Lihat ke Halaman Asli

Ikrar Sang Pendekar (30): Benih-Benih Pemberontakan

Diperbarui: 26 Juli 2024   06:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumen Tri Handoyo

Oleh: Tri Handoyo

Wilayah hutan Glagahwangi, yang merupakan hadiah Bhre Kertabhumi (Brawijaya V) kepada putranya Raden Fatah (Raden Patah), telah berubah menjadi pesantren yang kian hari kian termasyur. Apalagi setelah pembangunan masjid agung yang dipelopori para wali telah selesai. Masjid yang berdiri begitu mengagumkan itu membuat Glagahwangi berkembang pesat dan menjadi simbol kekuatan Islam di Jawa.

Tidak bisa dipungkiri bahwa hal itu membuat beberapa golongan bangsawan Majapahit mulai merasa khawatir. Mereka mencoba mengingatkan Prabu Bhre Kertabhumi mengenai adanya kemungkinan bahwa kelak Raden Fatah akan memberontak. Raden Kusen yang kala itu sudah diangkat sebagai Adipati Terung diperintahkan Sang Prabu untuk memanggil kakaknya, Raden Fatah, agar segera menghadap ke Trowulan.

Setelah pertemuan itu, Bhre Kertabhumi merasa terkesan dan bertambah yakin akan kesetiaan Raden Fatah, sehingga kemudian merestui dan meresmikan kedudukan putranya itu sebagai bupati di Bintara. Tentu saja keputusan raja itu membuat para bangsawan semakin meradang. Ini menjadi titik awal tumbuhnya benih-benih pemberontakan di kemudian hari.

Glagahwangi kemudian berganti nama menjadi Demak, dengan ibu kotanya yang Bernama Bintara. Demak menurut bahasa Kawi memiliki arti 'pemberian'. Jika menurut bahasa Arab, Dema' bisa berarti 'air mata', yang menyiratkan sebuah perjuangan yang penuh penderitaan.

Raden Fatah adalah putra Bhre Kertabhumi dari seorang selir Tionghoa yang bernama Siu Ban Ci, putri seorang ulama di Gresik yang bergelar Syaikh Batong. Karena Sang Permaisuri Dwarawati yang berasal dari Campa merasa cemburu, maka Kertabhumi terpaksa memberikan selirnya itu kepada sepupunya, yaitu Arya Damar yang menjabat adipati di Palembang.

Setelah Siu Ban Ci melahirkan Jin Bun (Raden Fatah), putri Tionghoa itu kemudian dinikahi Arya Damar. Tidak lama kemudian putri itu hamil lagi dan melahirkan Kin San (Raden Kusen). Setelah menginjak dewasa, Raden Fatah dan Raden Kusen merantau ke Jawa dan kemudian keduanya berguru kepada Sunan Ampel di Surabaya. Berkat penjelasan Sunan Ampel, Prabu Kertabhumi akhirnya bersedia mengakui Raden Fatah sebagai putranya.

Sementara itu, beberapa bangsawan yang marah dengan raja akhirnya membelot ke Dyah Ranawijaya di Daha. Dyah Ranawijaya adalah putra Suraprabhawa Sang Singawikramawardhana alias Bhre Pandansalas.

Dulunya, Suraprabhawa yang baru berkuasa selama dua tahun di Majapahit, berhasil dikalahkan oleh Bhre Kertabumi. Ia kemudian melarikan diri ke Daha sampai akhirnya meninggal pada tahun 1474 Masehi. Dyah Ranawijaya kemudian berkuasa di Daha menggantikan ayahnya. Ia membagun prasasti untuk mengenang mendiang Suraprabhawa yang kemudian diberi gelar anumerta Bhatara Mokteng Dahanapura.

Dyah Ranawijaya merasa berhak mewarisi mahkota Majapahit sehingga terbesit niat untuk menuntut balas atas penggulingan ayahnya dari singgasana. Setelah mendapat dukungan dari beberapa bangsawan yang membelot, ia semakin yakin bahwa impiannya untuk merebut Majapahit dan memindahkan pusat pemerintahan dari Trowulan ke Daha bakal bisa terwujud. Sayangnya, muncul pesaing baru yang terus bergulir menjadi kekuatan besar, yakni Raden Fatah di Demak Bintara.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline