Oleh: Tri Handoyo
Topo dengan mata kepala sendiri menyaksikan Tulus dan Ajeng berduaan di teras langgar. Dengan memendam emosi, ia kemudian menyuruh seseorang agar mengundang Ajeng untuk datang ke tempatnya.
Karena ingin cari muka, Ki Gong yang bertubuh tinggi besar berjalan menuju langgar dengan langkah lebar dan cepat. Dengan senyum ramah ia menyampaikan pesan Topo kepada Ajeng. Akan tetapi, kalau orang melihat senyum dan sepasang matanya yang liar, akan terlihat setan yang mengintai di balik sikap ramahnya.
"Terima kasih! Sampaikan kepada gurumu permintaan maaf saya karena tidak bisa memenuhi undangannya!" jawab Ajeng sopan namun tegas.
"Silakan Yuk Ajeng sampaikan sendiri di depan Sinuhun Surantanu!" kata Ki Gong dengan sikap setengah memaksa. "Mari, Yuk!"
Ajeng tampak sebal melihat itu, "Kalau saya tidak mau!"
"Terpaksa harus saya paksa!"
"Eh, apa kamu mau mengandalkan nama Topo sehingga berlagak jagoan?" tanya Ajeng. "Orang congkak biasanya ilmunya cekak! Jadi jangan 'juwama' ya!" Juwama adaah kosakata yang diambil dari nama pendekar Pertapa Sakti, yang berarti congkak, yang di kemudian hari bergeser menjadi jumawa.
"Kamu yang 'juwama'! Jangan berlagak suci, Mbakyu!" balas Ki Gong terpancing emosinya, "Jangan dikira saya tidak tahu waktu kamu menginap di tempat guru kami! Hi..hi.., sekarang kamu berduan dengan suami orang!"
Ajeng langsung menyerbu dengan pukulan dan tendangan ke lelaki tinggi besar itu. Serangan cukup berbahaya untuk membungkam omongan yang sangat menghina harga dirinya.