Lihat ke Halaman Asli

Reformasi 1998, Ada Jenderal yang Mengorbankan, Ada yang Dikorbankan

Diperbarui: 23 Juni 2015   21:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kamis, 21 Mei 1998.

Pernyataan saya berhenti dari jabatan sebagai Presiden RI saya sampaikan di hadapan saudara-saudara pimpinan DPR dan juga adalah pimpinan MPR pada kesempatan silaturahmi. Sesuai Pasal 8 UUD 1945, maka Wakil Presiden RI, Prof. Dr. Ing. BJ Habibie yang akan melanjutkan sisa waktu jabatan Presiden/Mandataris MPR 1998-2003. Atas bantuan dan dukungan rakyat selama saya memimpin negara dan bangsa Indonesia ini saya ucapkan terima kasih dan minta maaf bila ada kesalahan dan kekurangan-kekurangannya semoga bangsa Indonesia tetap jaya dengan Pancasila dan UUD 1945.
Mulai hari ini pula Kabinet Pembangunan VII Demisioner dan kepada para menteri saya ucapkan terima kasih. Oleh karena keadaan tidak memungkinkan untuk menyelenggarakan pengucapan sumpah di hadapan DPR, maka untuk menghindari kekosongan pimpinan dalam menyelenggarakan pemerintahan negara, kiranya saudara wakil presiden sekarang juga akan melaksanakan sumpah jabatan presiden di hadapan Mahkamah Agung RI.
– pidato terakhir Soeharto

*

Inilah pidato Soeharto ketika hari pengunduran dirinya. Pidato ini diikuti dengan cermat oleh hampir seluruh rakyat Indonesia di media televisi yang menyiarkannya secara langsung. Sesaat setelah pidato ini, ribuan mahasiswa yang menduduki gedung DPR MPR bersorak-sorai; menandai hati mereka yang girang.

Keesokan harinya, Soeharto makan pagi dengan satu staf militernya. Dia bertanya, siapa yang perintahkan buka gerbang DPR ? Dan tersebutlah sebuah nama. Soeharto tahu persis, bahwa militer bekerja dibawah perintah. Dia tak akan berkeputusan sendiri. Tapi dia diam.

Sejak itu Soeharto dan keluarganya menolak orang itu dan ‘membuangnya’ jauh-jauh. Merasa terbuang, dia pergi ke negara sahabatnya ; Yordania. Namanya jadi tercemar sejak itu dan sukar terhapus. Dia berstigma buruk. Sejarah mencatatnya.

Kini 16 tahun sudah berlalu, banyak orang tak tahu yang sebenarnya terjadi. Sebenarnya saksi saksi sejarah reformasi masih ada dan media bisa menanyakan kepada para tokoh yang terlibat, siapa yang harus bertanggung jawab. Namun memang sedikit yang mau bercerita dengan gamblang. Mahasiswa juga wartawan yang selalu di lapangan teriakan reformasi 1998, kini terbelah belah karena politik dan sedikit bisa bercerita dengan jujur.

Sejarah yang sesungguhnya harus ditulis utuh bukan potongan-potongan tanpa satu benang merah. Sehingga satu peristiwa mustinya bukan tanggungjawab satu orang saja yaitu Prabowo.

Satu waktu saya bertemu Prabowo, tokoh yang dikorbankan dan terstigma buruk itu. Setelah ceritanya yang berjam-jam dan dengan sekali-kali menerawang di atas, dia menyelesaikannya dengan baik. Meski ia sulit tersenyum, namun tetap mau menjawab semua pertanyaan dengan gamblang. Secara pribadi saya respek.

Setelah itu saya paham, kenapa mereka tidak pernah ada dalam satu perahu yang sama. Wiranto dan Prabowo ; yang mengorbankan dan yang dikorbankan. Saya mendoakan keduanya bisa islah satu saat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline