[caption id="attachment_355027" align="aligncenter" width="498" caption="Rekaan Tol Laut"][/caption]
Gagasan mengembangkan 'tol laut' Joko Widodo, seperti diketahui mengundang kontroversi. Konsep Presiden terpilih ini adalah bagaimana sebuah sistem bisa menghubungkan pulau-pulau di seluruh Indonesia. Dengan tol laut, dia bermaksud mengefisienkan distribusi logistik antar-pulau di tanah air. Konsep ini pernah dipresentasikannya dengan judul "Restorasi Maritim" pada Seminar Nasional Bidang Kelautan dan Launching Hari Nusantara 2014 memperingati Hari Kelautan Sedunia, di Gedung Merdeka, Bandung, Rabu 11 Juni 2014.
Ide yang diungkapkan beberapa kali oleh Jokowi ke muka publik memang benar bernama 'tol laut.' "Akan tetapi, bukan membuat jalan tol di atas laut," katanya. "Tol laut merupakan jalur distribusi logistik menggunakan kapal laut dari ujung pulau Sumatera hingga ujung Papua. Jadi di tengah-tengah, kita buat pelabuhan dalam. Dengan sistem tol laut ini, harga barang bisa sama," ungkapnya.
Tol laut sebenarnya dapat diwujudkan dalam beberapa bentuk seperti (1) ‘Jembatan’ (jalur) dari kapal ke kapal berukuran besar yang berlayar dari dermaga ke dermaga (di lepas pantai), dari dermaga ke pelabuhan (pantai), atau dari pelabuhan ke pelabuhan, (2). Jembatan di atas laut dari satu titik ke titik berikutnya, (3). Terowongan bawah laut, dan (4). ‘Kabel Laut,‘ semacam gondola yang berjalan di dalam terowongan fleksibel di tengah kedalaman air laut (mengambang).
Namun ide tersebut dianggap beberapa pengusaha kapal tidak realistis untuk saat ini. Seklipun demikian, Kementerian Perhubungan ternyata sepakat dengan ide Jokowi itu. Carmelia Hartoto, Ketua Umum Indonesia National Shipowners Association (INSA), menyebut kurang tepat apabila rencana tol laut benar-benar akan diwujudkan. “Dibanding menyediakan kapal besar dengan ukuran 3.000 twenty-feet equivalent units (TEUs), pemerintah baru sebaiknya membangun pelabuhan ataupun industri secara merata. Pelabuhan dan industri dibangun saja dulu di Indonesia timur," kata Carmelia Sabtu, 24 Mei 2014.
Indonesia membutuhkan seorang visioner seperti Jokowi. Tidak sekedar berpikir konservatif dengan mengutamakan kekinian (kontemporer) dan kepentingan sesaat. Kepentingan sesaat tersebut bisa jadi status quo dalam bentuk ‘tata niaga’ transportasi laut. Mereka (para pemain) telah merasa nyaman dengan kondisi saat ini, dimana ‘sistem telah terorganisir’ sedemikian rupa, sehingga ‘profit’ nya bisa diukur dari tahun ke tahun, (mungkin) tanpa berkeringat lagi.
Jembatan Selat Sunda adalah salah satu ide visioner ‘tol laut’ dalam bentuk jembatan yang melintasi Selat Sunda sebagai penghubung antara Jawa dengan Sumatera. Proyek ini dicetuskan pada tahun 1960 dengan panjang keseluruhan 31 kilometer dengan lebar 60 meter, dan ketinggian maksimumnya 70 meter dari permukaan air laut. Jika tol laut ini dibangun dalam bentuk terowongan, maka kedalamannya sekitar 40 meter di bawah dasar laut. Soft launching tol laut ini dilakukan pada tahun 2007 dan konon akan dimulai pembangunannya pada tahun 2010, serta diperkirakan dapat dioperasikan pada tahun 2020. Namun, karena tidak ada titik temu secara finansial dan politik, maka ide yang rencana awalnya memakan biaya 10 miliar dollar ini 'terbengkalai' sekarang.
Bangsa Indonesia perlu belajar bagaimana UEA (Uni Emirat Arab) membangun megastruktur masa depannya. Pemerintah di negara tersebut membangun infrastruktur dan megastruktur tidak hanya pada saat ekonomi sedang ‘booming’, tetapi pada saat krisis (penurunan) pertumbuhan ekonomi pun, mereka mengambil risiko untuk berinvestasi jangka panjang bagi kemakmuran negeri dan rakyatnya.
Megastruktur di Dubai, UEA, yang telah sukses dibangun tersebutlah, yang paling terkenal, Dubai Palm Islands, pulau-pulau buatan yang terbesar di muka bumi. Serta megastruktur lainnya seperti Dubai Mall, Burj Dubai, O-14 Tower, Porsche Towers, P-17, Dubai Grand Pyramid, Arabian Blade, The Wave Tower, The Pixel Tower, The Infinity Tower, The Al-Sharq Tower, The Emaar Towers, The Lighthouse, Tiara United, The Lam Tara Towers, Golden Dome, Dubai Arch Bridge, Dubai Sky Dome, Space Science World, The Stellar Tower, Pal Jebel Ali, The Apeiron Hotel, Vision Tower, The Empire Tower, The Palm Tower, dan masih banyak lagi untuk disebut satu demi satu.
Contoh pembangunan tol laut yang telah sukses sebelum ini adalah The Channel, sebuah terowongan kereta api bawah laut sepanjang 50,5 kilometer (31,4 mil) yang menghubungkan Folkestone, Kent, di negara Inggris, dengan Coquelles, Pas-de-Calais, berdekatan dengan Calais di negara Perancis sebelah Utara. Terowongan itu ditanam di bawah Terusan Inggris (English Channel) pada Selat Dover (Strait of Dover). Titik terendah dari terowongan ini berada pada kedalaman75 m (250 ft).
Ide yang mendorong dibuatnya terowongan yang melintasi Terusan Inggris ini dimulai awal 1802 (lebih dari 2 (dua) ratus tahun yang lampau). Setelah mengalami berbagai hambatan, konstruksinya mulai dibangun pada tahun 1988, serta membutuhkan waktu penyelesaian selama 6 (enam) tahun. Terowongan kereta api tersebut dibuka untuk umum pada tahun 1994.
Biaya pembangunan ‘tol laut’ Inggris-Perancis ini sebesar £ 4.650 miliar (pundsterling), melampaui 80 (delapan puluh) persen dari rencana anggaran semula.
Proyek ini, dalam pelaksanaan konstruksinya tentu tidaklah mulus, karena terowongan tersebut mengalami kebakaran serta menghadapi terpaan musim dingin yang sangat berat. Selain masalah-masalah teknis, mereka masih menghadapi masalah politik dan sosial, diantaranya penyelundupan imigran gelap ke Inggris.
Terowongan ini pada awalnya mengangkut 18.4 juta orang di tahun 1998, sempat turun di angka 14.9 juta orang di tahun 2003, namun sesudahnya jumlah penumpang meningkat rata-rata 10 (sepuluh) persen per tahun sampai kini.
Selain tol laut, sejarah telah mencatat istilah Jembatan Udara (identik dengan tol udara, karena transportasi dilakukan ‘bypass’ lewat udara). Ceritanya, muncullah Blokade Berlin tanggal 24 Juni 1948 – 12 Mei 1949, dimana semua hubungan rel, air, dan jalan darat dari dan ke Berlin, Jerman diputus oleh Uni Sovyet. Sebagai tanggapan, Sekutu Barat mengadakan Jembatan Udara ke Berlin yang membawa sembako bagi penduduk Berlin Barat. Lebih dari 4.000 ton diperlukan oleh Berlin setiap harinya selama masa Koridor Udara ini. Sekutu menerbangkan lebih dari 13.000.000 sembako dengan 200.000 penerbangan ke Berlin. Operasi berlangsung selama lebih dari satu tahun.
Salah satu warisan nyata Jembatan Udara ini, ialah bahwa di Berlin Barat terdapat tiga bandar udara di setiap sektor Sekutu Barat, yaitu Tegel di Sektor Prancis, Gatow di Sektor Britania, dan Tempelhof di Sektor Amerika Serikat. Jembatan udara ke Berlin adalah operasi logistik besar-besaran. "Kami terbang siang dan malam," ujar Halvorsen, salah seorang penerbang Amerika yang terkenal saat itu. Hampir setiap menit ada pesawat terbang landas di Tempelhof. Jembatan udara ini mengakibatkan 78 orang tewas dalam kecelakaan udara.
Di Indonesia, tersebutlah sebuah peristiwa mogok kerja para pegawai “Garuda Indonesia” sehingga mengakibatkan kelumpuhan pada maskapai penerbangan ini, yakni pesawatnya tidak terbang dan terparkir di Pelabuhan Udara seluruh Indonesia. Saat itu tanggal 29 dan 30 Januari 1980 sebanyak 120 orang pegawai Garuda melakukan pemogokan dengan sengaja meninggalkan tugasnya dan tidak bersedia terbang.
Pemerintah segera mengerahkan pesawat-pesawat TNI Angkatan Udara dan Pelita Air Service untuk membantu menangani krisis angkutan udara dalam negeri. Sebagai tindaklanjut untuk mengatasi Krisis tersebut, tanggal 1 Februari 1980 dibentuklah Pusat Pengendalian Krisis (Pusdalsis) dengan tugas utamanya adalah menormalisasi angkutan udara dengan sandi “Operasi Jembatan Udara.” Pusdalsis secara nasional itu dibentuk, dengan pimpinan bersama antara Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) Laksamana TNI Sudomo, Sekretaris Jenderal Departemen Perhubungan A. Tahir, dan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Sugiri.
Jembatan udara juga dikenal sebagai jembatan dengan konstruksi tertutup yang dibangun sebagai penghubung antara dua bangunan tinggi guna melindungi pejalan kaki dan transportasi dari cuaca buruk dan keselamatan orang, serta mengurangi kemacetan lalu lintas. Rangkaian jembatan udara terbesar di dunia adalah +15 Walkway di Calgary, Kanada, yaitu sepanjang 18 km (11 mil). Atau Minneapolis Skyway System, sepanjang 8 mil (13 km) dan menghubungkan 69 blok di pusat kota Minneapolis, Amerika.
Di negara orang, setiap rencana yang bersifat visioner terlaksana setelah melewati berbagai ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan. Baik yang datang dalam bentuk spirit para pemimpinnya yang lemah, hujatan yang terlontar dari para penentangnya, serta gangguan alam dan kelalaian manusia.
Maka ide visioner ‘tol laut’ nya Jokowi layak untuk didukung dan diimplementasikan.
Menyoal masalah yang mungkin menghadang di depan, rakyat dan para pemimpin negeri ini sudah pasti akan mampu mengatasinya, bilamana terbentuk teamwork yang solid. Jokowi, selamat mengemban tugas!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H