Sudah lebih dari 26 tahun saya bekerja sebagai pegawai, selama kurun waktu itu berbagai tipe kepemimpinan pernah dialami dan dirasakan. Banyak suka dan duka dalam bekerja sebagai pegawai dengan melayani pimpinan, yang paling di sukai adalah kepemimpinan yang demokrasi yang kepemimpinan ini mau mendengar suara dari semua pihak termasuk orang-orang yang menjadi bawahan atau staf. Kepemimpinan yang demokrasi juga telah melahirkan orang-orang yang memiliki kompetensi untuk terus berkembang, kesempatan untuk mengemukakan pendapat, melakukan pekerjaan sesuai dengan bakatnya diberikan keleluasaan. Tidak hanya itu pemimpin yang demokrasi memberikan kesempatan kepada bawahan untuk berbicara di publik sesuai dengan bidang kemampuannya. Pemimpin yang demokrasi memandang bawahan bukan sebagai pekerja atau budak tetapi dipandang sebagai rekan kerja dalam satu tim.
Berlawanan dengan kepemimpinan yang demokrasi 10 tahun terakhir saya mengalami kepemimpinan yang jauh dari sifat-sifat demokrasi. Selama 1 dasa warsa ini organisasi dipimpin oleh manusia yang otoriter berbagai tragedi terjadi di dalam organisasi. Yang saya ingat dalam satu rapat yang terdiri dari top pimpinan dan pejabat-pejabat eselon, salah satu pejabat eselon 1 memberikan masukan atas keinginan yang disampaikan top pimpinan, namun masukan itu dianggap sebagai penentangan dan hanya hitungan hari pejabat eselon 1 yang memberikan masukan itu di turunkan dari jabatannya. Semenjak itu suasana organisasi menjadi penuh ketakutan dan rasa ketakutan itu telah membentuk pribadi-pribadi pengecut bagi mereka-mereka yang sangat mencintai jabatan melebihi cintanya pada Tuhan. Orang-orang yang memegang jabatan tidak lagi berani mengkritik, tidak lagi berani mengatakan apa yang benar dan apa yang salah semuanya takut kehilangan jabatan yang memang dalam jabatan itu diikuti oleh fasilitas-fasilitas yang membuat orang-orang ini sangat takut kehilangan jabatannya. Lebih dari itu pemimpin yang otoriter ini telah mengubah banyak orang atau memperkuat sifat-sifat pengecut, setiap pejabat seperti hanya menjadi robot dan hanya mampu mengatakan siap laksanakan tanpa bertanya tentang maslahat dan madorot atas perintah yang diterima, tidak ada lagi yang berani menyampaikan kritik semuanya berjalan seperti kerbau yang dicocoki hidungnya.
Kepemimpinan otoriter juga telah melahirkan para pemimpin di bawahnya yang kejam, senang dan bangga bila bisa membuat banyak orang susah kemudian mengemis dan memohon belas kasihan kepadanya. Para pemimpin otoriter ini hanya bisa menerima pujian dan tak sanggup telinganya mendengar kritikan, mereka akan menghakimi dengan kejam setiap orang atau bawahan yang berlawanan dengan keinginannya, akan mengucilkan setiap bawahan yang tidak pernah memuji-mujinya, dan akan menelantarkan setiap bawahan yang tidak mengikuti keinginannya. Para pemimpin otoriter ini sangat tidak senang dan iri bila ada bawahannya yang memiliki kemampuan melebihi dirinya dalam bidang apa pun, dengan berbagai upaya hingga fitnah sekalipun dikeluarkan agar orang-orang yang memiliki kelebihan ditenggelamkan dan tidak sempat muncul kepermukaan.
Kondisi seperti ini ternyata tidak hanya membentuk para pemimpin yang pengecut dan munafik, tetapi juga membentuk bawahan-bawahan yang munafik, pengecut, penjilat, bahkan menjadi penghasud. Ini adalah bencana kemanusiaan, bencana yang lebih memprihatinkan dibandingkan dengan bencana alam sunami atau pun meletusnya gunung merapi. Pembunuhan karakter terhadap orang-orang yang jujur dan memiliki integritas kerap dilakukan untuk merebut sebuah kesempatan posisi jabatan atau bahkan sekedar posisi untuk mendapatkan biaya studi lanjut. Siapa yang bisa memperbaiki kondisi ini bila dalam hati banyak orang telah ada penyakit munafik, pengecut, hasud, dan tidak jujur.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H