Menyelamatkan Umat dari Beban Pajak Berlebih
Pemerintah Indonesia berencana menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% pada 2025. Tujuannya untuk meningkatkan pemasukan negara demi membiayai pembangunan dan layanan publik. Tapi, kebijakan ini bisa berdampak langsung ke masyarakat, terutama karena harga barang dan jasa kemungkinan naik. Ujung-ujungnya, daya beli masyarakat bisa turun, apalagi bagi mereka yang penghasilannya pas-pasan.
“Kenaikan PPN menjadi 12% menunjukkan pemerintah lebih memilih solusi instan untuk menambah pendapatan negara dan menjalankan program makan gratis, tanpa mempertimbangkan dampak berat yang harus ditanggung masyarakat kecil."
Dalam ekonomi syariah, kenaikan pajak seperti ini nggak cuma soal pendapatan negara, tapi juga harus memperhatikan prinsip keadilan. Artinya, beban ini nggak boleh bikin masyarakat kecil makin tertekan. Jadi, kebijakan ini perlu dilihat dari sisi bagaimana dampaknya bagi semua orang, terutama yang paling rentan.
Ekonomi syariah punya prinsip penting seperti keadilan (al-‘adl) dan keseimbangan (mizan). Dalam konteks pajak, ini berarti beban pajak harus sesuai kemampuan setiap orang. Jangan sampai orang kaya enak-enakan, sementara masyarakat kecil kena dampaknya paling berat. Pajak yang adil adalah yang nggak memperbesar kesenjangan sosial, malah sebaliknya, membantu menciptakan keseimbangan ekonomi.
Selain itu, ada prinsip maslahah mursalah, yang menekankan pentingnya menjaga kepentingan bersama dan melindungi mereka yang paling rentan. Pajak dalam Islam itu sah-sah saja, asal digunakan untuk kebaikan bersama dan diterapkan secara adil. Transparansi juga penting, biar masyarakat tahu ke mana uang pajak mereka digunakan.
Jadi, kenaikan PPN ini harusnya bukan cuma soal menambah pendapatan negara, tapi juga dipikirkan bagaimana dampaknya ke masyarakat kecil. Dalam ekonomi syariah, semuanya harus seimbang: negara dapat manfaat, masyarakat nggak terbebani berlebihan, dan kesejahteraan tetap terjaga untuk semua lapisan.
Dampak Kenaikan PPN Terhadap Ekonomi
Kenaikan PPN menjadi 12% pada 2025 diperkirakan akan membawa dampak langsung pada daya beli masyarakat, terutama kelas menengah ke bawah. Pajak ini bersifat regresif, artinya beban pajak yang lebih besar akan dirasakan oleh kelompok berpenghasilan rendah dibandingkan oleh mereka yang berpenghasilan tinggi. Akibatnya, masyarakat yang sebelumnya sudah kesulitan memenuhi kebutuhan pokok akan semakin tertekan karena harga barang dan jasa yang naik, sementara penghasilan mereka cenderung stagnan.
Peningkatan biaya hidup ini juga berpotensi memperlebar kesenjangan ekonomi. Kelas atas yang memiliki cadangan keuangan lebih baik cenderung mampu menyerap dampak kenaikan harga, sementara kelas bawah harus mengurangi konsumsi atau mengorbankan kebutuhan lain. Hal ini berisiko memperparah ketimpangan sosial yang sudah ada, sehingga menimbulkan keresahan di masyarakat.
Dampak ini juga dirasakan oleh sektor usaha mikro dan kecil (UMK) yang merupakan tulang punggung ekonomi umat. UMK sering kali bergantung pada daya beli masyarakat menengah ke bawah sebagai pelanggan utama. Ketika daya beli menurun, penjualan UMK bisa ikut tertekan. Di sisi lain, pelaku usaha juga menghadapi kenaikan biaya operasional akibat harga bahan baku dan jasa yang naik. Jika kondisi ini dibiarkan, banyak pelaku UMK yang berpotensi kesulitan bertahan, yang pada akhirnya dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.