Lihat ke Halaman Asli

Sri Sang Pustakawan

Diperbarui: 25 Juni 2015   05:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sri Sang Pustakawan

by : Tri Lego Indah F N

“Kenapa Sri, kamu melamun di situ?” Suara Nyonya Nimas membuyarkan lamunanku. Aku asik melihat Jacob-anak Nyonya Nimas berdiskusi dengan teman-temannya.

“ Ndak, Nyonya, ndak ada apa-apa.” Aku segera kembali ke duniaku, menggeluti pekerjaan yang delapan tahun ini mulai kuakrabi.

***

Aku adalah seorang pekerja di sektor rumah tangga. Sri Prihatini, nama yang diberikan orang tua saat aku lahir benar-benar membuat hidupku prihatin hingga kini. Ibuku meninggal saat aku baru berusia 5 tahun dan aku juga tak tahu di mana rimbanya ayahku. Semenjak kecil aku dirawat nenek.

Nenek hanya mampu menyekolahkan aku hingga sekolah dasar. Saudara-saudara ibu pun tak ada yang peduli denganku. Kehidupan saudara-saudara ibuku yang jauh lebih mapan, namun tak terbesitpun keinginan untuk sedikit memerhatikan nasibku. Boro-boro mengadopsiku. Sekedar menegurku pun mereka tak mau. Entah mungkin karena aku hanya seorang gadis desa yang kini telah piatu. Beruntung aku masih punya nenek, yang masih mau merawatku. Namun, di akhir desember lalu, di tengah keceriaan teman sebayaku menyalakan kembang api menyambut tahun baru,justru menjadi hari kelabu untukku. Malaria, iya, penyakit malaria itu merenggut nyawa nenek di penghujung desember. Ketiadaan biaya membuat aku tak mampu membawa nenek ke rumah sakit. Aku hanya memberikan ramuan tradisional seperti yang disarankan para tetangga. Namun, segala usahaku rasanya sia-sia. Nenek kini telah berpulang ke negeri keabadian.

Semenjak saat itu, hanya sepi yang berkawan akrab denganku. Beruntung, beberapa tetangga masih ada yang peduli denganku. Mereka mau mengirimi aku makanan dan sekali dua kali mengajak aku makan di rumah mereka. Namun aku tak mau terus-terusan makan dari hasil belas kasihan. Aku ingin mandiri. Tanpa merepotkan banyak orang.

Dengan modal nekat dan modal beberapa lembar rupiah yang kupunya, aku memutuskan untuk hijrah ke Ibukota. Mencari pekerjaan apa saja yang penting halal dan mampu membuat diriku tetap bisa bertahan.

Meskipun aku juga tak tahu akan bermuara dimanakah aku nanti, yang jelas, aku terus melangkahkan kakiku. Berulangkali aku keluar masuk area pertokoan, warung makan, maupun tempat laundry. Bukan untuk membeli sesuatu di toko, membeli makan di warung makan, atau melaundrykan pakaian kumalku, namun, aku menawarkan jasaku untuk bisa dipekerjaan di sana. Dan ternyata hasilnya tak seperti yang kuharapkan. Semua nihil. Mereka semua sedang tidak membutuhkan pekerja tambahan. Aku hampir putus asa. Namun segera aku tepis rasa itu. Aku tak boleh menyerah. Aku akan terus berusaha sampai aku mendapat pekerjaan.

Rasa lelah mulai menderaku. Lututku sudah mulai gemetaran. Perutku mulai terasa perih. Kepalaku mulai terasa pening. Ya Robbi, seharian ini aku tak makan sesuap nasipun. Uangku sudah hampir habis untuk turun naik angkutan umum seharian tadi. Badanku sudah mulai limbung. Jalanku terhuyung-hujung dan akhirnya semua rasanya gelap.

***

Kupicingkan mataku. Kupaksakan diri untuk bisa bangun. Tapi tangan lembut itu, mencegah usahaku. Dimintanya aku untuk tetap berbaring saja. Mengingat kondisiku masih sangat lemah.

Perempuan bertangan lembut itulah, Nyonya Nimas. Pemilik Butik ‘Shakilaraya’ di bilangan Tanah Abang, Jakarta. Dari cerita Suster Dyani, nyonya Nimaslah yang menolongku membawa ke puskesmas ini.

Ketika kesehatanku berangsur pulih, dan kami sudah bisa mengobrol, tahulah kini nyonya Nimas bagaimana sampai aku kelelahan dan pingsan. Aku menceritakan dengan detail perihal kematian Nenek dan juga keinginanku mencari pekerjaan di Jakarta. Dengan takzim, Nyonya Nimas mendengarkan ceritaku. Meskipun baru sekali itu aku bertemu, namun begitu lancar aku membagi kisah senduku padanya. Sungguh Allah selalu punya caranya yang indah untuk umatnya. Termasuk caranya memberikan kejutan itu untukku. Nyonya Nimas menawarkan kepadaku untuk tinggal dan bekerja di rumahnya. Karena kebetulan bisnis butiknya lagi ramai-ramainya sehingga sangat kerepotan mengurus rumah dan juga mengurus butiknya. Dengan senang hati, aku terima tawaran Nyonya Nimas dan berulangkali menyampaikan rasa terimakasihku padanya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline