalu gelisah lagi! Anda tidak bisa mengisi diri anda dengan bayang-bayang. Anda harus mengisinya dengan sesuatu yang lebih berarti, lebih bermakna. Dan yang lebih berarti, yang lebih bermakna itu sesungguhnya sudah ada dalam diri Anda. Sudah ada dalam bentuk "potensi" - potensi diri yang masih belum berkembang, yang masih harus dikembangkan. Kembangkan potensi diri Anda, jadilah diri sendiri. Lalu, apabila I Ching menganjurkan agar anda meniru para bijak, yang dimaksudkan adalah "tirulah semangat mereka". Meniru seorang Lao Tze atau seorang Buddha atau seorang Muhammad tidak berarti Anda menjadi photo-copy mereka. Tirulah kegigihan mereka dalam hal pengembangan diri. Jika itu yang anda lakukan, Anda akan selalu jaya, selalu berhasil!......... Akhirnya kedua putra Dewa Kemakmuran Kubera sadar dan tunduk kepada Sri Krishna. Dalam buku "The Ultimate Learning, Pembelajaran Untuk Berkesadaran", Anand Krishna, Gramedia Pustaka Utama, 2010, Sri Chaitanya selalu menyebut Sri Krishna sebagai Hyang Maha Menawan........ Wahai Hyang Mahamenawan! Selama ini aku menjadi budak ambisi dan keinginan-keinginanku, Aku telah jatuh dalam lumpur hawa nafsu pancaindra. Gusti, aku tak mampu menggapaiMu, namun Kau dapat menemukanku. Aku tak berdaya, Engkau Mahadaya. Aku hanyalah debu dibawah kaki suciMu, angkatlah diriku dan berkahilah daku dengan kasihMu! Mengapa? Mengapa selama ini kita menjadi budak ambisi dan keinginan-keinginan kita sendiri. Karena kita terpesona oleh dunia benda, oleh bayangan Hyang Mahamenawan. Memang, bayanganNya saja sudah penuh pesona. Tapi alangkah tidak beruntungnya kita jika kita berhenti pada bayangan. Betapa meruginya kita jika kita tidak menatap Ia Hyang Terbayang lewat dunia benda ini. Ambisi dan keinginan kita sungguh tidak berarti, karena semuanya terkait dengan bayang-bayang. Kita mengejar bayangan keluarga, kekuasaan, kekayaan, kedudukan, ketenaran, dan sebagainya. Keinginan kita sungguh sangat miskin. Ambisi kita adalah ambisi para pengemis. Hyang Mahamenawan adalah raja segala raja. Ia adalah Hyang Terdekat, kerabat yang tak pernah berpisah, sementara kita masih menempatkan keluarga sejajar denganNya. Sungguh sangat tidak masuk akal. Silakan melayani keluarga. Silakan mencintai kawan dan kerabat. Tapi jangan mengharapkan sesuatu dari mereka semua, karena dinding kekeluargaan pun bisa retak. Persahabatan dapat berakhir. Kemudian, kau akan kecewa sendiri. Kekuasaan apa, kekayaan apa, kedudukan apa, dan ketenaran apa pula yang menjadi ambisimu? Jika kau menyadari hubunganmu dengan Ia Hyang Mahakuasa, dan Mahatenar adanya, saat itu pula derajadmu terangkat dengan sendirinya dari seorang fakir miskin, hina, dan dina menjadi seorang putra raja, seorang raja........... Untuk Kebahagiaan Sejati, Ikuti Program Online Spiritual Trasnpersonal Psychology http://oeschool.org/e-learning/ Situs artikel terkait http://www.oneearthmedia.net/ind/ http://triwidodo.wordpress.com http://id-id.facebook.com/triwidodo.djokorahardjo http://www.kompasiana.com/triwidodo http://twitter.com/#!/triwidodo3 Agustus 2011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline