Lihat ke Halaman Asli

Renungan Bhagavatam: Pangeran Rantidewa, Rasa Kasih Terhadap Sesama Makhluk di Dunia

Diperbarui: 26 Juni 2015   03:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13117193361347576450

Dalam Dinasti Bharata ada seorang pangeran bernama Rantidewa. Ia mempunyai kekayaan yang tak terkira, tetapi ia selalu membaginya kepada orang yang membutuhkannya. Di balik materi yang dimiliki Pangeran Rantideva, terdapat rasa kasih yang begitu besar. Semua harta benda yang diberikan kepadanya, dibagikan kepada mereka yang membutuhkannnya. Pangeran Rantideva sudah tidak mempunyai rasa 'aku' dan 'milikku'. Pangeran Rantidewa sudah mengalahkan egonya, jiwanya sudah tidak sakit. Gusti Hyang Maha Kuasa juga menganugerahkan kepadanya istri dan anak-anak yang memahami jiwa sang pangeran. Dikisahkan ada suatu saat Pangeran Rantidewa pernah sudah tidak mempunyai apa pun juga. Pada saat itu tubuh pangeran Rantidewa sangat lemah. Sudah empat puluh delapan hari sang pangeran tanpa memiliki suatu apa pun. Bahkan tidak ada makanan yang tersedia di depan Pangeran Rantidewa beserta isteri dan anak-anaknya. Yang tersisa pada sang pangeran hanya rasa kepuasan diri setelah membantu mereka yang membutuhkan bantuan. Pada hari keempat puluh sembilan, dikisahkan sang pangeran memperoleh makanan. Setelah selesai berdoa dan bersiap untuk  makan, seorang brahmana datang meminta makanan. Rantidewa berkata kepada dirinya sendiri, "Hyang Widhi ada di mana-mana dan sekarang Ia telah datang kepadaku meminta makanan. Merupakan kebahagiaan bagi diriku untuk dapat melayani Hyang Widhi di balik wujud sang brahmana." Dan, sebagian makanan diserahkan kepada tamunya. Kemudian,  isteri dan anaknya mendapatkan sebagian. Dan, ketika Pangeran Rantidewa mulai makan sebagian dari bagiannya, seorang sudra datang minta makanan. Pangeran Rantideva menyadari bahwa pada dasarnya semua orang adalah Brahman. Manusia dan dunia ini adalah proyeksi dari Brahman. Sejatinya yang ada hanyalah Brahman. Tidak ada yang lain kecuali Brahman. Dan dia memberi bagian makanan miliknya kepada orang sudra tersebut. Dalam buku "Panca Aksara, Membangkitkan Keagamaan Dalam Diri Manusia", Anand Krishna, Pustaka Bali Post, 2007 disampaikan bahwa Hyang Widhi selalu memberi, memberi dan memberi........ Anugerah-Nya berlimpah, seolah Tangan-Nya selalu terbuka untuk memberi dan memberi dan memberi. Kita tidak mampu menghitung pemberian-Nya, berkah-Nya. Ia memberi tanpa menampakkan Diri. Hendaknya kita belajar dari sifat-Nya yang satu ini: Memberi tanpa menampakkan diri, tanpa bergembar-gembor. Tidak perlu publisitas. Berilah karena cinta, karena kasih. Bukan karena pengakuan oleh masyarakat, oleh institusi, ataupun karena anjuran si Fulan. Berilah karena memang memberi adalah sifatmu............ Setelah sebagian nasi diberikan kepada orang sudra tersebut, dan Pangeran Rantidewa belum sempat makan sisanya, datang pengemis bersama empat anjingnya minta diberi makanan. Rantidewa memberikan semua sisa makanan yang ia punyai dan ia senang karena telah mengurangi rasa lapar dari tamu dan binatang piaraannya. Dalam buku "Shri Sai Sacharita", Sai das, Anand Krishna Global Co-Operation Indonesia, 2010 disampaikan wejangan seorang Sadguru untuk melampaui dualitas......... Makanan yang kauberikan kepada anjing itu telah kuterima. Anjing itupun wujud-Ku, sebagaimana hewan-hewan lain. Ia yang melihat-Ku dalam setiap makhluk adalah kekasih-Ku. Sebab itu lampauilah dualitas yang disebabkan oleh rupa dan nama. Layanilah setiap makhluk hidup, sebagaimana kau melayani anjing itu, karena Aku berada di mana-mana, di dalam diri setiap makhluk. Lihatlah Tuhan dalam diri setiap makhluk inilah non-dualitas. Inilah inti pesan setiap Guru Sejati. Kitab-kitab suci pun mengajarkan kita hal yang sama. Tiada sesuatu yang beda antara ajaran-ajaran yang tertulis dan apa yang disampaikan oleh para Sadguru........... Manakala Pangeran Rantidewa akan minum dari air yang tersisa padanya, seorang chandala datang minta air. Jantung Rantideva dikoyak rasa kasih pada chandala, "Aku tidak menginginkan kekayaan. Aku tidak ingin minta tempat di surga. Yang aku lakukan adalah mengambil penderitaan orang lain dan membebaskan dirinya dari penderitaan." Dan, air yang tersisa padanya pun diberikan pada chandala tersebut. Dalam buku "Bhagavad Gita Bagi Orang Modern, Menyelami Misteri Kehidupan", Gramedia Pustaka Utama  2002 disampaikan perbedaan antara rasa kasih dan rasa kasihan......... Ada perbedaan yang jelas sekali antara Kasih dan Kasihan. Kasih adalah sesuatu yang timbul tanpa alasan. Tidak ada logika, tidak ada matematika, tidak ada kalkulasi. Kasih juga bukan filsafat. Kasih berada di atas segalanya. Apa yang akan dikatakan oleh Arjuna, bukan karena kasih, tetapi karena kasihan. Dalam Rasa Kasihan, ego kita, keangkuhan kita masih tetap ada. Kita memberikan sedekah kepada fakir miskin. Ini bukan Kasih - kita hanya tergerak karena rasa kasihan. Sewaktu memberikan sedekah pun keangkuhan kita tetap ada: Aku yang memberikan sedekah itu, aku yang membantu pembangunan tempat ibadah itu, aku yang melayani mereka yang susah. Di mana-mana Anda akan menemukan 'aku' atau keangkuhan, Kasih tidak akan pernah ada. Kasih belum bisa muncul. Kasih adalah pelepasan keangkuhan. Begitu 'aku' terlepaskan, Kasih pun muncul. Arjuna terdorong oleh Rasa Kasihan, bukan Rasa Kasih........... Pangeran Rantidewa ikhlas, bukan hanya harta kepemilikannnya yang dipersembahkan kepada Hyang Maha Kuasa yang mewujud dalam berbagai bentuk. Nasi, air dan bahkan dirinya pun dipersembahkannya. Kemudian sang pangeran menutup matanya, mengatur napasnya dan mulai masuk dalam keheningan......... Selagi Pangeran Rantidewa masuk dalam keheningan, tiba-tiba para tamunya berkumpul dan mereka mewujud menjadi diri mereka yang sebenarnya, Brahma, Wisnu, Shiwa dan para dewa lainnya. Mereka disenangkan oleh tindakan Pangeran Rantidewa. Pangeran Rantidewa menghormati mereka dan sama sekali tidak minta anugerah apa pun. Pangeran Rantidewa sadar dibalik wujud para dewa, kuasa Ilahi, adalah Dia yang tak berwujud. Di balik wujud selalu ada yang tak berwujud. Yang penting bukan menyembah tetapi melayani-Nya. Pikirannya ditujukan kepada-Nya.  Ketika sedang merenungkan Hyang Maha Pengasih, avarana yang disebut maya yang terdiri dari tiga guna meninggalkannnya. Pangeran Rantideva terjaga dan menyatu dengan Yang Maha Agung, Paramatma, Param Brahman, Prambanan menurut lidah para leluhur kita. Resi Shukabrahma berkata kepada Parikesit, "Demikianlah wahai raja, Pangeran Rantidewa memerintah kerajaannya selama beberapa puluh tahun kemudian. Memerintah dengan dilandasi kesadaran. Dinasti Bharata patut berbangga mempunyai leluhur yang amat bijaksana." Raja Rantidewa memerintah dengan penuh kesadarannya, melaksanakan tindakan penuh kasih, bukan hanya sekedar mendirikan tempat ibadah belaka. Dalam buku "Narada Bhakti Sutra, Menggapai Cinta Tak Bersyarat dan Tak Terbatas", Anand Krishna, Gramedia Pustaka Utama, 2001 disampaikan.......... Dengan membangun sekian banyak tempat ibadah di mana-mana, sang penguasa menganggap dirinya sudah berbuat baik. Dia tidak peduli apakah tempat-tempat itu dimanfaatkan untuk beribadah atau untuk apa? Untuk menyebarkan kesejukan atau kebencian? Sebaik apa pun karma kita, bila tanpa kasih, sungguh tak berarti. Tanpa kepedulian yang lahir dari cinta, itu semua sungguh tak bermakna. Para rohaniawan pun demikian. Banyak di antara mereka yang hanya membaca buku dan meneruskan informasi kepada para jemaah, kepada umat masing-masing. Banyak yang tidak peduli apakah informasi yang mereka sampaikan itu "mengutuhkan" jiwa para pendengar atau justru sebaliknya, membagi, mengkotak-kotak dan mencabik-cabik jiwa mereka. Jiwa sendiri sudah tidak utuh, kemudian ketidakutuhan itu pula yang kita tularkan kepada orang lain......... Dalam buku "Narada Bhakti Sutra, Menggapai Cinta Tak Bersyarat dan Tak Terbatas", Anand Krishna, Gramedia Pustaka Utama, 2001 juga disampaikan.......... Mari kita melakukan introspeksi diri: Apa saja yang kita lakukan selama ini, mengembangkan rasa kasih tidak? Pendidikan agama di sekolah dasar mengembangkan rasa kasih atau justru menciptakan jurang pemisah berdasarkan agama? Mengikuti talk-show dan perdebatan di televisi berkembang rasa kasih atau justru rasa tegang, rasa benci? Profesi atau pekerjaan saya menunjang pengembangan rasa kasih atau tidak? Begitu pula dengan persahabatan saya, pergaulan saya, lingkungan saya..... Sebaliknya, bila dengan melihat kayu salib, atau kaligrafi Allah dan Muhammad, atau patung Buddha dan Laotze dan Kuan Yin timbul rasa kasih di dalam diri seseorang, maka kritikan kita terhadapnya sungguh tidak bermakna. Daripada berpolitik dan menyebarkan kebencian, lebih baik duduk diam menghadapi kaligrafi atau patung. Setidaknya bisa menimbulkan rasa kasih di dalam diri kita. Orang menganggap Anda gila, ya biarlah. Itu anggapan mereka. Hormatilah anggapan mereka. Tidak perlu membela diri. Lha mereka belum bisa melihat sisi lain kebenaran, mau dipaksa bagaimana? But again, silahkan berpolitik dan berusaha dan ber-"apa saja" bila semua itu menunjang pengembangan rasa kasih di dalam diri........... Demikian beberapa pandangan Bapak Anand Krishna untuk mempersatukan bangsa bahkan mempersatukan dunia dengan visi One Earth One Sky One Humand Kind. Sayang ada beberapa kelompok yang tidak suka dengan pandangan kebhinnekaan beliau dan berupaya mendiskreditkan nama beliau. Silakan lihat........ http://www.freeanandkrishna.com/in/ Mata Parikesit menitik mendengar kisah yang disampaikan Resi Shukabrahma dan berkata pelan, "Wahai Guru, sejatinya hanya karena rahmat Ilahi kami menjadi salah satu keturunan Pangeran Rantidewa. Guru telah membebaskan kami dari ketidaksadaran. Terimalah hormatku, Jay Guru Dev!" Dalam buku "The Ultimate Learning Pembelajaran Untuk Berkesadaran", Anand Krishna, Gramedia Pustaka Utama, 2010 disampaikan.......... Arti kata guru dalam bahasa Sansekerta adalah "bebas dari kegelapan kebodohan yang disebabkan oleh ketidaksadaran." Ungkapan Jaya Guru Deva dalam bahasa yang sama berarti, "berjayalah kemuliaan yang membebaskan diri dari kebodohan yang disebabkan oleh ketidaksadaran". Kemuliaan ini berada di dalam diri kita sendiri. Sumber kesadaran berada di dalam diri kita sendiri. Jiwa atau semangat panembahan tidak berasal dari luar diri. Seorang guru sejati hanya menginginkan kita bahwa kita tidak membutuhkan bantuan siapa-siapa. Kita bisa membantu diri sendiri. Kita bisa membebaskan diri dari kebodohan, dari ketaksadaran. Kemuliaan ada di dalam diri setiap orang, tinggal digali, ditemukan, dan diungkapkan. Seorang guru sejati membebaskan kita dari segala macam ketergantungan, termasuk ketergantungan pada dirinya. Hanya seorang seperti itu yang dapat membantu. Hendaknya kita selalu ingat bahwa sesungguhnya kita sendiri yang dapat membantu diri sendiri. Kita sendiri yang mesti membantu diri sendiri. Dan, kita dapat melakukannya, asal kita percaya diri. Itu saja.......... Situs artikel terkait http://www.oneearthmedia.net/ind/ http://triwidodo.wordpress.com http://id-id.facebook.com/triwidodo.djokorahardjo http://www.kompasiana.com/triwidodo http://twitter.com/#!/triwidodo3 Agustus 2011 Numpang Promo: Manusia tidak berubah, tetapi cara kita memahami kejiwaannya berubah. Psikologi konvensional Freudian yang banyak dipakai para motivator kontemporer dari Covey hingga Hicks ternyata tidak membantu memperindah dunia ini. Para ilmuwan modern seperti Ken Wilber mulai menengok ke belakang dan mempelajari kembali pandangan-pandangan Wiliam James dan Aurobindo, maka ilmu psikologi pun memasuki level baru, yaitu Transpersonal Psikologi yang sekarang sudah diakui oleh Inggris maupun AS. Berarti selama 100 tahun lebih kita menyalahpahami jiwa manusia. Dengan hasil yang sangat berbahaya, yaitu solusi-solusi kita pun salah. Dalam waktu dekat kita akan memulai program online baru, yang bahkan akan memasuki level transpersonal yang lebih advance, yaitu "Spiritual Transpersonal Psychology". Setelah program online di Svarnadvipa Institute of Integral Studies ( http://svarnadvipa.org ) yang dimulai Februari 2011, kini One Earth Integral Education Foundation  akan memulai program e-learning. Program online baru "Online Spiritual Transpersonal Psychology" ( http://oeschool.org/e-learning/ ) . Akan dimulai tgl 1 September 2011. Program dan pembahasan bilingual. Ada 12 materi biweekly/dua mingguan. Kualifikasi minimal S1. Usia tidak terbatas. Siapa saja boleh ikut. Biaya untuk program 12 lesson Rp 720,000. Pendaftaran terakhir tgl 15 Agustus 2011. Mereka yang mendaftar sebelum tanggal 7 Agustusi dan sudah melunasi, mendapatkan early bird discount dan hanya membayar Rp 540,000. Contact Person: Triwidodo, HP; 081326127289 email tdjokorahardjo@yahoo.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline