Ada benarnya juga ungkapan filosofis yang disampaikan oleh Pak Dad perihal manusia adalah makhluk festival. Segala hal yang menyentuh ranah 'orang banyak' lazim sekali dibuat perayaan.
Bahkan untuk urusan yang sedih-sedih seringkali dibikin emosional, dramatis, merengek-rengek, dan baru-baru ini saya sadar barangkali perilaku itu adalah perayaan kita misalnya menghadapi kematian, kepergian, perpisahan, penghianatan, dan sebagainya.
Andaikan Pak Dad---begitu saya menyebut dari nama asli beliau Dadija Oetomo, dipertemukan dengan saya pada forum yang entah pada awal-awal kehidupan saya dahulu, reaksi saya terhadap perpisahan mungkin saja akan sedikit berbeda.
Bisa jadi saya tak perlu nangis saat berpisah dengan masyarakat desa adat Nuamuri 2014 yang lalu, bahkan tak perlu menangis seepanjang perjalanan dari Boalemo (Gorontalo) hingga sampai di tanah Jawa.
Bertemu lalu berpisah. Begitu seterusnya alur kehidupan yang dimaknai berbeda-beda, anugrah atau bencana. Kata Pak Dad dalam suatu forum yang bertajuk 'Ngaji (tetapi esensinya sebuah diskusi perpaduan religi filsafati) puncak keparipurnaan seorang manusia adalah ketika mencapai derajat 'Alhamdulillah'nya.
"Maka, hiduplah dengan biasa-biasa saja. Bertemu ya biasa saja. Berpisah ya biasa saja. Termasuk kalau saya harus dipindahtugaskan ke tempat lain ya biasa saja"
Mei tahun lalu pertama kali bersua dengan beliau di ruang guru SMPN 1 Jatirogo. Asap rokok mengepul dari mulut beliau disusul kalimat ramah yang bagi saya bukanlah suatu basa-basi seperti layaknya penyambutan saya di tempat lainnya.
"Kita mendapat keluarga baru". Sebutan keluarga baru ini diluar ekspektasi saya. Tentu penyebutan ini terngiang-ngiang bahkan sempat saya sampaikan di beranda facebook bahwa saya sangat senang dianggap sebagai keluarga baru, bukan guru baru yang secara substantif ada makna 'hari ini harus segera bekerja'.
Berproses dengan Pak Dad sudah selayaknya menjadi pembelajaran singkat yang kaya esensi. Beliau bukan orang baik. Sebaliknya beliau adalah seorang diktator khas njowo yang tenang tanpa teriak-teriak. Beliau adalah pemberontak, pendobrak, dan punya pengaruh yang sangat besar di lingkarannya.
Bagi beliau bekerja adalah bekerja untuk kebermanfaatan, bukan seperti kebanyakan kita yang seringkali bekerja untuk eksistensi. Maka tak heran karya beliau seringkali tidak terdokumenkan secara mandiri, bahkan beliau gemar dengan asertif menyentil orang-orang selfish yang menganggap dirinya superior.
Prinsip pekerjaannya dilandasi dengan kesungguhan, menghindari ritual yang sifatnya formal dan seremonial. Yang saya tangkap dari karakter ini, keformalan itulah yang menyebabkan masyarakat kita sibuk berpura-pura, sibuk memperindah citra diri, sementara hasilnya tak seberapa---miskin esensi.