Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan saya sebelumnya, bagi para pembaca yang belum membaca artikel jilid I silahkan klik link berikut "Ketimpangan Penghasilan Wartawan (jilid I)".
Ketimpangan Gaji atau pendapatan seorang wartawan tidak berhenti dari rendahnya hasil jerih payah yang mereka lakukan. Untuk diketahui ternyata ada pula wartawan yang memiliki gaji nol atau bahkan minus. Mengapa? selain tidak mendapatkan gaji dari lembaganya, si wartawan tersebut juga tidak memperoleh honor dari tulisan atau berita yang ditulisnya. Lebih ironis lagi, jika wartawan tersebut menginginkan beritanya bisa dimuat di halaman utama, ia harus stor upeti ke redaktur atau ke redpel datau pemred. Tapi kalau setuju beritanya cukup dimasukkan ke halaman dalam, maka sang wartawan tidak perlu repot setor upeti.
Kondisi ironis inilah, yang saya sebutkan bukan saja bergaji nol rupiah, melainkan minus alias di bawah nol. Karena sudah tidak digaji, juga tidak diberi honor dari berita yang ditulisnya, dan justru diminta stor upeti kepada atasan.
Lantas bagaimana wartawan yang gajinya nol rupiah bisa makan dan mengurusi anak istri? Bagaimana pula wartawan yang gajinya di bawah UMK bisa bertahan hidup? Kondisi inilah yang lantas membuka pintu atau memungkinkan, munculnya wartawan gadungan atau wartawan nakal.
Suaya bisa bertahan hidup, sang wartawan nakal tersebut tak segan meminta uang kepada narasumber ata para pejabat yang ditemuinya. Dengan berbagai alasan yang dicari-cari, mereka berusaha bagaimana caranya agar sang narasumber bisa mengeluarkan uang.
Tentu saja para narasumber ini memiliki seribu satu trik atau strategi untuk memeras seseorang. Yang diperasnya tidak saja terbatas pada pimpinan perusahaan, kepala pemasaran, atau kepala bagian saja. Namun para wartawan nakal tersebut juga memeras, Gubernur, Wakil Gubernur, Walikota, Bupati, Camat, hingga Lurah dan perangkat desa di Kampung-kampung.
Agar para narasumber berita yang notabene alangan pejabat atau pengusaha bisa keluar uanngnya, komunitas para wartawan nakal ini memiliki banyak cara atau taktik tertentu. Yang jelas, dengan memeras, wartawan nakal bisa hidup layak. Meski gaji di bawah UMR, mereka bisa memperoleh pendapatan di luar gaji dengan cara yang nakal pula, bahkan bisa saja pendapatan tersebut jauh lebih besar dari pendapatan wartawan tersebut dari lembaganya.
Demikian pula para wartawan gadungan yang tidak memiliki gaji bulanan alias bergaji nol rupiah (bahkan bergajih minus). Dalam kenyataannya banyak di antara mereka yang hidupnya bisa berlimpah harta. Dengan teknik tertentu yang mereka memiliki, dana bisa mengalir dari setiap narasumber yang mereka temui. Bahkan tidak mustahil, pendapatan total para wartawan nakal ini berada di atas wartawan resmi yang hidupnya "lugu dan jujur".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H