Bagai pedang bermata dua. Ungkapan tersebut layak dialamatkan kepada salah satu website paling kondang di arena sosialisasi dunia maya masa kini, Facebook. Tak memandang strata sosial, jenis kelamin atau tua mudanya seseorang, situs ciptaan Mark Zuckenberg[1] ini telah berhasil membius masyarakat dari berlapis kalangan. Ya. Membius dengan sebuah candu bernama ‘ketergantungan’ kepadanya.
Tujuan
“Baiknya teknologi digunakan untuk mencapai tujuan tertentu. Bukannya teknologi yang menjadi tujuan utama kita sehingga ketergantungan kita berlebih kepadanya.”
Begitulah pendapat Mas Syamril, ketua Lembaga Pengembangan Pendidikan (LPP) Masjid Salman ITB. Saya mendapat kesempatan untuk mewawancarai beliau beberapa waktu silam dalam rangka mencari bahan bagi artikel dalam situs salmanitb.com.[2]
Seperti apa tujuan hidup kita seyogyanya? Pria kelahiran 36 tahun silam ini lanjut mengatakan, bahwa tujuan hidup hakiki bagi setiap orang sejatinya ialah membuat orang lain bahagia. Bak membangun bahtera rumah tangga, dalam membuat orang lain bahagia, kita harus memperhatikan tiga aspek.
Sakinah, mawadah, dan warrahmah. Itulah ketiga aspek yang perlu kita terapkan dalam membahagiakan orang lain. Sakinah artinya ketenangan, mawaddah artinya kesenangan, dan yang terakhir, warrahmah, bermakna kemenangan.
Agen Pencerdas Masyarakat [caption id="attachment_216025" align="alignright" width="300" caption="Fasilitas Notes dalam Facebook"][/caption]
Facebook dengan berbagai aplikasinya dapat dimanfaatkan sebagai ajang bertukar pengetahuan. Tombol Share on Facebook yang kini sering tercantum di bawah artikel yang tersedia di situs-situs berita, sangatlah berguna dalam proses “pembagian” informasi. Ada pula fasilitas standar seperti Notes. Dengan fitur tag people on this note, menandai teman di catatan yang telah dibuat, kita semua dapat berperan menjadi agen pencerdas masyarakat. Tentunya jika benar kita mempergunakan fitur tersebut secara positif.
Keuntungan terdeteksi, voila, datanglah problematika ikut mengisi. Sayang, masyarakat Indonesia tidak menggunakan aplikasi-aplikasi tersebut dengan optimal. Fenomena yang sungguh memprihatinkan ketika orang dewasa, contohnya guru, yang menganggap bahwa dirinya bukan guru ketika tidak sedang mengajar.
“Paling parah ketika guru dan muridnya berteman di Facebook, lalu guru tanpa sengaja mengucapkan kata-kata kasar kepada temannya di Facebook. Murid melihat hal itu ketika sedang ber-Facebook, dan dampaknya murid beranggapan bahwa kata-kata itu merupakan hal yang biasa diungkapkan karena gurunya saja melakukannya,” lanjut Mas Syamril.
Sang guru terkadang berkilah bahwa ketika sedang menggunakan kata-kata itu, dia bukanlah guru melainkan orang biasa. Seharusnya, guru itu tetaplah menjadi guru dimanapun ia berada. Padahal UU no. 20 tahun 2005 menyebutkan bahwa semua guru wajib menjunjung tinggi peraturan perundang undangan, hukum, dan kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan etika.
Selain guru, tak sedikit orang dewasa dari kalangan lain turut mengungkapkan bahasa-bahasa yang kurang pantas dalam ajang dunia maya tak terbatas ini.
Salah satu contoh kasus ialah mahasiswa ITB yang menghina ras Papua dalam status Facebook-nya. Sebabnya sepele, hanya sebuah ungkapan kesal ketika tim kesayangannya Persib Bandung melawan Persipura Jayapura. Ini berujung kepada kemurkaan sejumlah orang ber-ras Papua kepada mahasiswa tersebut. [3]
Sayang, tak ada filter otomatis di situs ‘berpenduduk’ lebih dari 500 juta jiwa ini yang dapat memagari liarnya jemari dalam mengetikkan luapan jiwa tak terarah.
Analogi Bulu Hidung
Ada sebuah filosofi. Udara di sekitar kita kotor, tetapi ajaibnya kita tetap bisa hidup karena ada bulu hidung yang menyaringnya. Nah bila dihubungkan, Facebook itu sarat akan kegiatan-kegiatan “kotor”, tetapi diharapkan agar kita tetap memiliki “bulu hidung” tersendiri untuk menyaring mana yang bermanfaat mana yang tidak bagi kita.
Yang dimaksud dengan “bulu hidung “di sini ialah pribadi yang berilmu, beriman, dewasa, rasional, tidak latah, dan senantiasa berpikir dengan akal sehat. Kemarahan pribadi akibat tulisan kurang mengenakan dari orang lain dapat terbabat oleh sifat-sifat di atas.
Lalu bagaimana ketika tiba giliran kita yang akan berkomunikasi. Tentu ada pula yang harus diperhatikan. Situs jejaring adalah ruang yang bersifat publik, dimana setiap orang dapat tersinggung dengan kelakar ucapan kita. Maka dari itu, pikirkan matang-matang apakah yang akan kita sampaikan akan berguna bagi peningkatan kecerdasan? Atau hanya sekedar sampah belaka?
Sayyidina Ali bin Abi Thalib mengatakan “Kuasailah dunia, jangan sampai dunia yang menguasaimu”. Pepatah tersebut tampaknya ungkapan ini tepat untuk menjawab fenomena situs jejaring sosial berusia enam tahun ini.
“Kuasailah Facebook, jangan sampai Facebook yang menguasaimu.”
*Dibuat untuk kepentingan penulisan artikel Kompetisi Menulis Artikel Online Internet Sehat Aman.
Sumber:
[1] en.wikipedia.org/wiki/Facebook, [2] salmanitb.com/2010/02/dunia-pendidikan-dalam-facebook, [3 ]www.tempointeraktif.com/hg/bandung/2010/05/18/brk,20100518-248663,id.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H