Lihat ke Halaman Asli

Tri Muhammad Mahesa

Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta Program Studi Penerbitan (Jurnalistik)

Fenomena Budaya Flexing yang Sudah Menjalar di Media Sosial

Diperbarui: 3 Juli 2024   09:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi foto: https://www.pexels.com/id-id/foto/wanita-mengenakan-gaun-lengan-panjang-

Dengan kemajuan dunia digital yang terus berkembang, media sosial kini bukan sekadar tontonan, tetapi sudah menjadi bagian sistematis dari kehidupan masyarakat di dunia nyata. Pengguna media sosial, atau netizen, menjalani aktivitas serupa baik di dunia nyata maupun digital. Aktivitas ini biasanya berupa unggahan gambar, video, teks, atau kombinasi ketiganya.

Baru-baru ini, media sosial seringkali dianggap sebagai tempat mencari validasi diri, di mana pengguna menunjukkan aktivitas yang disebut "flexing" untuk memperoleh pengakuan dari masyarakat di dunia maya.

Psikolog Ikhsan Bella Persada menjelaskan, individu yang suka flexing memiliki kebutuhan besar akan eksistensi diri yang baru terpenuhi ketika mendapatkan pengakuan dari orang lain

Namun, perilaku pamer ini sering kali bertentangan dengan nilai dan norma masyarakat, sehingga menimbulkan polemik baru dalam kehidupan sosial. Saat ini, perilaku pamer kemewahan, kepemilikan, kehebatan, dan kedermawanan bukan hanya perilaku individu, tetapi sudah menjadi fenomena sosial budaya. Pamer kemewahan, yang sering dianggap sombong, terkait erat dengan hal-hal yang berhubungan dengan uang atau barang mahal yang dimiliki.

Berbagai profesi, mulai dari artis, selebriti, selebgram, YouTuber, TikTokers, pengusaha, crazy rich, profesional, dokter, influencer, aparat, ASN, mahasiswa, pelajar, dan lainnya sering memamerkan kemewahan mereka di berbagai platform media sosial. Mereka sering memiliki jumlah pengikut yang sangat banyak, mencapai jutaan.

Fenomena flexing atau pamer diri bukanlah hal baru. Flexing adalah tindakan menunjukkan kelebihan kepada orang lain. Sebaliknya, tanpa melakukan flexing, seseorang justru dianggap bohong, dengan istilah populer "No Picture Hoax". Perilaku ini bukan hanya dilakukan oleh kalangan berpunya, tetapi oleh berbagai lapisan sosial ekonomi melalui media sosial, seperti TikTok, Twitter, Facebook, dan YouTube.

Kecanggihan teknologi informasi memungkinkan berbagai kalangan sosial untuk memamerkan diri dalam berbagai hal, tidak hanya mobil super mewah, seperti Rolls Royce, Lamborghini, Bentley, Aston Martin, Koenigsegg, Ferrari, Volvo, dan BMW.

Pamer diri dapat berupa pertemuan dengan tokoh terkenal, menghadiri acara eksklusif, menikmati kuliner mahal atau unik, serta mengunggah status sebagai narasumber di acara tertentu. Tujuannya adalah pengakuan atas diri mereka.

Ilustrasi foto: https://www.pexels.com/id-id/foto/wanita-dalam-blazer-hitam-memegang-mug-keramik-putih-

Fenomena flexing di media sosial mencerminkan kebutuhan dasar manusia akan pengakuan dan penerimaan. Namun, ketika kebutuhan ini diekspresikan melalui pamer kemewahan, terutama oleh figur publik, seperti Atta Halilintar dan Steven Setiono dari kelompok Crazy Rich Surabaya, hal ini dapat menciptakan efek domino negatif.

Contoh nyata dari fenomena flexing dapat dilihat pada Atta Halilintar, seorang YouTuber terkenal, sering memamerkan gaya hidup mewahnya di channel YouTube-nya, seperti mengunjungi rumah selebriti dan pejabat untuk menunjukkan kemewahan mereka.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline