Oleh: Tri Handoyo
Mendung masih kelabu di atas langit Jombang, padahal telah diguyur hujan sepanjang pagi. Suara lalu lalang orang lewat di jalanan tidak mampu membangkitkan keceriaan sore itu.
“Saya khawatir!” Orang gendut itu berkata, “Saya takut orang-orang Trowulan mungkin sedang mengawasi kita!”
Orang yang bertubuh kekar dengan bulu lebat di dadanya, yang dikenal bernama Ki Paimo, menanggapinya dingin. “Kekawatiranmu itu tidak beralasan, Raden!”
Ki Paidi tertawa dan mendukung apa yang baru saja dikatakan Ki Paimo. Mereka bertiga duduk menghadap meja kotak jauh dari keramaian warung ayam bakar. Seorang gadis bertubuh menarik mendatangi meja, menawarkan menu makanan dan minuman. Mereka sebetulnya lebih tertarik kepada gadis itu daripada menu makanan yang ditawarkan.
“Nasi ayam bakar, urap-urap, dan wedang uwuh, Nduk!” pesan Ki Paimo cepat, pandangannya menyusuri dengan cermat sekelilingnya.
“Aku juga sama!” sahut Ki Paidi.
Orang gendut yang bernama Raden Kusno sedang sibuk mengelap mukanya yang penuh keringat dengan ujung lengan baju. Ia sengaja memperlambat memesan karena senang menikmati pemandangan gadis berkebaya itu dari dekat. Kalau saja tidak ada dua orang perkasa bersamanya saat itu, ia pasti sudah menggoda gadis itu.
“Pesan apa, Pak Raden?” Gadis itu mencoba mengingatkan Kusno. Ia merasa orang gendut itu sengaja berlama-lama.
“Sama saja semuanya, Nduk!” sahut Ki Paimo tidak sabar.