Pagi ini tanggal 17 Desember 2024, saya ingin menuliskan terkait dengan penanganan pelanggaran kode etik yang tampaknya saat ini agak diabaikan khususnya oleh internal audit organisasi publik. Pelanggaran-pelanggaran di bidang akademik seperti plagiasi yang dilakukan oleh para civitas akademik ditangani tidak melalui sidang etik tetapi dilakukan langsung pemeriksaan oleh tim khusus yang melakukan investigasi dan membuat putusan atau hukuman langsung berupa rekomendasi penurunan gelar jabatan profesor misalnya. Begitu pula penanganan para pegawai ASN yang berprofesi sebagai guru, auditor, perawat tenaga medis dan lain-lain juga ada kecenderungan ditangani tidak melalui pemeriksaan pelanggaran kode etik tetapi ditangani oleh tim khusus yang melakukan investigasi.
Secara prosedur, ketika dalam sebuah organisasi profesi seperti dokter, guru, auditor, pilot, advokasi dan lain-lain bila sudah terbentuk aturan etik dan dewan kode etik, setiap pelanggaran atau mal praktik yang dilakukan oleh para profesional tersebut seharusnya ditangani terlebih dahulu melalui pemeriksaan dan sidang kode etik. Berdasarkan sidang kode etik nanti ada hasil berupa rekomendasi atau putusan sidang kode etik yang menyebutkan pelanggaran dan sanksi yang dikenakan oleh organisasi profesi.
Dalam kasus-kasus guru yang marak terjadi, guru langsung di laporkan polisi dan diperiksa kemudian ditetapkan menjadi tersangka, padahal pekerjaan guru itu adalah profesi yang sudah ada organisasi profesinya untuk dapat mengajar guru harus melalui pendidikan dan ujian sertifikasi profesi guru, sehingga kasus-kasus yang menimpa guru seharusnya diproses melalui sidang kode etik profesi guru, bukan terus dilaporkan polisi karena penanganan masalah pendidikan tidak sederhana dan semudah menangkap maling, maling saja yang tertangkap masih harus dilindungi dan berlaku azas praduga tidak bersalah. Bila hasil pemeriksaan kode etik terdapat tindak pidana yang dilakukan oleh pegawai profesional, maka baru dilimpahkan kasus pelanggaran pidananya kepada aparat penegak hukum.
Laporan dugaan penerimaan gratifikasi misalnya, bila hal itu dilakukan oleh tenaga profesi seperti hakim, auditor, dosen, guru, tentara, polisi, jaksa dan profesi lainnya, sebaiknya diperiksa melalui sidang kode etik terlebih dahulu. Karena boleh jadi laporan gratifikasi itu tidak benar misalnya ada pihak yang ingin memberi gratifikasi tetapi ditolak, atau gratifikasinya belum terjadi, misalnya seperti seorang aparat penegak hukum dijanjikan oleh pihak ketiga ikut wisata ke luar negeri. Kemudian ternyata wisata itu tidak jadi, maka gratifikasi itu pun tidak terjadi.
Yang menjadi persoalan saat ini adalah kurang atau boleh jadi tidak adanya koordinasi antara pihak penegak hukum yang menerima laporan pengaduan dengan organisasi profesi, sehingga laporan-laporan pengaduan terkait pelaksanaan tugas profesi menjadi tidak ditangani secara komprehensif terutama dari sisi etik yang dilanggar. Seperti guru menjewer murid untuk mendidik secara profesi hal itu masih dibenarkan bila dalam kerangka melakukan koreksi atas perilaku anak yang menyimpang, misalnya merokok di lingkungan sekolah. Tanggung jawab guru dalam mendidik anak itu besar, bila pelanggaran yang dilakukan anak tidak dikoreksi maka akan terbentuk karakter-karakter anak yang senang melanggar aturan dan hidup seenaknya. Seberat apa pun pelanggaran yang dilakukan oleh para profesional sebaiknya dilakukan pemeriksaan dan sidang kode etik terlebih dahulu, bila terindikasi pidana, maka secara profesi pelaku dilepaskan dulu kewenangannya dari profesinya untuk menjalani pemeriksaan yang dilakukan oleh pihak penegak hukum.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H