Lihat ke Halaman Asli

Malam Satu Muharam

Diperbarui: 6 Juli 2024   19:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumen Tri Handoyo

Oleh: Tri Handoyo

Tatkala berbagai persoalan terangkai, layaknya benang kusut masai yang tak akan pernah terurai, membuatku benar-benar kehilangan arah dan lunglai. Satu-satunya jalan keluar yang terbentang lebar adalah mengakhiri kehidupan. Hasrat untuk menamatkan halaman terakhirku begitu kuat, bagaikan teman masa kecil yang terlanjur akrab dan kerap gentayangan menghasut di saat-saat pikiran kalut, dilanda badai keputusasaan tak berkesudahan.

"Ingat Allah!" suara dari lubuk hati yang sunyi mengingatkan, sebuah nama yang terus terang membuatku sangat kecewa. Ya Allah, kesedihan yang telah lama bersemayam ini, dan telah mengeringkan sumur air mata, bukankah ini skenarioMu?

"Ingat Allah!" bisik suara hati sekali lagi. Ya Allah, tidak ada jalan kecuali penuh rintangan, berakhir buntu dan gelap, bukankah semua ini suratan takdirMu?

Semua itu kemudian menggiringku untuk melakukan pengembaraan, seorang diri, demi mendapatkan sesuatu yang entah aku sendiri belum tahu. Soalnya, ungkapan ketenangan batin yang sering aku dengar menurutku hanya ilusi. Teori semu belaka.

Aku ingat dulu pernah diajak seorang teman kuliah mengunjungi sebuah makam. Sudah lama sekali. Makam itu berada di bukit terpencil, jauh dari perkampungan penduduk. Masyarakat desa percaya bahwa itu adalah makam seorang wali. Aku sudah tidak ingat namanya, tapi masih ingat jalan menuju ke sana.

Lokasi makam keramat itu di kelilingi lembah dan ngarai yang menyelangi bukit-bukit anakan. Desa terdekat berjarak sekitar tiga kilometer. Itu menjadikannya sebagai salah satu tempat keramat bagi pecinta klenik, tempat memikat bagi pecinta kesunyian, dan tempat ideal bagi pecinta spiritual.

Setelah melalui jalur hutan yang naik turun dan berkelok-kelok, aku sampai di tempat tujuan. Bersamaan dengan terbenamnya matahari. Gelap lalu dengan cepat menyelimuti. Mendadak aku menyadari bahwa saat itu adalah malam satu Muharam. Malam satu Suro bagi orang Jawa. Malam yang sangat keramat.

Aku ingat ibuku pernah cerita bahwa pada malam satu Suro, saat nenek dan ibuku pada siangnya berpuasa dan malamnya tafakur menyambut pergantian tahun, aku yang berada dalam kandungan ibuku meronta-ronta, dan tidak lama kemudian janinku lahir ke dunia. Malam keramat itu adalah malam kelahiranku.

Aku istirahat sejenak di area makam. Angin berdesir, merayapi dinding-dinding yang bisu. Jelaga pekat yang tercipta dari asap kemenyan, yang telah melekat selama bertahun-tahun pada kafan pembungkus nisan, menimbulkan bau yang mengandung daya magis. Apalagi dengan suasana serba remang-remang. Begitu mistis.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline