Lihat ke Halaman Asli

Fery Mulyana

Entrepreneur

Last Call from Busan

Diperbarui: 17 Juli 2021   07:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Pixabay

Langit tak mengungkap nasib siapa pun, kecuali di bagian yang bercerita soal masa kini. (Alexander Pope)

"Aku ingin pergi ke bulan". Kalimat itu muncul saat kita pertama kali bertegur sapa. Seiring berjalannya waktu, lalu kita bercengkrama menenun untaian jaring-jaring pertemanan dan kemudian melangkah maju untuk menjahit kebersamaan dalam cinta dan kasih tuk menggapai sebuah ikatan tali suci. Semua begitu nyata, indah bagaikan tatanan irama dalam dentingan bait-bait nada tuts piano.  

"Aku ingin pergi ke bulan". Entah kenapa kalimat itu sering muncul dalam setiap obrolan kami, aku tidak pernah berusaha menyelidikinya, tidak pernah sedikitpun terbesit untuk mencari tahu apa yang sebenarnya ada dalam benaknya walaupun kadang aku mengomentari kalimat itu dengan canda, ya dengan canda layaknya sepasang kekasih yang sedang dimabuk cinta, canda yang renyah nan ringan yang tidak lebih hanya membuatnya mengulum senyum tanpa makna atau mungkin justru mengandung arti yang tak lebih dari "kamu tidak tau".

"Aku ingin pergi ke bulan". Kalimat yang selalu meluncur kesekian ratus kalinya dalam kesekian ratus kali obrolan kami dan kali ini mengiringi pamitnya meninggalkan Jakarta menuju Negeri Ginseng. "Papa membutuhkan ku sementara disana". Begitu dia genapi dengan berat alasannya.

"Aku ingin pergi ke bulan". Kalimat ini muncul lagi tiba-tiba, kalimat yang tidak ada dalam konteks obrolan kami manapun. Kali ini lebih sering apalagi kami telah terpisah dalam jarak yang jauh. Kalimat yang tidak lebih hanya aku anggap sebagai intermezo atau iklan lewat yang tidak pernah aku perhatikan. Sekilas aku anggap itu hanya keinginan yang mengada-ada dari mungkin refleksi masa kecil kala orang tua menanyakan ingin jadi apa kalau kamu sudah besar nanti? Kalimat yang tak lebih dari gambaran mimpi atau cita-cita masa kecil yang mungkin masih diingat atau kerinduan masa-masa tanpa beban berarti saat usianya baru menginjak hitungan jari.

"Akan aku antarkan kamu ke bulan". Suatu ketika kalimat itu muncul begitu saja dari mulutku, menimpali kalimat yang dia sampaikan beberapa detik sebelumnya. 

Dia terdiam, tidak biasanya raut nya datar atau setidaknya "sepertinya" raut nya datar atau mungkin wajahnya mengekspresikan sesuatu? Entahlah, tapi sepertinya raut datar menjadi gambaran yang muncul dalam bayang benak ku saat itu. 

Berbagai roman raut mukanya sering kali aku bayangkan, bahkan menjadi hal yang biasa tatkala obrolan-obrolan itu muncul dalam sambungan telepon atau sms yang selama ini kami lakukan setiap saat ketika rasa rindu itu muncul ke permukaan.

Kalimat itu menjadi satu-satunya kalimat yang membuatnya terdiam untuk beberapa saat, kalimat yang tidak dia tanggapi dengan kalimat lagi, tapi sepertinya dia tanggapi dengan kecamuk perasaan yang menjadikan tanyanya semakin membesar, bukan tanya "seberapa mampu kamu mengantarku?" Atau "mengapa dan bagaimana kita tiba kesana?" Tapi tanya "apakah kini kamu sudah mengerti tentang aku?"

Apakah bulan menandakan kesendirian dan kesepian dari batinnya yang galau?, ataukah hanya kecamuk hati akan perasaan kuatir yang muncul yang menandaskan kesetiaannya pada sang bumi? 

Atau mungkin karena sinarnya yang lembut yang menerangi kala gelap muncul saat perginya sang matahari?. Jutaan bait puisi bertebaran memuja memuji sang bulan, dari ribuan tahun lalu hingga kini, syair dan tembang melantun melambangkannya dengan misteri ilahi hingga mistisme para kaum, lalu arti apa yang bisa aku tafsirkan dengan ucapan yang tiap kali dilontarkannya di setiap saat disela kita melepas rindu?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline