Malam ini aku sedang duduk termenung dibawah sinar bulan. Aku memandang langit yang tampaknya sedang bermuram memandangku. Mungkin ia marah padaku, karena aku selalu memuji bulan yang bergantung padanya. Aku tak mau melihat langit bermuram seperti ini. Ditanganku, aku menggenggam sebungkus kembang api. Aku menyalakannya untuk menghibur sang malam yang sedang bermuram. Langit malam di atasku seketika mengubah wajahnya yang semula muram. Kini penuh dengan kilau cahaya kembang api yang kunyalakan. Pekat kabut awan yang menutup wajahnya perlahan menghilang. Seluruh tubuhku merasakan kesenangan yang luar biasa malam ini. Meskipun aku menikmatinya seorang diri dan tak ada kawan. Aku tetap dapat tersenyum dan tertawa bebas bergurau bersama malam. Kehidupan malam adalah sahabat yang selalu membuat malam-malamku begitu indah. Aku rela tidak tidur semalaman, untuk menemani sang malam hingga akhirnya terusir pergi oleh sang fajar. Entah mengapa aku benci kehidupan siang. Kehidupan yang bising dan penuh hiruk pikuk orang-orang. Aku lebih banyak menghabiskan siangku untuk tidur di kasur menunggu senja datang yang mengantar sang malam padaku. Aku hanya akan terbangun jika malam telah datang.
Namaku adalah Mentari. Usiaku saat ini menginjak 19 tahun. Memang bisa dibilang aku ini pengkhianat atau apa. Namaku saja berarti matahari, tapi aku lebih suka malam dimana aku tak dapat melihat matahari yang menyilaukan itu. Sejak aku divonis dokter menderita leukimia dan hidupku tidak lama lagi, aku lebih menyukai kehidupan yang tenang yaitu malam. Tak ada lagi kawan yang setia mendengarkan keluh kesahku seperti saat akusekolah dulu. Ya, hanya malam yang menjadi sahabatku. Sesekali kawan semasa sekolahku dulu datang menjenguk untuk melihat keadaanku. Tapi aku tak pernah mau menemui mereka. aku tau, mereka hanya kasian pada tubuhku yang mulai habis ini. Mereka tak benar-benar perhatian padaku. Aku juga tau , mereka selalu membicarakan tentang malangnya nasibku ini menjadi cerita hangat yang tak akan habis diceritakan. Semenjak aku sakit aku kurang sosialisasi dengan orang-orang sekitarku. Bahkan terhadap kedua orangtuaku. Aku sering menyendiri dimalam hari. Ayah ibuku bekerja sepanjang siang mencari uang untuk kesembuhan yang tak ingin kudapatkan. Sudah kukatakan pada mereka, aku hanya akan pasrah dan siap kapanpun aku dipanggil Tuhan pulang ke surganya. Aku tak ingin melihat mereka menderita karena aku. Biarkan aku saja yang menanggung semua penderitaan ini. Tetapi mereka tetap saja bekerja banting tulang hanya demi diriku yang tak berguna ini. Aku tak pernah meminta apapun dari mereka selain kembang api yang selalu kunyalakan disetiap malam - malamku. Cukup kembang api sudah membuatku bahagia.Kembang api yang memercikkan cahaya-cahaya indah untuk orang lain meskipun dirinya sendiri terbakar habis dan dibuang nantinya.
Hingga suatu siang ditengah tidurku yang lelap, kurasakan nafasku yang teramat berat. Pandanganku yang kabur, dan tubuhku yang terasa lemas. Aku berfikir,apakah ini saatnya Tuhan?. Seketika ibuku datang dan aku tak sadarkan diri dipangkuannya. Saat kubuka mata ini, ayah ibuku sedang memegang tanganku erat seolah tak akan melepaskannya. Mereka tertunduk lesu menyaksikan keadaanku yang lemas dan tak berdaya.Melihatku yang tersadar kembali raut wajah mereka seketika bahagia tiada tara. Aku tak bisa membayangkan jika aku benar-benar pergi meninggalkan mereka. Betapa hancurnya hati mereka kehilanganku. Air mataku perlahan turun melewati sela-sela pipi ini. Hari-hariku kuhabiskan di rumah sakit yang penuh dengan tangisan setiap kali ada yang meninggal. Mungkin suatu hari giliran ayah ibuku yang akan menangisi kepergianku nanti. Ya, aku tak akan tau kapan waktunya akan tiba. Aku sudah siap dan pasrah meskipun sebenarnya aku tak mau membuat orangtuaku bersedih karena kehilanganku. Tak jauh berbeda saat aku dirumah. Siangku kuhabiskan untuk tidur. Hanya saat pemeriksaan saja aku terjaga di siang hari. malam hari kuhabiskan menemani malam meskipun hanya lewat jendela. Pasien tak diizinkan keluar pada malam hari, itulah aturannya. Hanya satu kesedihanku, aku tak dapat menyalakan kembang api ditempat ini. Terasa ada yang kurang dalam hidupku. Sahabatku sang malam tak terhias percikan kembang api yang indah. Tapi tak apa, masih ada ribuan bintang yang menghias muka pekatnya sehingga ia tidak selalu gelap gulita.
Suatu ketika saat pemeriksaan, aku diantar oleh perawat yang sangat baik hati dengan senyum ramah yang selalu terkembang dibibirnya. Kulihat pada papan namanya, ia bernama Raja. Nama yang amat bagus menurutku. Ia begitu ramah dan sabar melayaniku. Perhatianku pun tak pernah lepas darinya semenjak saat itu. Ada yang aneh setiap kali kubuka mata di pagi hariku. Disudut meja kamarku, selalu kudapati rangkaian bunga yang berganti setiap harinya. Entah siapa yang meletakkannya disana. Awalnya aku tak peduli, tapi lama-lama aku penasaran siapa yang menaruhnya disana. Kedua orang tuaku mengaku juga tak pernah tau, siapa yang menaruhnya disana. Aku berusaha tidur lebih awal meninggalkan sahabatku sang malam agar bangun lebih pagi dan melihat siapa yang menaruhnya. Tapi tak juga kutemuijawabannya. Hingga aku kepergok oleh perawat bernama Raja saat aku berusaha mencari orang yang kucari disuatu pagi. Kamipun berbicang-bincang cukup panjang sambil berjalan-jalan disekitar Rumah Sakit. Ternyata ialah orang yang kucari selama ini. Dia yang selalu memberiku rangkaian bunga yang menyejukkan mata itu. Aku terbelalak dan tak percaya sama sekali. Untuk apa ia melakukannya. Padahal kami baru bertemu satu kali saja saat pemeriksaan.Dia bilang, dia ingin aku melihat siang dan sedikit melupakan malam yang selalu kuagung-agungkan. Aku juga harus menyukai siang serupa aku menyukai malam. Siang juga indah seperti rangkaian bunga yang selalu ia berikan padaku. Dia juga bilang, aku ini masih muda dan banyak harapan-harapan yang belum dapat kurengkuh dan seharusnya kuperjuangkan. Aku tak boleh pasrah pada keadaan yang menempatkan pada posisi yang sejujurnya tidak kuinginkan. Kita harus berusaha semaksimal mungkin untuk memperjuangkan segala sesuatu meskipun akhirnya Tuhanlah yang akan menentukan. Termasuk masalah hidup dan matinya manusia. Dia ingin aku bersinar terang seperti namaku,mentari yang mampu memberi semangat pada orang – orang sekitarnya tanpa melupakan dirinya sendiri. Akupun tertegun dan tak percaya bahwa ada seseorang yang selalu memperhatikan kehidupanku dari kejauhan.
Baru kali ini, aku mengerti tentang arti hidup yang sesungguhnya. Aku tak boleh hanya berpasrah diri sebelum berusaha. Meski aku tau , hidup ini tak akan lama. Tetapi aku salah teramat besar. Hari-hari lalu kubuang percuma dan tanpa melakukan apapun yang berguna. Hanya bermain-main kembang api dan memuja malam setiap hari yang menjadikan aku benci pada siang.. Raja telah membuka hati yang selama ini terkunci terkubur oleh batuan keras tertutup ego. Akupun menangis haru, dan menyesali apa yang kuperbuat pada hidupku sendiri. Hidup yang selama ini kusia-siakan. Tuhan, maafkan aku yang terlalu naif ini. Tak menghargai setiap nafas, setiap detakan jantung, setiap aliran darah yang Kau anugerahkan padaku. Selama ini aku hanyamenjadi seonggok daging yang tak berguna.Tuhan, terima kasih telah kau bawa Raja pada hidupku.Kini aku bukan Mentari di malam hari lagi, karena kini aku adalah Mentari yang akan hidup lebih lama dari apa yang dapat kupikirkan. Akulah si egois yang telah tersadar oleh seorang Raja. Selama Tuhan masih mengizinkan aku memiliki ruh ini, akan kuperjuangkan hidupku sampai Tuhan mengambil kembali dan menjadikan aku tulang belulang yang akan melebur dengan tanah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H