Lihat ke Halaman Asli

trisiwi genduk

Guru honor

Pantai Sunyi

Diperbarui: 28 Juni 2024   09:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Kita bentangkan sunyi seperti diam pasir-pasir pantai," katamu dengan suara lembut yang nyaris tenggelam oleh deru ombak.

Pasir-pasir yang diam di sepanjang pantai itu saling membisik hanya ketika ombak menerpa. Mereka berbicara dalam bisikan rahasia yang hanya mereka yang tahu. Saat langkah-langkah menyeruak, pasir-pasir itu menepikan diri, membiarkan ombak datang dan memulihkan luka-luka kecil yang tertinggal.

Aku berdiri di sampingmu, mengamati jejak-jejak kaki yang perlahan memudar disapu air laut. "Tidak ada banyak waktu untuk berbisik, memang," kataku pelan. "Atau bahkan tidak ada."

Sunyi sepenuh ruang mengisi udara di sekitar kami. Bahkan seru angin pun terasa terlalu kencang, seolah ingin memecah keheningan yang tercipta di antara kami. "Untuk apa membentangkan sunyi?" tanyaku akhirnya, mencoba memahami maksudmu.

Seperti tapak kaki meninggalkan luka di pasir pantai, jawabmu, "Memang hanya ombak yang memulihkan." Kau tatap laut yang bergelora di kejauhan, seolah mencari jawaban di antara gelombang yang bergulung.

Telah lama kusukai sunyi yang dibawa ombak. Sunyi yang tetap saja sepi bahkan setelah dihempaskan, lalu bergulung sepi dibawa lagi, dihempaskan kemudian. Tetap saja hanya sunyi meraja. Kau mengangguk, seolah membaca pikiranku. "Sunyi tidak perlu dibentangkan," katamu akhirnya. "Karena sudah lebih dulu ia luas membentang."

Kita berdiri di sana, meresapi sunyi yang tak terkatakan, merasakan pasir-pasir pantai yang dingin di bawah kaki. Sunyi yang kita ciptakan bersama, meski tanpa kata, telah membentang luas, mengisi setiap celah di antara kita dan laut.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline