Belakangan ini, istilah "Post-truth" semakin sering digunakan dalam dunia digital. Istilah ini merujuk pada fenomena di mana informasi yang tersebar di masyarakat bercampur antara fakta dan hoaks. Fenomena post-truth sering kali dipicu oleh oknum yang sengaja memanipulasi opini publik atau melalui rumor yang menyebar di masyarakat. Dalam era post-truth, emosi dan keyakinan pribadi sering kali lebih berpengaruh dalam membentuk opini publik dibandingkan dengan fakta objektif.
Apa itu Post-truth?
Menurut Ralph Keyes dalam bukunya The Post-Truth Era (2021),
"Truthiness mengacu kepada sesuatu yang seolah-olah benar, padahal tidak benar sama sekali,"
Fenomena ini dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari, seperti ketika seorang murid datang ke sekolah dengan berjalan kaki meskipun jaraknya jauh. Hal ini sering kali memicu spekulasi di kalangan murid lainnya, yang kemudian berkembang menjadi opini dan rumor, baik yang positif maupun negatif. Ini adalah contoh sederhana bagaimana post-truth dapat tercipta dan menyebar di masyarakat.
Contoh lain dapat ditemukan dalam episode "The Krabby Kronicle" dari serial Spongebob Movie. Dalam episode ini, Tuan Krab sebagai penyebar post-truth, membuat berita karangan berupa rumor tentang aktivitas warga Bikini Bottom. Misalnya, Patrick yang awalnya hanya berniat menunggu bus, justru diberitakan dalam surat kabar bahwa ia menikahi tiang pemberhentian bus.
Dampak di Lingkungan Masyarakat
Post-truth, meskipun alurnya yang sederhana, namun memiliki dampak yang signifikan. Terutama karena post-truth yang tersebar cenderung mengabarkan hal-hal negatif, sehingga dapat merugikan pihak yang menjadi sasaran. Ketika dikendalikan oleh individu atau kelompok tertentu, post-truth dapat menjadi senjata psikologis yang kuat dalam media sosial.
Menurut Oxford Dictionaries,