Lihat ke Halaman Asli

Magenta

Diperbarui: 17 Juni 2015   23:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

MAGENTA

A

ku menyadari Liana sedang menangis disamping tubuhku. Dia berusaha untuk membangunkanku, tetapi aku pura-pura tak menghiraukannya. Berulang kali dia mengguncang-guncangkan tubuhku dan memukulkan tangannya dilenganku. Lagi-lagi aku hanya terdiam. Tak ada yang bisa aku perbuat selain melihatnya menangis. Aku ingin memeluknya, mendekapnya dan memberinya ketenangan. Namun aku tak ingin dia semakin larut dalam tangisnya. Aku ingin dia segera memberikan senyumannya kembali. Aku memilih untuk diam.

Selepas maghrib, Liana masih setia disampingku. Tangisnya sedikit mereda. Sesekali dia terisak dan mengusap air matanya dengan punggung tangan atau kerudungnya. Berulang kali dia mengusap wajahku dan menatapku terpekur. Aku hanya bisa kembali terdiam. Beberapa saat kemudian Ibuku datang membawa minum untuk Liana. Ibuku terlihat baik-baik saja hari ini. Syukurlah.

“Sudahi tangismu, Li. Tangismu tak akan bisa membuat Wahyu kembali padamu lagi. Mungkin dia terlalu kecewa dengan sikapmu,” Ibu membuka percakapan. Sementara aku menatap wajah Ibu yang mulai terlihat sedih bercampur perasaan kecewa. Liana kembali terisak mendengar ucapan Ibu. Aku sangat paham dengan perasaan mereka.

“Liana tahu kalau Liana salah, Bu. Liana sangat menyesal atas perbuatan Liana,” isaknya semakin menjadi. Suaranya mulai tercekat. Aku semakin tak tega mendengar percakapan mereka, sementara aku hanya terdiam.

Liana. penampilannya yang ayu, lembut, keibuan, tingkah lakunya yang bak putri keraton. Meyakinkanku untuk menjadikannya sebagai wanita idaman untuk aku dan keluargaku. Aku semakin yakin seiring pertemuanku dengan Liana yang kian sering dikantin Ibuku, disebuah perusahaan dikotaku,             Bekasi. Liana adalah salah satu karyawan perusahaan tersebut.

***

“Kalau kamu yakin, segera bawa dia kerumah. Ibu ingin ngobrol dengan dia. Selama ini kan Ibu hanya melayani dia saja kalau dia beli nasi dikantin,” Ujar Ibu ketika aku menceritakan kedekatanku dengan Liana.

“Dia kan perempuan, Bu. Pasti dia malu,” aku beralasan. Sebenarnya aku ingin menyegerakan permintaan Ibu. Namun aku tau, sikap Liana yang selalu ditata dengan budi pekertinya.

Sedikitpun aku tak dapat melelapkan mataku. Aku masih terpikirkan oleh permintaan Ibu. Apa aku harus memenuhinya? Tidak ada salahnya jika Ibu saja sudah merestui aku dengan Liana.

***

“Wahyu, sebentar lagi jam makan siang. Apa Liana datang ke kantin?” aku yang sedang membersihkan meja sedikit terkejut dengan pertanyaan Ibu.

“Seperti biasanya, Bu. Liana tidak suka membawa makanan dari kontrakannya,” aku terus melanjutkan pekerjaanku. Dari sudut mataku, aku melihat Ibu mendekatiku.

“Ibu ingin ngobrol dengan Liana,” Ibu tersenyum dan mengelus tanganku. Aku tersipu mendengar ucapan Ibu. Rasanya seperti membicarakan tanggal pernikahan saja. Aku tertawa dalam hati.

“Lima belas menit lagi, Bu,” Ibu mengangguk dan melanjutkan pekerjaannya dibalik etalase yang penuh hidangan.

***

“Ibu hanya ingin aku menjagamu, Mas. Ibu menginginkan yang terbaik untuk kita. Semua tergantung kita bagaimana kedepannya. Kita sudah diberi kepercayaan oleh orang tua kita,” Liana menceritakan hasil obrolannya dengan Ibu ketika jam kerja sudah selesai.

“Tapi apa kita sanggup menjaga kepercayaan yang sulit ini, Li? Kita baru saling mengenal satu tahun yang lalu, dan kuliahku juga belum selesai.” Aku menggenggam tangan Liana.

“Tidak usah buru-buru, Mas. Tuhan tau yang terbaik, kita tunggu saja waktunya hingga kita dipersatukan.”

***

Tiga tahun sudah aku dan Liana menjalani hubungan ini. Keyakinanku untuk segera memperistri Liana semakin kuat. Disamping aku sudah lulus kuliah dan mempunyai usaha kecil-kecilan dengan temanku, juga karena Ibuku yang terus mendesakku. Maka dengan sedikit malu-malu, aku menceritakkan semua keinginanku pada Ibuku.

“Ibu selalu mendoakan yang terbaik untukmu, Wahyu. Sebenarnya Ibu sudah mempersiapkan segalanya sejak awal. Hingga akhirnya kamu yang meminta pada Ibu,” ujarnya. Aku sempat terharu ketika Ibu menyodorkan buku tabungannya, yang katanya dipersiapkan untukku. Tak terasa embun bening meluncur deras dari sudut mataku. Aku memeluk ibu erat-erat.

“Baiklah, mungkin lusa Ibu dan pamanmu akan datang ke kontrakan Liana dan membicarakan semuanya. Kamu segera memberitahu Liana kedatangan Ibu dan Pamanmu,” Ibu mengusap rambutku dengan penuh sayang. Aku menatap wajahnya yang mulai mengeriput. Sempat terbesit dibenakku, bagaimana jika aku menikah, pasti Ibu hanya bersama Sapar, adikku, dirumah setelah kepergian Bapak tujuh tahun silam.

“Liana sedang pulang ke Sukabumi bu, sudah tiga bulan ini. Aku dan Liana hanya bisa telfon atau mengirim pesan saja,” aku menyesal pada Ibu karena tidak memberi tahu sebelumnya. “Liana bilang sedang ada urusan keluarga dirumah, Bu. Jadi orang tuanya meminta Liana segera pulang ke Sukabumi,” aku meneruskan penjelasanku pada Ibu. Ibu termenung beberapa saat.

“Kalau begitu, biar Wahyu dan Mang Ogi saja yang ke Sukabumi menemui mereka, Bu,” aku segera menenangkan Ibu dengan permintaanku.

“Ya sudah, kalau kamu maunya begitu,” Ibu tersenyum.

Malamnya aku menghubungi Liana, memberi tahu rencanaku dan Ibu. Pasti dia senang karena aku akan meminangnya. Bukan hanya Ibu yang mendesakku untuk segera menikahinya, tetapi Liana juga sudah berulang kali menanyakan pernikahan aku dan Liana.

“Halo, Mas Wahyu,” terdengar sapaan dari seberang sana. Suara perempuan yang sangat aku rindukan selama tiga bulan ini.

“Halo, Li. Bagaimana kabarmu?” aku sangat sumringah mengawali percakapanku dengan Liana. Mungkin karena terlalu semangat akan memberitahukan rencanaku dan Ibu.

“Mas Wahyu ini apaan, sih. Baru tadi siang telfon Liana dan nanyain kabar Liana. Sekarang udah tanya lagi,” aku mendengarnya tertawa.

“Hahaha,” akupun hanya bisa tertawa.

“Ada apa, Mas? Sudah hampir jam sebelas, kok belum tidur?” Liana mulai menanyakan tujuanku menelfonnya. Aku bingung mengawalinya.

“Begini, Li. Beberapa waktu yang lalu, kamu menanyakan tentang kapan aku akan melamarmu. Sebenarnya bukan hanya kamu yang menanyakan hal itu, tapi Ibu juga sudah sangat sering mendesakku,” aku mengatur nafasku. “Aku juga sudah yakin dengan keinginanku untuk melamarmu. Jadi, aku menceritakam semua keinginanku pada Ibu.”

“Lalu?” Liana sedikit menanggapi penjelasanku dari seberang sana.

“Ibu merencanakan pertemuan keluarga kita, Li. Lusa, aku dan Mang Ogi akan menemuimu di Sukabumi,” aku harap-harap cemas menunggu jawaban dari Liana.

“…,” tak ada jawaban dari seberang. Aku semakin tak karuan. Apa mungkin setelah ini Liana akan menangis terharu? Ah, sudah pasti. Namun, hingga beberapa saat, hening.

“Halo, Li? Kamu masih disana? Halo? Kamu dengar aku, kan? Halo..halo?” aku cemas karena tetap tak ada jawaban dari Liana. Tak lama aku mendengarnya terisak. “Li, kamu baik-baik saja kan?”

“Aku baik-baik saja, Mas,” Liana menjawab dengan parau. “Jam berapa berangkat dari Bekasi, Mas?” sambungnya.

“Jam enam pagi kita usahakan sudah dalam perjalanan, Li,” aku termenung sejenak karena masih  bingung dengan sikap Liana yang tiba-tiba terisak.

“Kalau begitu biar Liana sampaikan pada Ibu dulu, Mas. Biar ada persiapan,” Ia menambahi sebelum mengakhiri obrolanku dengannya.

Sikap Liana masih menggantung dipikiranku sebelum aku terlelap. Aku rasa ada yang Liana sembunyikan dariku. Pikiran yang buruk sempat ada dipikiranku. Tak ayal, karena selama tiga bulan ini aku dan Liana hanya berkomunikasi lewat telfon saja. Ah, sudahlah. Aku tidak mau berpikir terlalu jauh. Mungkin saja Liana memang terharu mendengar aku akan melamarnya. Yah, aku yakin.

***

Orang tua Liana ikut hadir menemani putrinya, untuk menghibur diriku. Namun apa artinya aku sekarang? Aku sudah menyerahkan semua keadaan pada Tuhan.  Bagiku, tidak ada yang perlu ditangisi lagi, tidak ada yang perlu disesali. Aku juga tidak menyalahkan Liana atau bahkan orang tuanya. Aku memperhatikan mereka bergantian.

“Bapak sangat menyesal, Li. Sungguh Bapak menyesal,” aku mendengar Pak Husen, bapak Liana, mulai menangis. Wajahnya begitu muram penuh penyesalan.

“Andai saja waktu itu Bapak menolak tawaran Den Aryo, pasti kamu dan Wahyu sekarang sudah bertunangan,” lanjutnya sambil menutup wajahnya.

Sementara Liana yang tangisnya sudah mereda, kini mulai lagi berlinangan air matanya. Tangannya begitu kuat memegang lengan dan jemariku. Aku mulai bingung, apa yang harus aku lakukan? Aku ingin semua tak ada penyesalan, aku ingin semua tahu bahwa aku tak menyalahkan siapapun. Aku sudah merelakan Liana jika ia harus dinikahkan dengan Aryo. Bahkan, aku rasa Aryo lebih pantas menjadi suami Liana dibandingkan dengan aku. Aku tak seperti Aryo, yang mampu melunasi hutang-hutang orang tua Liana, karena aku tak punya uang sebanyak dia.

“Ibu juga sudah bilang, Bah. Jangan percaya dengan segala iming-iming dari Den Aryo, pasti ada maunya. Dia berkilah akan melunasi hutang-hutang kita, tapi ternyata dia menginginkan Liana,” ucapan dari perempuan yang turut berkecamuk, ibu Liana.

Aku sudah lelah mendengar mereka saling mengungkapkan penyesalan, aku ingin istirahat sekarang juga. Tetapi tangan mungil yang sedari tadi melingkar dilenganku membuat aku tak tega untuk mengakhirinya.

“Bu, sudah siap,” seorang remaja laki-laki masuk, berbisik pada ibuku. Sapar, adikku. Matanya sembab. Ah, dia sudah dewasa. Kini dia mengerti apa yang menjadi urusanku, hingga dia ikut menitikkan mutiara matanya. Sapar, adikku. Aku tertegun.

***

Berulangkali Liana mengusap air matanya, berulangkali juga ia menggenggam tanganku begitu erat, seolah tak membiarkan aku pergi jauh. Aku sangat mengerti perasaannya.

“Kamu tau, Mas?” Liana menatapku dengan kesedihan yang memuncak.

“Tentang apa?” mataku kini memerah, rasanya panas disertai hatiku yang ngilu.

“Tuhan menciptakan magenta dilangit senja, dan menciptakan pelangi ketika gerimis,” ia berhenti, kemudian meremas jariku. Aku tersenyum dan membalas genggaman tangannya. “Mereka tidak pernah bertemu satu sama lain,” lanjutnya.

Aku biarkan dia bercerita sepuas hatinya. Aku tidak ingin bertanya apa yang terjadi selanjutnya. Akan menjadi kebohongan dari mulutku jika aku bertanya. Hatiku perih, ngilu dan sudah tak merah lagi. Aku rasa lebih baik jika aku menatap wajah ayunya lekat-lekat untuk melepasnya dengan Aryo.

“Tetapi, mereka tak pernah putus asa berdoa pada Tuhan agar mereka dapat dipertemukan. Dan kamu tahu, Mas? Akhirnya Tuhan mempertemukan mereka dilangit senja yang gerimis. Tuhan mempertemukan mereka karena mereka saling menyayangi. Tetapi itu terjadi hanya sekali, karena sebenarnya mereka tak begitu saling membutuhkan. Perasaan cinta lah yang menguatkan mereka satu sama lain. Tak ada penyesalan, tak ada kesedihan. Karena disetiap waktu mereka tiba, mereka akan menghibur makhluk-makhluk dibawah, dibumi,” ia mengakhiri ceritanya. Tangisnya mulai mereda, namun matanya masih merah.

Ada yang aneh setelah aku mendengar cerita Liana. Aku rasa cerita Liana seperti bingkisan untukku. Aku memejamkan mata, mencoba menggali apa yang sebenarnya aku rasakan. Yah! Liana benar. Mungkin aku dan Liana tidak saling membutuhkan, namun hanya saling menyayangi. Akhirnya Tuhan mempertemukan aku dan Liana hanya sekali saja. Saat ini Liana adalah pelangi dan aku magenta. Sedangkan disisi lain, Liana sebagai pelangi dan gerimis yang selalu menemaninya adalah Aryo.

Liana kini mulai letih. Embun-embun yang ia coba pertahankan agar tidak keluar membasahi pipinya, kini mulai berjatuhan, ketika mengantarku pulang didepan rumahnya.

“Tidak ada ramuan khusus untuk menyiasati takdir. Tidak keikhlasan, tidak juga angkara. Hanya Tuhan yang bisa menyiasati takdir dan barangkali, dengan mengenal Dia maka kita akan ditunjukkan oleh-Nya, jalan yang terbaik dalam menelusuri takdir kita,” hanya kalimat itu yang mampu aku keluarkan untuk Liana. Hanya kalimat itu yang aku anggap mampu menguatkan Liana tanpa aku. Hanya kalimat itu yang mampu mengiringi kebahagiaan pelangi dan gerimis. Hanya kalimat itu yang sampai dari magenta senja hari untuk pelangi disiang hari.

***

Mang Ogi menetap di Sukabumi, ditempat kawannya. Mau tak mau aku harus pulang sendiri ke Bekasi dengan sepeda motor Mang Ogi. Setengah perjalanan, gerimis datang. Ah, gerimis. Pasti ada pelangi disana. Sayangnya sekarang bukan senja hari, sehingga magenta tidak dapat menemaninya. Tak aku hiraukan lagi. Gerimis, pelangi, jalan licin, atau apalah. Aku rasa mereka tahu bagaimana perasaanku sekarang. Basah! Bukan basah karena gerimis yang semakin deras, bukan. Basah karena dilumuri kesedihan yang memuncak. Pertigaan didepanku tak aku hiraukan lagi. Rasanya mereka adalah Liana dan aku yang saling bertemu, tetapi kemudian dilalui oleh Aryo. Aku rasa begitu.

“PRAANG..BRAKK!!!”

Aku merasakan pening dikepalaku. Pandanganku kabur. Samar-samar aku melihat orang beramai-ramai mendekatiku. Pening dikepalaku semakin menjadi. Nafasku terasa memburu dan semakin sesak. Suara tak begitu jelas ditelingaku, dan akhirnya gelap.

***

Baru kali ini aku merasakan tubuhku sesegar ini. Dingin tidak aku pedulikan lagi. Jarang sekali aku mandi sehabis maghrib. Rupanya pakaianku sudah disiapkan dengan rapi. Entah oleh siapa. Mungkin Ibu, Sapar, atau Liana?

“Bu, kafannya sudah saya siapkan diruang tengah. Apa jenazahnya sudah selesai dimandikan?” seseorang yang memakai peci memanggil ibuku, dia Pak Juned, kayim dikampungku.

“Sudah, Pak Juned. Tolong panggilkan beberapa orang laki-laki untuk menggotong Wahyu,” pinta ibuku pada Pak Juned. Lelaki yang cukup dihormati ini, setengah berlari menuju ruang tamu untuk memanggil kerabatku.

Kuncung, Edi dan Bagas nampak berlari kearahku. Ketiga sahabatku ini begitu tegar menerima kenyataan bahwa aku harus meninggalkan mereka. Tidak akan ada lagi nonton bola bersama mereka, tidak ada lagi yang dapat dipinjami uang selama berbulan-bulan selain aku, dan tidak akan pernah ada lagi mendaki gunung yang menjadi hobiku dan mereka bertiga.

“Wahyu masih tetap saja ganteng, yah,” kuncung mulai dengan gurauannya. Aku tak tahan untuk tertawa ketika ia menatap wajahku.

“Bawanya pelan-pelan aja, Cung!” aku berujar pada Kuncung, ketika mereka dan orang yang lain mulai mengangkat tubuhku. Tapi mereka tidak menghiraukan ucapanku.

***

Selepas shalat dhuha, aku sampai diantar oleh keluarga dan kerabatku. Inilah rumah baruku. Inilah kamar tidurku yang baru. Dan inilah tempat peristirahatan terakhirku. Tidak akan menjadi tempat yang indah tanpa adanya doa dari keluarga dan kerabatku. Pak Juned memimpin doa diatas sana. Wajahnya khusyuk dan matanya terpejam. Ditangannya, ia menggenggam tasbih berwarna biru muda. Ia melantunkan doa, dan pelayat yang lain mengamininya. Ada setitik ketenangan, saat gemuruh suara mengamini doa, menyusup ke relung hatiku. Ketika aku mengedar pandangan, aku menemukan sosok yang lebih memberiku ketenangan. Ibuku dan Liana.

Dua perempuan hebat yang sudah menjadi mentari selama aku bernafas. Perempuan yang sudah menjadi muara tangisanku ketika keputusasaan datang padaku. Dan dua perempuan hebat yang mengorbankan seluruhnya untukku, hingga aku tertanam dibawah mereka.

Embun bening kini menjebol pertahananku. Gemuruh didadaku semakin menjadi ketika mereka mulai meninggalkanku. Kesedihan yang amat dalam. Terpikirkan betapa kesepiannya aku malam ini dikamar baruku.

Aku menangkap sosok perempuan yang berjalan paling belakang. Liana. Dia berjalan begitu pelan, dan sesekali menengok kebelakang, ke pusaraku. Aku berlari menghampirinya dan berhenti tepat dihadapannya. Ia pun berhenti. Aku dan Liana saling berhadapan. Aku menatap Liana. Liana hanya menatap kedepan. Matanya penuh kekosongan. Tak berapa lama gerimis datang.

“Mas, aku merasakan kamu masih ada disini,” aku lega mendengarnya. “Lihatlah, Mas. Ada pelangi,” Liana mendongakkan kepalanya. “Itu pelangi, Mas. Pelangi yang mengantar kepergian magenta senja kemarin sore. Aku rasa dia baru sempat mengantarnya pagi ini,” ia melanjutkan langkahnya dibarengi dengan tetesan air matanya. Sementara aku terpaku menatap Liana dan pelangi itu bergantian.

“Ini tentang takdir yang pernah aku katakan padamu, Li. Ini tentang pelangi dan magenta yang tidak akan bertemu lagi. Mereka tidak saling membutuhkan, tetapi mereka dibutuhkan oleh orang-orang yang mencari kebahagiaan. Tunggu aku disenja hari, Li.”

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline