Lihat ke Halaman Asli

Renungan Kebangsaan: Prabu Salya yang Terjebak dalam Koalisi Korawa

Diperbarui: 26 Juni 2015   06:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Prabu Salya adalah Raja dari Negeri Mandaraka yang mempunyai istri Dewi Satyawati putra Resi Bagaspati seorang pendeta raksasa. Prabu Salya malu mempunyai mertua seorang raksasa, dan Resi Bagaspati memahaminya. Resi Bagaspati meminta Prabu Salya untuk setia dengan Dewi Satyawati seumur hidupnya dan kemudian minta Prabu Salya membunuh dirinya. Kemudian aji-kesaktian Candrabirawa miliknya dipindahkan kepada Prabu Salya.

Prabu Salya mempunyai 3 putri yang kawin dengan 3 raja, yaitu Erawati kawin dengan Prabu Baladewa, Surtikanti kawin dengan Adipati Karna dan Banowati yang kawin dengan Prabu Duryudana. Walaupun demikian Prabu Salya sangat dekat Pandawa. Dewi Madrim, adik satu-satunya kawin dengan Pandu Dewanata, maharaja Hastina berputra Nakula dan Sadewa.

Prabu Salya akhirnya menyesal bahwa dulu dia malu dengan mertuanya, Resi Bagaspati yang berwujud raksasa padahal berhati baik sehingga dikenal mempunyai darah putih dalam tubuhnya. Kini dia malu dengan menantunya, Prabu Duryudana seorang raja manusia yang bersifat raksasa yang mau menang sendiri dan selalu ingin memuaskan keserakahannya. Prabu Salya juga malu dengan Adipati Karna, menantunya yang angkuh karena merasa dekat dengan maharaja Hastina, Prabu Duryudana. Di masa tuanya Prabu Salya dapat membayangkan bagaimana rasa Resi Bagaspati kala mempunyai menantu dia yang juga sangat angkuh, yang kini telah dialami olehnya.

Di kala persiapan peperangan bharatayuda, Prabu Salya membawa balatentaranya menuju Wirata dimana Pandawa sedang mempersiapkan pasukan dengan koalisinya. Akan tetapi di tengah jalan dia dihormati dengan umbul-umbul, diminta menginap di tenda yang mewah dan disiapkan jamuan makanan yang lezat bagi dirinya dan seluruh pasukannya. Atas pelayanan tersebut dia sempat berucap menyatakan rasa terima kasih atas penghormatan dan akan memenuhi permintaan siapa pun yang telah mempersiapkan jamuan tersebut. Dan, tiba-tiba Prabu Duryudana dan Shakuni muncul menagih janji agar Prabu Salya dan pasukannya masuk dalam koalisi Korawa. Prabu Salya kalah janji dan menjadi sekutu Korawa dalam perang bharatayuda.

Boleh jadi Prabu Salya kurang tulus dalam membantu Korawa, akan tetapi pasukannya yang berjumlah besar akan membantu Korawa dan tidak menambah kekuatan Pandawa. Pada saat menjadi sais Adipati karna yang bertarung melawan Arjuna, Prabu Salya pernah sengaja memerosokkan roda keretanya sehingga bidikan Karna kepada Arjuna meleset, sedangkan bidikan panah Arjuna mengenai Adipati Karna hingga dia terbunuh.

Saat Para Ksatria Korawa sudah hampir habis terbunuh, Prabu Salya didaulat menjadi Panglima Korawa. Akan tetapi dia pernah memberi tahu Nakula dan Sadewa, keponakan-keponakannya bahwa dia hanya dapat dikalahkan oleh orang yang berdarah putih seperti almarhum mertuanya. Pada saat menjadi panglima tersebut, Prabu Salya mengeluarkan aji-kesaktian Candrabirawa, sehingga dari luka di tubuhnya keluar raksasa-raksasa yang membantunya. Saat raksasa-raksasa tersebut dilukai, maka darahnya berubah menjadi raksasa lainnya sehingga pasukan Pandawa kewalahan. Oleh Sri Krishna, Yudistira diminta maju ke tengah laga. Kala salah seorang raksasa menggigitnya, raksasa tersebut kaget karena darah Yudistira berwarna putih. Para raksasa merasa Yudistira adalah titisan Resi Bagaspati dan mereka semua merasuki tubuh Yudistira dan menjadi pelayan Yudistira. Akhirnya Prabu Salya mati ditangan Yudistira.........

Di usia muda, Prabu Salya masih berada dalam lapisan kesadaran fisik, dia malu sebagai raja mempunyai mertua seorang raksasa. Kesadarannya hanya berpusat pada perasaan diri, tidak memikirkan perasaan orang lain, perasaan mertuanya. Egonya besar sekali. Dalam buku “A New Christ, Jesus: The Man and His Works, Wallace D Wattles, Re-editing, Terjemahan Bebas, dan Catatan oleh Anand Krishna”, Gramedia Pustaka Utama, 2010 disampaikan......... Pertama-tama kita mesti jelas tentang Identitas Diri kita. Aku bukan badan, aku bukan pancaindra, semua itu diberikan kepadaku untuk kumanfaatkan, kupakai selama berada di dunia ini. Badan adalah kendaraanku, sarana, wahana. Badan bukan aku. Aku juga bukan napas, bukan organ pernapasan, bukan pula mekanisme pernapasan. Aku bukan energi, bukan getaran.... Karena, walau aku tidak bisa melihat energi dan getaran, tetaplah aku masih bisa merasakan keduanya. Berarti, aku bukan itu. Jika aku energi, atau vibrasi, atau getaran, siapa pula yang merasakan semua itu? Ada yang merasakan.... Tapi, perasaan dan pikiran itu pun bukanlah aku. Sulit mengendalikan pikiran maupun perasaan. Namun, tidak mustahil. Ada kalanya aku berhasil mengendalikan, ada kalanya aku gagal. Tidak, perasaan, dan pikiran pun bukanlah aku. Karena, yang dapat mengendalikan keduanya adalah entitas lain, yang dapat mengendalikan keduanya adalah inteligensiaku. Nah, barangkali 999,999 orang berhenti di lapisan pikiran/perasaan, atau paling banter di lapisan inteligensia. Hanyalah 1 dari 1,000,000 orang yang mampu menembus lapisan ketiga dan keempat untuk memasuki lapisan kelima........

Prabu Salya muda tidak sadar bahwa setiap pikiran, ucapan dan tindakannya adalah benih yang ditaburkannya setiap saat. Benih tersebut akan tumbuh dan pada saatnya nanti dia akan panen. Dia yang menanam padi akan menuai padi dan menunggu selama 4 bulan. Dia yang menanam benih mangga akan memetik mangga dan menunggu selama 6 tahun. Menanam pohon jati mungkin menunggu puluhan tahun..... Yang penting selalu menanam kebaikan...... Hingga suatu saat yang penting adalah melakukan tindakan penuh kasih tanpa mengharapkan imbalan apa pun...... Berbuat baik karena kita memang baik......

Dalam Bhagavad Gita, kebijaksanaan Sri Krishna lebih terfokus pada proses,pada pikiran, ucapan dan tindakan, bukan pada hasil. Manajemen berdasar proses. Kalau dalam setiap proses disadari dengan membuat cheklist tindakan yang “benar”, maka hasil akhir adalah benar; sebuah keniscayaan yang akan terjadi sebagai akibat dari semua proses tindakan. Dalam menghadapi hidup ini, yang penting adalah menyadari setiap proses, setiap pikiran, ucapan dan tindakan yang dilakukan, apa pun hasilnya akan datang kepada manusia sebagai akibat dari proses yang telah dijalaninya.

Beda dengan Sri Krishna, bagi Shakuni, kemenangan harus menjadi tujuan utama. Memenangi peperangan menyangkut disiplin pantang mundur. Hasil akhir kemenangan sebagai tujuan. Manajemen yang diambil berdasarkan sasaran akhir kemenangan. Dalam kalimat yang lebih tegas, yang penting menang walau dengan segala macam cara. Kiranya sudah jelas kebijakan Shakuni, landasan perang bagi dia adalah tipu muslihat.

Sayangnya dalam kehidupan bangsa yang serba materialistis ini nasehat Shakuni lebih sering diterapkan, bagaimana caranya agar menang. Mereka lupa hukum alam bahwasanya tindakan penuh muslihat, walaupun sementara berhasil, pada suatu saat akan menuai akibat yang penuh muslihat juga...... Kita dapat melihat pengaduan pelecehan seksual dari TR kepada Bapak Anand krishna..... Sesi Terapi yang diberikan pada TR oleh Terapisnya sangat overdosis (45 kali dalam kurun 3 bulan) sehingga diduga bisa terjadi penanaman memori palsu secara sengaja, maupun tidak sengaja yang terkenal dengan sebutan cuci otak. TR diisolasi dari dunia luar selama 3-4 bulan oleh terapisnya. Adanya unsur pengarahan yang diakui terapis ketika melakukan terapi pada TR.

Lihat berkas lengkap di http://freeanandkrishna.com/

Terjadinya inkonsistensi pada Kesaksian TR, yang berbeda-beda dari BAP 1 dan BAP 2 dan kesaksiannya di dalam sidang pengadilan. Gejala inkonsistensi kesaksian/pengakuan ini merupakan dampak langsung dari terjadinya Penanaman Memori Palsu. Misalnya dalam Surat Dakwaan tertulis : (1) Tempat Kejadian di Fatmawati, tapi di persidangan dikatakan oleh pelapor terjadi di Ciawi.

(2) Waktu Kejadian antara April – Juni 2009, tapi di persidangan, pelapor ingat waktunya adalah tanggal 21 Maret 2009.

TR mengaku dalam ruang sidang bahwa tanggal 21 Maret 2009 adalah hari pertama terjadinya dugaan pelecehan seksual yang terjadi di Ciawi. Pada hari yang dimaksud, AK berada di Sunter – Jakarta, karena memberikan ceramah di acara open house yang diadakan 2 minggu sekali. Bahkan ada buku tamu yang bisa dijadikan bukti, dan puluhan orang menjadi alibi bahwa AK berada di Sunter pada hari yang dimaksud.

Saksi FA dan Saksi DM mengaku mendapatkan pelecehan seksual dari terdakwa tahun 2002 – 2004, tapi mereka menulis dan menerbitkan buku di tahun 2006 dimana dalam buku itu ada catatan dari mereka sebagai penulis mengungkapkan rasa terima kasih dan kekaguman kepada terdakwa. Bila mengalami pelecehan seksual sebelumnya, kenapa bisa mengungkapkan rasa apresiasi dan kekaguman pada terdakwa lewat tulisan?

Kemudian hanya 10 % pertanyaan yang ditanya tentang Pasal 290 KUHP, tentang Pelecehan Seksual. Sisa 90%nya ditanya terkait kegiatan, program, pemikiran dan buku-buku A.K yang dijual bebas di toko-toko buku. Ini adalah upaya kriminalisasi pemikiran seseorang.

Semoga jaksa dan hakim sadar akan amanah yang diembannya dan menuntut serta memutuskan perkara dengan seadil-adilnya.......

Situs artikel terkait

http://www.oneearthmedia.net/ind/

http://triwidodo.wordpress.com

http://id-id.facebook.com/triwidodo.djokorahardjo

http://www.kompasiana.com/triwidodo

Mei 2011




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline