Penyandang Disabilitas : TakCukup Hanya Dikasihani
*Tri Lego Indah F N
Kebijakan pemerintah selama ini terhadap kaum difabel (penyandang cacat), cenderung hanya berbasis belas kasihan. Belas kasih inipun biasanya juga terjadi pada moment-moment tertentu. Seperti saat ini, dimana tanggal 3 Desember diperingati sebagai Hari Disabilitas Internasional. Para pembuat kebijakan ikut-ikutan menghadiri peringatan hari difabel, berjanji ini itu yang sedikit menentramkan para Difabel, namun nyatanya, itu semua nonsense. Lagi-lagi, para difabel hanya bisa gigit jari, dan kembali ke habitatnya; sebagai orang-orang yang termarjinalkan dan tak terberdayakan.
Rasanya hal ini kurang arif, jika kita kaji kembali Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat (disabilitas).Di undang-undang tersebut termaktub tujuan agar Pemerintah berupaya meningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, serta memberikan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.
Namun pada kenyataannya, aplikasi dari undang-undang tersebut masih jauh dari harapan. .Hak para Difabel secara mendasarpun masih tetap terabaikan seperti hak untuk berkehidupan layak. Diskriminasi masih ikut mewarnai kehidupan mereka. Diskriminasi baik di bidang pendidikan, ketenaga kerjaan, pelayanan kesehatan, maupun aksesbilitas.
Sebagaimana dilansir oleh Tribunnews.com (22/10) bahwa tiga penyandang disabilitas yang mengikuti seleksi komisioner komnas HAM dinyatakan tidak terpilih. Padahal mereka memiliki kualitas yang cukup mumpuni saat menjalani fit and proper test. Bisa jadi, hal ini diakibatkan karena ada anggapan bahwa para difabel ini tidak akan lincah bekerja seperti non difabel bila terpilih nanti. Padahal, jika saja mereka masih diberikan kesempatan, bisa jadi mereka bekerja lebih baik daripada non difabel. Hal ini bisa saja terjadi karena para difabel memiliki kepekaan yang lebih kuat karena mereka juga mengalami diskriminasi.
Sekali lagi, tak cukup hanya belas kasihan. Tapi dukungan, pengakuan, dan persamaan hak yang mereka harapkan. Dari salah satu episode yang ditayangkan oleh Kick Andy (23/11) lalu, kita bisa menyaksikan bahwa para difabel tidak butuh hanya dikasihani. Tapi juga mereka ingin dipersamakan haknya dengan para non Difabel. Mungkin, berangkat dari sanalah, lahir sosok-sosok seperti Muhammad Bakri, Fitri Nugraha Ningrum, Angkie Yudistia-para Difabel yang memperjuangkan hak sesamanya dengan segala upaya yang mereka bisa.
Masyarakat non difabel, dan pemerintah,tak boleh lagi menutup mata dengan keberadaan mereka. Stigma yang sudah melekat bahwa para difabel adalah aib bagi keluarga yang kemudian harus dipinggirkan, kiranya anggapan demikian harus mulai kita buang jauh-jauh. Diluar segala ‘keistimewaan’ yang diberikan Tuhan kepada mereka, para difabel ini juga berhak diakui keberadaannya. Mereka pun bisa sejajar dalam berprestasi dengan para non difabel. Selain 3 tokoh yang ditampilkan di Kick Andy (23/11) pada episode “Aksi Nyata Anak Bangsa”, di luar sana, masih banyak para difabel yang juga punya prestasi. Kita akan tercengang ketika mengetikkan keyword sosok Habibie Afsyah di pencarian google. Habibie Afsyah adalah Difabel yang menerjang keterbatasan, dari segala ketidakmungkinan menjadi mungkin. Kini ia sukses menjadi master internet marketing, dengan omset 100 juta per bulan.
Berkaca dari para Difabel yang sudah ‘berbuat’ itu, masihkah kita hanya cukup mengasihani? Coba tanyakan pada nurani masing-masing.
*Anggota group Forum Kartunet Community,
(Group tempat sharring Difabel dan non Difabel).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H