Lihat ke Halaman Asli

Amien Rais (Mungkin) Memasung Prabowo

Diperbarui: 18 Juni 2015   04:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pengacara OC Kaligis mengatakan artis Andriani Marshanda alias Caca (25) dipasung selama delapan hari di sebuah rumah sakit swasta di Jakarta Pusat. Motivasi pemasungan tersebut karena sejak kecil Caca dijadikan "mesin" anjungan tunai mandiri (ATM) untuk mendapatkan uang sebagai artis.

Menurut penulis, Amien Rais, melalui manuver-manuvernya telah ‘memasung’ Prabowo dengan cara menaruhnya di tempat yang terlalu tinggi. Penempatan ini mengakibatkannya tidak mungkin balik lagi ke titik semula (istilahnya no point of return). Prabowo ‘terpasung’ seperti cerita tentang Marshanda di atas.

Singkat cerita, Prabowo Subianto memang dikenal orang karena ganteng serta sukses sebagai pengusaha. Berkenaan dengan kegantengannya, tidak ada catatan yang menyejajarkan namanya dengan playboy yang biasa disebut PHP (Pemberi Harapan Palsu). Namun, mungkin ‘gen’ dia memang tidak mengalirkan sifat gonta-ganti pasangan. Karena itu wajar jika dia sukses dalam usaha, karena modalnya tidak lari ke perempuan-perempuan yang akan setia menunggunya di luar sana.

Ketua Majelis Pertimbangan Partai Amanat Nasional Amien Rais, salah satu pilar penting politik di Indonesia yang ikut membidani lahirnya reformasi dan berakhirnya era pemerintahan Orde Baru, dalam orasi kampanye untuk Prabowo mengatakan, rakyat Indonesia harus memilih calon presiden yang tampan dan kaya raya sepertinya. Menurutnya, hal tersebut sesuai dengan ajaran Islam.


"Umat Islam itu, kalau pilih presiden pilih yang ganteng. Lalu, pilih juga yang hartanya banyak," kata Amien, di kota Solo, Kamis,tanggal 29 Mei 2014. Sikap dan pilihan seperti diungkapkan Amien Rais di atas, menuai kritik serta dianggap naif dan aneh oleh banyak orang belakangan ini. Apalagi, Amien mengajak publik agar memilih Prabowo terutama karena faktor kekayaan dan ketampanan.

Wirausahawan Hasnil Fajri menilai Amien Rais naif karena mengajak publik untuk memilih pemimpin yang kaya dan ganteng. Hasnil mengaku heran karena orang sekaliber Amien, seorang terpelajar dengan titel profesor doktor, serta seorang dosen, bisa mengucapkan hal tersebut. "Yang dibutuhkan masyarakat adalah pemimpin yang kaya kepedulian, kaya nurani, kaya perhatian pada rakyat. Bukan pemimpin yang kaya harta benda. Naïf dan aneh orang sekaliber Amien Rais mengajak orang memilih hanya karena kekayaan harta saja," kata Hasnil di Jakarta, Jumat 30 Juni 2014.

Dalam catatan sejarah hidupnya, Amien Rais memperdalam dua bidang kajian yang sangat lekat dengan hidup Amien Rais, yaitu politik dan Islam. Ia memperoleh gelar doktornya (Ph.D) dalam bidang ilmu politik dari the University of Chicago, Amerika, maka wajar bilamana dalam kesempatan berperan dalam kancah politik untuk ke sekian kalinya itu, dimanfaatkannya secara maksimal. (Mungkin) mumpung ada yang mempercayainya lagi setelah gagal dalam pilpres yang pernah dia ikuti pada tahun 2004.

Sekalipun memiliki gelar profesor, yang diperolehnya dari Universitas Gajahmada (UGM), Jogyakarta, serta menjadi dosen, Amien Rais memilih untuk tetap menjadi seorang politisi. Sehingga orang awam dalam situasi tertentu akan mengalami kesulitan untuk melakukan pemilahan antara pandangan pribadi, politik, dan akademisi.

Amien Rais tersebut sebagai salah satu tokoh nasional yang menyerukan reformasi total dalam pemerintahan dan menuntut lengsernya presiden Soeharto, mertuanya Prabowo. Dia memotori pembentukan Poros Tengah saat persaingan politik nasional sedang memanas memperebutkan kursi kepresidenan setelah BJ Habibie.

Prof. Dr. H. Amien Rais, lahir di Solo, Jawa Tengah, 26 April 1944, adalah politikus yang pernah menjabat sebagai Ketua MPR periode 1999-2004. Dia memperjuangkan secara habis-habisan, supaya Prabowo terpilih sebagai presiden dalam pilpres 2014, bahkan jika perlu ‘memperalat’ anak-anaknya untuk mencapai kemenangan itu. Tasniem Fauziah, anak putrinya membuat surat terbuka kepada Jokowi yang dimintanya ‘untuk ngaca’ (introspeksi, atau kasarnya supaya tahu diri). Terkesan Jokowi itu ‘juniornya,’ surat terbuka yang dia buat seolah memerintahkan ‘Tidak usah tanya mengapa, dan jangan dijawab.” Identik dengan sikap otoriter dalam negara demokrasi seperti Indonesia ini. Kitapun jadi diingatkan tentang istilah ‘Don’t Ask, Don’t Tell,’ yang ramai diperbincangkan di Amerika. Bedanya, istilah mereka berkaitan dengan gay dan lesbianisme dalam angkatan bersenjata Amerika.

Amien Rais pada kesempatan lain mengatakan, selama 10 hari satu hotel bersama Prabowo, dia mengenal betul sifat dan kepribadian Prabowo. Di mata Amien, Prabowo adalah sosok yang agamis, tidak arogan, tidak kementus dan kemaki. "Kalau ada yang bilang Prabowo galak itu tidak benar, saya bisa buat testimoni," ungkapnya.

Berbeda dengan Amien Rais yang kenal Prabowo setelah dewasa, sehingga boleh dikata tidak memiliki catatan tentang Prabowo usia dini. Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra Hashim Djojohadikusumo mengungkapkan kenangan masa kecilnya dengan sang kakak, yang menurutnya, sejak muda, Prabowo memang dikenal sebagai sosok yang keras.  "Kakak saya orang yang sangat keras. Saat kecil, saya sering digebukin," ujar Hashim, dalam sambutannya di acara Deklarasi Sahabat Akbar Tandjung, di Pancoran, Jakarta, Kamis tanggal 5 Juni 2014.

Dengan ucapan Hashim ini, maka pendapat Amien Rais, apalagi keberaniannya membuat testimoni tentang sisi ‘kelembutan’ Prabowo, terpatahkan.

Isu bahwa Prabowo sosok yang bertemperamental tinggi timbul tenggelam seiring dengan waktu. Isu itu dimulai ketika dia melakukan pendaftarannya sebagai calon presiden di gedung KPU, Selasa, 20 Mei 2014. Di situ dia melancarkan straight punch-nya ke wajah seorang laki-laki yang kemungkinan seorang petugas keamanan KPU. Isu itu disusul dengan Prabowo Subianto memukul penyanyi Ahmad Dhani gara-gara kecewa terhadap  video klipnya, yang merubah lirik lagu We will rock you serta berpakaian ala Nazi. Isu ini naik ke permukaan Rabu, 2 Juli 2014. Namun buru-buru Dhani membantah kabar dirinya digampar oleh Prabowo. Isu ketiga menyebutkan dia pernah memukuli Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat keduanya masih menempuh pendidikan di Akademi Militer (Akmil). Bak seorang nahkoda yang mesti pasang badan untuk menyelamatkan kapal (keluarga dan Partai Demokrat), SBY melalui juru bicaranya, Julian Aldrin Pasha, tanggal 7 Juli 2014, mengatakan:”Tidak benar, sebagaimana dalam berita yang disebutkan ada pemukulan.”

Bukan hanya keras dalam karakter saja, kerasnya hidup yang dialami Prabowo dimulai sejak usia 6 tahun, karena ia merasakan hidup dalam pelarian di luar negeri. Ia mengikuti Soemitro Djojohadikusumo, bapaknya, yang terlibat dalam pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia/Perjuangan Rakyat Semesta (PRRI/Permesta).

Berbeda cara Amien Rais menyanjung Prabowo, ia menilai Joko Widodo memiliki pengalaman yang sedikit dan tidak mampu memimpin Indonesia pada 2014-2019.

"Saya melihat ada semacam kata-kata yang datang dengan mudah dan perginya juga mudah. Artinya, dia itu melambung jadi presiden dari latar belakang cekak (minim) pengalaman," ujar Amien di rumah Polonia, Cipinang Cempedak, Jakarta Timur, Minggu 3 Agustus 2014.

Menurut Amien, Jokowi, sapaan Joko Widodo selama menjadi Wali Kota Solo, tidak terlalu sukses membangun Solo lebih maju dan ketika jadi Gubernur DKI Jakarta pun tidak bisa mengatasi permasalahan kota metropolitan tersebut. "Kok tiba-tiba jadi presiden yang cukup kompleks," cetusnya.

Membuka kembali cerita pada masa Orde Baru, konon kata Pak Harto, panggilan akrab mantan Presiden Soeharto:” Syarat jadi presiden harus punya pengalaman.” Kriteria itu disampaikannya sebelum dilakukan sidang umum MPR untuk memilih dan mengangkat presiden pada masa itu. Maksud Soeharto (mungkin) adalah calon presiden harus berpengalaman sebagai ‘presiden.’ Bila mengacu kepada kriteria ini, tentu saja hanya Pak Harto yang memenuhi syarat sebagai calon presiden dan hanya satu-satunya pilihan pada saat itu.

Amien Rais menggarisbawahi bahwa capres pada pilpres 2014 baru lalu harus berpengalaman. Kata pengalaman ini mengajak publik untuk berpikir, mungkin yang dimaksudkannya adalah (1). Pengalaman menjadi presiden, (2). Pengalaman mencalonkan diri sebagai (wakil) presiden, (3). Pengalaman menjadi menantu presiden, (4). Pengalaman ‘hampir melakukan kudeta’ terhadap presiden yang berkuasa, (5). Pengalaman menjadi presiden (Ketua Umum/Ketua Dewan Pembina Pembina) partai politik, (6). Pengalaman menjadi presiden (Ketua Umum) organisasi kategorial (non partai/non ormas) tingkat nasional.

Jika itu benar, tentu saja, pilihannya cuma satu, yakni Prabowo Subianto, seorang dengan seabreg ‘gelar’ dan nama yang identik dengan kata ‘pengalaman sebagai presiden.’ Karena dia adalah (bekas) menantu Presiden Soeharto, pernah mencalonkan diri sebagai Wakil Presiden bersama Megawati pada pilpres 2009, konon berdasarkan ceritanya sendiri, Prabowo pernah berpikir untuk melakukan kudeta terhadap presiden Habibie yang berkuasa pada saat itu menggantikan Pak Harto, mertuanya; menjabat Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, serta mantan Ketua Umum HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia).

Karena dikondisikan sedemikian rupa, membuat Prabowo memilih berprinsip tidak ada kata menyerah kalah, mengalah, atau dikalahkan. Sekalipun berkali-kali dia mengatakan siap menang dan siap kalah. “Kalah bukan pilihan,” katanya suatu saat.

Amien Rais di masa reformasi sangat lekat dengan julukan sebagai King Maker. Julukan itu merujuk pada besarnya peran dia dalam menentukan jabatan presiden pada Sidang Umum MPR tahun 1999 dan Sidang Istimewa tahun 2001. Dimana Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Megawati Soekarnoputri terpilih sebagai presiden.

Amien Rais bisa jadi tidak ingin kehilangan kesempatan ‘mencetak’ presiden untuk ketigakalinya, pada umur 70 (tujuh puluh). Pilihannya ini tentu sah-sah saja. Namun kita telah belajar bagaimana mahalnya harga pilihan tersebut. Prabowo terpasung di atas langit (angan-angan), dan ‘memaksa’ rakyat untuk memilihnya sebagai presiden. Indonesia terpasung pada situasi yang memicu terjadinya ‘destabilitas’ seperti demo dimana-mana, yang berujung ‘bentrok’ dengan polisi dan KPK. Pengerahan massa dilakukan baik di KPU, KPK, MK, dan tempat-tempat lain, ditambah rencana people power, pansus DPR, kriminalisasi pimpinan KPU serta rencana-rencana lain yang belum terungkap di publik. Jika itu semua dirupiahkan, sudah pasti akan sangat tinggi nilainya.

Maka perlu dikaji kembali ungkapan tentang ‘Prabowo butuh king maker untuk jadi presiden. Jika bukan Amien Rais siapa lagi. Jika bukan sekarang kapan lagi.’

*) artikel lainnya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline