Lihat ke Halaman Asli

Trisno S. Sutanto

Seorang yang selalu gelisah dan mencari

Buya Syafii Maarif Berpulang

Diperbarui: 27 Mei 2022   18:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Buya Syafii Maarif  (Foto: Muhammadiyah.or.id)

APA yang hilang saat Buya Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Maarif berpulang pagi ini, pkl 10:15 WIB? Seorang teman merumuskannya dengan baik: tauladan kesederhanaan hidup yang makin langka.

Sebab Buya adalah segelintir tokoh di Indonesia yang konsisten menapaki jalan hidup sederhana. Ia tak silau oleh harta dan kedudukan, apalagi jabatan, tetapi menikmati hidup sederhana di daerah pelosok di Yogyakarta. Baginya semua hal itu tak mampu memenjarakan jiwanya yang melambung tinggi merindukan wajah Sang Kekasih.

Padahal, kalau ia mau, ia memiliki kapasitas dan warisan yang memadai. Semua orang kagum pada pemikirannya yang jernih, pembelaan dan gairahnya bagi Indonesia yang lebih baik. 

Karya-karya intelektualnya pernah dihargai Ramon Magsaysay dari pemerintah Filipina (2008). Juga ia pernah menjabat sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah maupun Presiden World Conference on Religion for Peace (WCRP) yang disegani dan dihormati. Semua orang mengagumi dan memanggilnya "Buya" -- suatu penghormatan bagi seseorang yang layak dijuluki "Bapa bangsa".

Namun, ketika semua itu selesai dilakoni, ia kembali pada akar dirinya: hidup sederhana tanpa neko-neko dan cawil-cawil demi kepentingan pribadi, sembari tetap berpegang teguh pada prinsip dan visinya mengenai Indonesia yang lebih baik. 

Ia misalnya tampil dengan tegar membela kasus Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pada November 2016 dan menegaskan bahwa Ahok tidak menista agama, walau harus berhadapan dengan arus politisasi agama saat itu.

Begitu juga, dengan tekun ia merawat dan melindungi generasi muda yang diharapkan akan menggantikannya lewat lembaga yang dibentuknya, Maarif Institute. Dari lembaga itulah lahir tokoh-tokoh muda Muhammadiyah yang kritis, cerdas, dan memiliki pengaruh luas. Aktivitas terakhirnya adalah sebagai salah satu anggota Dewan Penasihat BPIP guna menjaga ideologi Pancasila.

Tetapi semua gelar dan penghormatan tadi tidak menyilaukan matanya. Ia memilih kembali pada kesederhanan hidup di sudut kota Yogyakarta. Dan justru pilihannya itulah yang memesona banyak orang. 

Berbagai foto yang sering beredar di medsos, entah sedang sabar menanti antrian, atau sedang duduk sendirian di kereta, atau sedang santai mengayuh sepeda, membuat banyak yang berdecak kagum. Sungguh kontras dengan banyak elite yang berlomba-lomba memamerkan koleksi barang terbaru atau gila hasrat memperebutkan takhta kekuasaan.

Pagi tadi, Buya berpulang untuk kembali pada Sang kekasih yang didambakan. Saya membayangkan, ia disambut oleh pelukan hangat sahabat-sahabatnya yang lebih dahulu berpulang, seperti Gus Dur, Th. Sumartana, Eka Darmaputera dan Djohan Effendi. Mereka sangat layak digelari "Buya", orang-orang yang sudah menjadi tanda-tanda evolusi bangsa ini dan meninggalkan tauladan kesederhanaan hidup.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline