Ketoprak adalah sebuah pertunjukan tradisional semacam opera, yang menampilkan seni vokal, musik, sastra, humor, dan bahkan juga seni beladiri yang dihadirkan di sela pertunjukan sebagai atraksi yang menghibur dan dapat mengaduk emosi penonton.
Pertunjukan ini dari berbagai literatur diketahui sudah ada sejak dekade 1950-an. Dengan isi cerita yang mengandung unsur sejarah atau legenda, pertunjukan ini awalnya dari kota Surakarta kemudian menyebar ke berbagai pelosok daerah di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Hingga sekitar tahun 1970-an, sewaktu penulis tinggal di Gombong, sebuah kota kecamatan di Jawa Tengah, seni pertunjukan ketoprak ini masih menjadi primadona di hati masyarakat pada umumnya, di samping jenis pertunjukan tradisional lain seperti wayang kulit dan kuda kepang.
Untuk diketahui, hiburan pada masa itu masih terbatas dibanding yang saat ini bisa kita nikmati. Televisi bahkan masih tergolong barang mewah di kampung dan pedesaan. Walaupun pertunjukan layar lebar di gedung bioskop sudah dapat dinikmati, tapi jumlah gedung bioskop juga sangat terbatas.
Pada masa itu sekalipun ada pangsa pasarnya sendiri, dibanding pemutaran film di gedung bioskop maka pertunjukan ketoprak bisa dikatakan masih jauh lebih meriah. Salah satu kelebihan dari seni pertunjukan ketoprak ini adalah karena para penonton bisa berinteraksi langsung dengan para pemainnya.
Para pemain yang memerankan karakter sebagai tokoh jagoan biasanya menjadi idola warga masyarakat. Para pemain ketoprak yang sukses merebut hati penonton itu bisa karena penampilannya yang lucu, wajahnya yang cantik atau ganteng, atau karena perannya yang sering membuat kesal. Jadi tidak berbeda dengan para selebriti pemain sinetron saat ini.
Tidak sedikit penonton yang murah hati akan melempar uang saweran kepada pemain ketoprak pada sesi tertentu. Biasanya dilakukan kepada pemain dagelan yang muncul untuk berinteraksi dengan para penonton dan menyanyikan lagu-lagu permintaan penonton.
Para seniman dan seniwati pemain ketoprak itu bergabung di sebuah kelompok seni yang biasanya menyewa sebuah gedung kesenian. Setelah beberapa waktu lamanya berpentas, mereka harus pergi berpindah ke lain kota, bergantian dengan kelompok seni lain yang juga ingin mengadu nasib mereka dari gedung kesenian yang ada.
Saat ini pertunjukan ketoprak semakin sulit ditemukan, tidak sepopuler wayang kulit yang sudah diakui Unesco. Oleh karena itu beberapa hari lalu, sejumlah seniman dan budayawan Kabupaten Banyumas tergerak menggelar pertunjukan ketoprak di Gedung Kesenian Purwokerto. Kelompok seniman ketoprak tersebut tergabung dalam grup ketoprak "Gajah Indra" pimpinan Ki Agung Wicaksono yang juga dikenal sebagai Dalang Wayang Jemblung.
Kegiatan ini didukung langsung oleh Dinporabudpar Provinsi Jawa Tengah dan Pemerintah Kabupaten Banyumas.
Berikut ini adalah liputan saya sesaat sebelum pertunjukan, wawancara dengan Ki Agung Jemblung, Kang Riki pimpinan grup kesenian "Singo Limo", dan Kang Joko seorang warga setempat.