Lihat ke Halaman Asli

trimanto ngaderi

Penulis Lepas

Pengalaman Itikaf di Darusy Syahadah

Diperbarui: 29 April 2022   21:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suasana kajian menjelang buka puasa (dok. pribadi)

PENGALAMAN ITIKAF DI PONPES DARUSY SYAHADAH

Bagi pegawai formal seperti saya, bisa ikut itikaf di 10 hari terakhir Ramadhan adalah hal yang tidak mudah. Kendala utamanya adalah belum libur kerja. Lalu saya berpikir, masak sih dari 365 hari yang kita miliki, tidak bisa menyisihkan 10 hari saja khusus untuk Allah, menyisihkan 0,027% saja dari waktu setahun yang kita miliki.

Memang afdhal-nya sih itikaf itu selama 10 hari penuh full berada di masjid, tidak keluar dari masjid atau melakukan aktivitas lain selain beribadah. Itu afdhal-nya. Jikalau kita tidak bisa menggapai yang afdhal, ya kerjakan saja sesuai kemampuan, toh itikaf hukumnya tidak wajib. Daripada tidak ikut sama sekali, masih lebih baik ikut walau tidak sepenuhnya (tidak sempurna).

Akhirnya saya putuskan untuk ikut itikaf, walau di siang harinya mesti izin untuk tetap masuk kerja. Atau bagi sebagian yang lain, karena dia orang perantau, ikut itikafnya kurang dari 10 hari, sisa harinya digunakan untuk mudik.

Ikut itikaf di Ponpes Darusy Syahadah yang berlokasi di Kecamatan Simo, Kabupaten Boyolali ini bukanlah hal yang tiba-tiba. Diawali dari rasa penasaran terhadap seperti apa dan bagaimana sih pondok ini. Beberapa waktu lalu, saya mendengar ponpes ini memiliki "citra buruk" di sebagian kalangan masyarakat. Ditambah lagi gencarnya pemberitaan media massa yang memberikan stigma negatif terhadap personal atau lembaga pendidikan tertentu.

Saya termasuk orang yang tidak mudah percaya hanya dari mendengar, apa kata orang, sebelum mengenal dan melihat secara langsung agar sampai pada tahap "ainul yaqin". Berawal dari perkenalan saya dengan salah seorang ustadz pondok ini di sebuah BMT dan saya sempat bertanya perihal Darusy Syahadah. Ditambah lagi tugas pekerjaan saya yang setiap tiga bulan sekali mesti mendatangi pondok ini untuk keperluan kelengkapan administrasi bagi santri yang mendapatkan bansos dari pemerintah.

Selanjutnya, saya pun mengenal beberapa ustadz yang lain, termasuk pegawai pondok dan beberapa santri. Kesan pertama setelah bertemu dan ngobrol banyak hal dengan mereka, mereka ramah, hangat, bahkan ada yang humoris. Saya merasakan sorot mata yang tulus, bersahabat, dan ekspresi persaudaraan.

Ketika mendengar di pondok ini mengadakan itikaf, saya pun mantap memutuskan mendaftar. Terus terang, rasa penasaran saya terhadap pondok ini belum terjawab sepenuhnya. Saya ingin melihat secara langsung kehidupan sehari-hari di pondok ini. Bagaimana lingkungannya, kebiasaan para asatidz, seperti apa anak-anak mereka, dsb.

Kini, empat kali sudah saya ikut itikaf di sini. Sudah banyak yang aku kenal, termasuk akrab dengan anak-anak mereka, juga menghafal nama anak-anak mereka. Rasanya sudah seperti keluarga sendiri, seperti menjadi bagian dari mereka. Dan saya pun merasa bahagia bersama mereka.

Saya juga melihat kesederhanaan dari hidup mereka, sikap tawadhu', manusia pembelajar, punya keteladanan, dan berorientasi akhirat. Hal menginspirasi saya untuk beramal saleh lebih banyak lagi, selalu bermuhasabah (memperbaiki diri), dan berusaha meningkatkan kualitas spiritual.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline