Lihat ke Halaman Asli

Ikrar Sang Pendekar (92): Hukum Rimba

Diperbarui: 20 Oktober 2024   07:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumen Tri Handoyo

Oleh: Tri Handoyo

Setelah aman dari Si Iblis Betina, Arum mendengar suara pedang terjatuh. Ia melihat Lastri roboh di tangga. "Lastri!" Ia segera menghampiri murid wanita terbaiknya yang jelas tidak mampu lagi menyembunyikan nyeri akibat luka di lutut dan pundak kirinya.

"Aku tidak apa-apa, Mbak!" seru Lastri berusaha tersenyum, tapi yang tergambar di bibirnya adalah meringis sakit. Ia tadi memang merasa wajib untuk melindungi Guru Arum yang sedang hamil. Itu adalah sebuah amanat, maka ia memaksakan diri harus melakukan pembelaan meskipun dengan tangan kiri lumpuh dan kaki kanan terpincang-pincang, bahkan ia siap mati untuk itu.

"Terima kasih kamu sudah menolongku, Lastri!"

Lastri tidak bisa menjawab karena rupanya ia kembali pingsan.

Pada saat itu, Ki Kalong Wesi berdiri dengan wajah pucat. Matanya tajam menatap, bukan kepada Lintang yang hebat itu, melainkan ke atas tanah, di mana tubuh Iblis Betina terkapar tak bergerak. Sebelah tangan nenek jahat itu buntung dan sebelahnya lagi terbelah, dari telapak sampai setengah lengan. Kedua pupil mata Nenek Iblis itu melotot ke atas, mulutnya menganga lebar, karena berbarengan dengan jatuhnya tubuh itu nyawanya pun telah melayang untuk selamanya.

Begitu Ki Kalong Wesi menyadari bahwa Si Iblis Betina telah tewas, ia menjadi sangat murka. Ia menyerbu Lintang dengan segala kemampuan yang dimilikinya secara membabi buta. Pendekar Cebol, Ki Bajul Brantas dan Pendekar Golok Maut pun termotivasi untuk memperhebat daya serang mereka dari berbagai arah. Dengan garang golok-golok mereka bergerak sampai terlihat cahaya kilat menyambar-nyambar ketika tertimpa sinar matahari.

Sementara itu hati Ki Demang makin merasa was-was. Ia menunggu bantuan pasukan dari Tumenggung Legowo yang tak kunjung datang. Tidak sesuai rencana. Janjinya pasukan tumenggung yang lebih dulu datang menyerang padepokan, lalu Ki Demang dan orang-orangnya datang membantu.

Mahesa yang masih mampu mendesak lawan meskipun dikeroyok, menandakan bahwa pemuda itu memiliki kepandaian silat cukup tinggi.

'Kalau sampai muridnya saja seperti itu, alangkah hebat gurunya,' batin Ki Demang sambil mengira-ngira tingkat kepandaian lawannya itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline