Entah sudah berapa banyak gunjingan beredar berkaitan dengan kehamilan Neny, karyawan sebuah bank pelat merah. Ini merupakan kehamilan keempat dalam kurun perkawinan yang tergolong masih muda, enam tahun!
Neny bukanya tidak menyadari soal gunjingan itu. Namun, ia tak kuasa melawan suaminya yang ngotot tidak mau menggunakan kontrasepsi. "Anak 'kan titipan Tuhan!" begitu suaminya selalu berkilah. Kalau sudah begitu Neny diam saja. Tidak ada gunanya mendebat suaminya.
Persoalanya bukan soal jumlah anak, tapi waktu dan tenaga yang dipunyai Neny sudah tidak cukup untuk mengurus anak-anaknya. Apalagi ia hanya dibantu oleh seorang pembantu. Padahal ia masih harus menyimpan tenaga buat bekerja.
DITERUSKAN ATAU DIGUGURKAN
Apa yang dialami Neny sungguh tragis kalau mengingat Indonesia sebenarnya sudah menandatangani Rencana Aksi mengenai kesehatan reproduksi yang diperkenalkan secara luas pada konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan (ICPD) di Kairo tahun 1994. Ada 179 negara lain yang menandatangani Rencana Aksi tersebut.
Memang ketika rencana aksi itu dibahas kembali tahun 2000 dan 2005, perkembangan di Indonesia masih sebatas program. Padahal kesehatan reproduksi beserta hak-hak reproduksi yang tidak bisa dipisahkan satu sama lainya harus menjadi bagian intergral dari pelayanan kesehatan. Ini berarti pada setiap kesempatan seorang perempuan atau laki-laki yang datang ke suatu pelayanan kesehatan harus diberikan informasi tentang kesehatan reproduksi dengan benar dan akurat.
Kesehatan reproduksi tidak melulu berkaitan dengan penyakit atau kelemahan dalam segala hal yang berhubungan dengan sistem reproduksi dan fungsi serta prosesnya. Namun lebih luas lagi mencakup keadaan kesejahteraan fisik, mental, dan social yang utuh. Ruang lingkup kesehatan reproduksi mencakup kesehatan ibu dan anak, keluarga berencana, aborsi yang aman, kekerasan terhadap perempuan, pencegahan dan penanggulangan ifertilitas, serta partisipasi laki-laki dalam pemenuhan hak-hak reproduksinya.
Sedangkan yang dimaksud hak reproduksi meliputi hak perempuan untuk membuat keputusan sendiri tanpa adanya paksaan dan kekerasan; hak menentukan secara bebas dan bertanggung jawab jumlah anak dan kapan ingin memiliki anak, hak mendapatkan pelayanan KesPro (Kesehatan Reproduksi, seperti kontrasepsi darurat, kondom untuk laki-laki maupun perempuan) dengan standar tertinggi dalam kesehatan reproduksi dan kesehatan seksual; hak untuk mendapatkan pengetahuan dan informasi yang benar dan akurat tentang KesPro termasuk semua alat-alat kontrasepsi beserta efek sampingnya serta cara-cara pencegahan tertular HIV dan AIDS; hak untuk dapatkan manfaat teknologi yang paling mutakhir, khususnya dalam bidang KesPro; serta hak untuk tidak tertular penyakit menular saat menerima pemasangan suatu alat kontrasepsi (implan/ susuk, IUD, atau suntikan KB).
Hak-hak reproduksi harus diterapkan melalui kebijakan pemerintah karena menyangkut kehidupan dan kematian perempuan. Untuk diketahui saja, 10-15% dari kehamilan tidak semuanya diinginkan, sehingga dalam kondisi seperti ini seorang perempuan harus diberikan pilihan atau solusinya.
UNSUR UTAMANYA INFORMASI
Sejauh ini, masalah kesehatan reproduksi lebih banyak didekati dari aspek klinis. Maka, ahli-ahli kedokteran pun percaya dipercaya untuk mempelajari dan memcahkanya. Padahal, inti persoalan sesungguhnya terletak pada konteks sosial yang kompleks, karena kesehatan reproduksi dipengaruhi dan mempengaruhi sistem politik, sosial, dan ekonomi. Bahkan berhubungan erat dengan persoalan gender, nilai etika, agama dan kebudayaan.