Yani duduk di depan rumahnya yang gelap, hanya diterangi lilin kecil di tengah ruangan. Listrik padam sejak pagi karena kabel jaringan yang terputus. Tiang listrik di dekat rumahnya roboh, menimpa sebagian atap rumah tetangganya. Meski rumah Yani tidak mengalami kerusakan parah, beberapa alat rumah tangga rusak. Televisi jatuh ke lantai dan pecah, entahlah, apakah gambarnya masih ada, belum dicoba, karena masih belum ada aliran listrik. Beberapa perlengkapan dapur juga pecah karena rak piring yang roboh. Kehidupan sehari-hari terasa sulit, dan malam ini terasa lebih panjang dari biasanya.
Di luar rumah, hujan masih turun deras, menambah suram suasana. Yani termenung, mengingat kejadian pagi itu. Dia berdiri di depan reruntuhan Madrasah Tsanawiyah tempatnya bekerja. Kecamatan Cugenang, Cianjur, kini terasa seperti dunia lain baginya. Bukan hanya bangunan madrasah yang porak-poranda, tetapi juga harapannya untuk melihat anak-anak didiknya kembali belajar seperti biasa. Gempa yang baru saja melanda telah merobek-robek impian dan rencana yang telah susah payah dirajut.
Jalan menuju madrasah terputus, membuatnya tak bisa lagi naik angkot seperti biasa. Setiap hari, Yani terpaksa menyewa ojek untuk melewati medan ekstrem, melintasi tanah yang retak dan longsor yang mengancam setiap waktu. Gempa susulan masih sering terjadi, membuat perjalanan itu semakin berbahaya. Setiap getaran kecil membuat jantungnya berdegup kencang, mengingatkannya pada kehancuran yang telah terjadi.
Di tengah kesedihan dan keputusasaan, Yani teringat Husen, seorang pemuda yang selalu setia membantu di madrasah. Husen sering datang untuk memberikan bantuan tenaga dan dukungan moral bagi para guru dan murid. Namun, sejak gempa, Yani belum melihatnya lagi. Rasa khawatir menggelayuti hatinya, membayangkan kemungkinan Husen juga terjebak dalam bencana ini.
Suatu sore, selepas hujan, Yani baru saja menangis di pojok kamar. Ia teringat Asep, pria yang pernah memberinya payung saat hujan deras di pasar. Asep selalu baik padanya, membuat Yani menyimpan harapan diam-diam. Namun, harapannya sirna ketika ia menyatakan perasaannya dan Asep menolaknya dengan halus, mengatakan bahwa kebaikannya adalah untuk semua orang. Yani merasa malu menyadari bahwa cintanya hanya sepihak.
Hujan itu datang lagi, dan gerimisnya menyadarkan Yani bahwa tidak ada larangan untuk berbuat baik. Ia hanya korban dari dramanya sendiri, meromantisasi momen-momen kecil yang bagi Asep hanyalah simbol kebaikan. Yani menyadari bahwa ia telah jahat pada dirinya sendiri, membiarkan hatinya terlalu lembut dan menguasai akal sehat. Namun, dari pengalaman ini, ia belajar untuk memaafkan masa lalu dan berdamai dengan kebodohan serta penyesalan yang pernah ia rasakan.
Seperti hujan saat ini, yang membuatnya terduduk melamun mengenang masa SMA, Yani teringat Asep dan payung pemberiannya. Ia tersenyum pahit, menyadari bahwa hujan tetaplah momen favoritnya, meski kini membawa kenangan yang campur aduk.
Saat Yani masih termenung di tengah hujan, sebuah mobil berhenti di depannya. Seorang pria dengan senyum ramah keluar dari mobil, dan tanpa ragu menghampiri Yani.
"Saya lagi pengen nikmatin hujan kali ini," katanya seolah-olah membaca tatapan Yani yang penasaran.
"Maaf, saya bikin kamu kurang nyaman. Ternyata kita sama, pengen nikmatin hujan terakhir di musim ini," balas Yani mencoba ramah.
Pria itu memperkenalkan dirinya sebagai Husen, dan Yani terkejut. Ia merasa takdir mempertemukan mereka kembali di saat yang tak terduga. Husen yang dulu selalu membantu di madrasah, kini berdiri di depannya, membawa harapan baru.