Lihat ke Halaman Asli

Padu Padan Multibahasa

Diperbarui: 24 Juni 2015   23:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kedua warga Desa Jayamekar tengah bercakap menggunakan Basa Sunda.

[caption id="" align="aligncenter" width="512" caption="Kedua warga Desa Jayamekar, Kabupaten Sumedang, tengah bercakap menggunakan Basa Sunda."][/caption]

Naon sih, meni sok ngota pisan, dahar jeung asin peda oge ngomong meni Indonesia. Sunda mah sunda weh..,”

(“Apa-apaan sih, sok jadi orang kota. Makan dengan ikan asin peda kok ngobrolnya pakai Bahasa Indonesia. Kalau orang Sunda ya ngobrol Sunda saja..”)

Begitu ucap seorang teman. Ia menirukan asumsi umum orang-orang sedaerahnya di Majalengka, Jawa Barat. Penggunaan Bahasa Indonesia di daerahnya hanya identik menggaung di kalangan orang kaya. Itu pun kalau  si orang kaya tersebut terpelajar.

Asumsi ini rupanya tak hanya bercokol di daerah Majalengka. Bergeser ke daerah perdesaan Sumedang, menggunakan Bahasa Indonesia masih dianggap sebagai sesuatu yang sok. Mereka lebih senang menyebutnya blagu.

“ Di sini mah, Neng, kalau orang ngobrol pakai Bahasa Indonesia dianggapnya blagu,” ujar Acang, ketua Kelompok Tani Lestari di Desa Jayamekar, Kabupaten Sumedang.

Acang, walau termasuk ke dalam in-group pergaulan Desa Jayamekar, tidak sepenuhnya seiya-sekata dengan asumsi tersebut. Menurutnya, Bahasa Indonesia adalah bahasa nasional. Menurut Acang wajar jika dirinya-- sebagai orang Indonesia-- berbicara menggunakan Bahasa Indonesia. Ketika bercakap-cakap dengannya, Bahasa Indonesianya apik. Sebagai ketua kelompok tani, kemampuan ini mutlak membantunya menggali ilmu-ilmu termutakhir mengenai pertanian.

Beralih ke Subang, seorang teman menjabarkan apa yang ia dengar dari sebuah percakapan dua anak di desanya. Ketika mereka sedang bermain, salah satu dari mereka berbicara memakai Bahasa Indonesia. Spontan, teman yang satu lagi berkata “Meni sok make Bahasa Indonesia, diangge atuh Basa Sundana..” (Sok-sok an pakai Bahasa Indonesia, dipakai dong bahasa Sundanya...)

Bahasa Indonesia ialah bahasa persatuan. Namun, setelah mendengar paradigma beberapa warga desa di atas, seolah Bahasa Indonesia berada dalam tingkatan yang sungguh melangit. Warga desa serasa tak pantas menjangkau kemampuan berbahasa Indonesia secara baik dan benar. Atau jangan-jangan Bahasa Indonesia adalah seteru serius bagi bahasa daerah mereka?

Bahasa nasional, memakmurkan atau mengancam?

Menyatukan bahasa akan menelurkan berbagai kerugian dan keuntungan. Arus modernitas dapat mengalir sempurna jika bahasa kaum yang sudah “lebih modern” dapat menginsepsi kaum yang “belum modern”.

Kasus pengayoman perfektur Hokkaido dapat menjadi contoh. Saat restorasi Meiji pada menjelang akhir abad ke-19, pulau Hokkaido segera diamankan agar berada dalam kekuasaan Jepang. Oleh karena Jepang sedang mengejar modernisasi pada saat itu, Hokkaido pun terkena imbasnya.

Kini, mayoritas penduduk Hokkaido berbicara menggunakan bahasa Jepang, bukan bahasa asli mereka, Ainu. Walaupun begitu, bahasa Ainu kini sedang mereka upayakan untuk bergaung kembali.

Bahasa nasional pun dapat mengamplas kemampuan literasi suatu bangsa. Memiliki bahasa nasional memicu setiap orang untuk fasih berbahasa. Kefasihan ini kemudian dapat bermanfaat untuk mempromosikan budaya literasi.

Memiliki bahasa resmi merangsang setiap orang harus mampu berbicara fasih dalam bahasa.  Penetapan bahasa akan memotivasi warga untuk meningkatkan pengetahuan mereka tentang bahasa resmi berkaitan dengan melaksanakan setiap urusan resmi. Bahasa nasional—sebagai bahasa resmi—akan mendorong bangsa lebih melek dan terpadu. Dengan demikian, penduduk dapat membantu mempromosikan keaksaraan.

Jika Anda mahir menggunakan bahasa nasional, bahkan sangat mungkin Anda akan mendapatkan keuntungan finansial. Percaturan ekonomi dalam lingkup yang besar membutuhkan satu set struktur kebahasaan yang meminimalisir pembiasan makna. Dalam sebuah studi, bahkan, imigran yang fasih berbahasa Inggris di Amerika mendapatkan gaji lebih besar 55%  dari karyawan Amerika asli.

Aspek finansial lain yang menguntungkan adakah terpangkasnya biaya untuk menerjemahkan. Memiliki satu bahasa nasional dapat menghemat anggaran dana pemerintah untuk menerjemahkan berbagai dokumen publik atau layanan terjemahan lainnya. Anggaran dana dapat dialihkan untuk hal-hal yang lebih bersifat vital.

Kemahiran yang tinggi dalam bahasa nasional, secara langsung berhubungan dengan keberhasilan pendidikan. Jika Anda benar-benar ingin berhasil dalam studi Anda, maka Anda harus memberi perhatian lebih pada bahasa.  Kegiatan belajar mengajar baik di bangku sekolah maupun bangku kuliah tentu menggunakan bahasa nasional sebagai bahasa pengantarnya.

Namun, terdapat beberapa kaum yang menganggap naik pamornya bahasa nasional berpotensi  sebagai ancaman bagi bahasa daerah.  Bahasa daerah, disinyalir menyimpan kunci untuk membuka rahasia alam. Penuturnya cenderung hidup akrab dengan tanaman dan hewan di sekitar mereka. Komunikasi mereka mencerminkan keterkaitan mereka dengan bumi.

Ketika suatu komunitas meninggalkan bahasanya dan beralih menggunakan bahasa lebih “besar”, banyak kearifan lokal tak terwariskan. Ketakutan seperti ini memang rentan menjangkiti sebuah komunitas lokal.

Menyandingkan tradisi dua bahasa

Memadukan bahasa nasional dan bahasa daerah agar menjadi suatu kekuatan pembangunan pun menjadi sebuah tantangan tersendiri. Dapatkah?

Jawabannya, memungkinkan. Terdapat beberapa gejala dimana sebuah komunitas, baik dalam lingkup besar maupun kecil, berusaha memadukan penggunaan bahasa daerah mereka dengan bahasa nasional. Taruhlah kota Solo.

Walau warganya menggunakan Boso Jowo secara kental, nyatanya ruang aktualisasi untuk menggunakan Bahasa Indonesia terbuka lebar di sini. Warga yang fasih menggunakan Bahasa Indonesia tidak dianggap sebagai seseorang yang “sok”. Oleh karenanya, kita dapat melihat bagaimana kota Solo sedemikian berkembang.

Beranjak ke arah barat, kita dapat menemukan sebuah desa yang sedang bebenah memaksimalkan potensi pertaniannya. Desa tersebut bernama Mandalamekar. Terletak di Kecamatan Jatiwaras, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, para penggerak Mandalamekar cukup fasih berbahasa Indonesia.

Kefasihan mereka mengucapkan dan memahami bahasa Indonesia mengantarkan mereka makin mantap mempelajari ide-ide mutakhir mengenai pertanian. Beberapa komunitas pertanian di desa lain, seperti Desa Melung, mereka sambangi untuk saling bertukar kiat-kiat bertani.

Namun, dalam falsafah menjaga hutan, mereka sering kali menggemakan rangkaian kata berbahasa Sunda. Ruyuk Fm, radio komunitas andalan mereka, berslogankan Leuweung Nganteng Kaca Nunggal. Babasan atau perumpamaan ini dalam Bahasa Indonesia berarti “Hutan Lestari Cerminan Hidup”.

Pembagian lahan untuk digunakan pun masih berbahasa Sunda. Seperti hutan hakula (hak untuk diala) adalah hutan yang dapat diambil sumber dayanya.

Di Majalengka, ternyata terdapat anomali di sebuah wilayah bernama Jatiwangi. Di Kecamatan Jatiwangi, terdapat sebuah bengkel aktivitas seni bernama Jatiwangi Art Factory. Bertempat di Desa Jatisura, bengkel seni tersebut mampu memincut hati baik seniman nasional maupun seniman internasional untuk berkunjung ke sana.

Ketika saya berbincang dengan penggiat bengkel seni tersebut, Ginggi Syar Hasyim, beliau dengan lancar berbicara Bahasa Indonesia. Penduduk sekitarnya pun menyanggupi jika diajak berbahasa Indonesia maupun berbahasa Sunda.

Berdampingnya dua bahasa secara akur pun dapat kita lihat di negeri nun jauh di sana, Islandia. Menurut Eric Weiner dalam The Geography of Bliss, orang Islandia mencintai bahasa mereka. Bahkan, lebih mencintai bahasa daripada negara mereka.

Bagi orang Islandia, bahasa adalah kuil suci budaya. Seperti orang Prancis, orang Islandia sangat menjaga bahasa asli mereka. Namun, tak seperti orang Prancis, orang Islandia tidak merasa paling benar. Semua orang di sini berbicara dengan bahasa Inggris sebaik bahasa Islandia. “Dwi bahasa” bukanlah sebuah kata yang kotor.

Ketika Anda menggunakan bahasa lokal, Anda tidak kampungan. Begitu pun ketika Anda berkomunikasi dengan bahasa nasional—jangan sekali-kali berpikir Anda blagu. Toh, kedua rumpun bahasa tersebut dapat digunakan sederet sejajar bukan?

Keempat contoh di atas dapat menjadi teladan padu padan multibahasa. Bahwa, bahasa nasional dan bahasa lokal dapat bersanding tanpa mengorbankan eksistensi satu sama lain. Tidak ada satu bahasa yang lebih unggul dibanding bahasa lain. Semua bahasa memiliki keunikan yang bisa memadumadankan antar tradisi...***

*Dari berbagai sumber.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline