Setiap kali hendak mengambil keputusan yang menyangkut kepentingan bersama, selama ini warga masyarakat kita selalu mengedepankan musyawarah untuk mencapai kesepakatan atau permufakatan, yang diharapkan dapat memenuhi rasa keadilan di tengah masyarakat.
Harus diakui bukan hal mudah bagi sebuah bangsa berpenduduk lebih dari 270 juta jiwa dengan keanekaragaman budaya, agama, kepercayaan, dan keyakinan ini untuk tetap bersatu dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun patut disyukuri bahwa kita ternyata mampu bertahan hingga saat ini di tengah berbagai bentuk cobaan dan ujian yang menerpa persatuan dan kesatuan bangsa.
Salah satu kunci terjaganya keutuhan bangsa ini adalah kebiasaan bermusyawarah sebagai bagian dari nilai sosial dan kearifan budaya yang dijunjung tinggi oleh bangsa Indonesia.
Kita menyaksikan bahwa kegiatan musyawarah dilaksanakan bahkan sebelum Indonesia diproklamasikan.
Kongres Boedi Oetomo pada tahun 1908, Kongres Pemoeda pada tahun 1928, Kongres BPUPKI pada tahun 1945, dan sidang umum tahunan MPR RI adalah beberapa contoh musyawarah yang dilakukan untuk mewujudkan kesepakatan bagi kepentingan nasional.
Sistem tersebut menjadi jalan keluar yang cerdas dan telah dipraktikkan dari generasi ke generasi untuk mengatasi berbagai persoalan kehidupan bermasyarakat di Indonesia yang dinamis, bersifat majemuk dan multikultural.
Musyawarah untuk mufakat adalah juga menjiwai sila keempat dasar negara kita yang dalam pandangan penulis memiliki beberapa aspek moralitas sebagai berikut.
1. Saling Menghargai
Musyawarah dilakukan dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan tanpa kecuali.
Artinya memberikan kesempatan secara adil kepada semua peserta untuk melihat masalah dari sudut pandang atau persepsi masing-masing. Hal ini bisa terselenggara dengan baik bila masyarakat memiliki tekad menjaga sikap saling menghargai.
2. Permusyawaratan dalam Perwakilan