Lihat ke Halaman Asli

Ikrar Sang Pendekar (19): Hati Raja Patah

Diperbarui: 27 Juni 2024   08:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumen Tri Handoyo

Oleh: Tri Handoyo

Peristiwa Bubat membuat beberapa musuh politik Gajah Mada mendesak raja agar memberi hukuman kepada mahapatih itu. Bahkan hukuman terberat, yakni mencopotnya dari kedudukan sebagai Mahapati Amangkubumi. Namun, langkah pencopotan itu dipandang akan berpotensi menimbulkan gejolak politik yang sangat besar, yang bahkan memungkinkan terjadinya perang saudara.

Gajah Mada memiliki pengaruh yang lumayan besar, bisa dibilang melebihi pengaruh sang prabu sendiri. Semua tahu bahwa jalannya roda pemerintahan berada sepenuhnya di bawah kendali sang Perdana Menteri tersebut. Sedangkan sang raja hanya duduk manis di atas singgasana dan tinggal menerima laporan saja. Itu yang membuat raja berada dalam posisi sulit untuk mengambil keputusan.

Perang saudara antara prajurit Majapahit yang mendukung dan menentang Gajah Mada memang hampir terjadi setelah peristiwa itu. Penentang Gajah Mada berasal dari golongan bangsawan yang marah akibat kehendak rajanya untuk segera memiliki permaisuri gagal. Sedangkan pendukung Gajah Mada kebanyakan berasal dari pasukan militer yang selama ini dengan setia berada di belakangnya. Apabila ditelusuri lebih jauh, mayoritas penduduk Majapahit memandang peristiwa Bubat bukanlah mutlak kesalahan Majapahit. Rakyat bisa memaklumi tindakan Gajah Mada, dan sama sekali tidak menyalahkannya.

Prabu Hayam Wuruk akhirnya hanya memilih mengurung diri, hingga berhari-hari. Ia merasa begitu sedih, marah, kecewa, dan yang jelas sangat patah hati.

Gajah Mada sendiri di dalam pembelaannya di hadapan dewan penasehat istana mengungkapkan bahwa selama ini sikap dan pandangan Majapahit terhadap kerajaan-kerajaan lain yang tersebar di seluruh penjuru Nusantara sudah jelas dan tegas. Majapahit menempatkan diri sebagai pemimpin dan pengayom wilayah Nusantara, dan kerajaan lain harus satu kata dengan Majapahit. Itulah arti dari kesatuan dan persatuan.

Sikap Majapahit tersebut tidak boleh berat sebelah. Tidak boleh membeda-bedakan. Mahapatih tersebut lebih memandang tunduknya kerajaan Sunda di wilayah barat tersebut mesti diberlakukan sama dengan tunduknya kerajaan-kerajaan lain, andaikata menolak, seharusnya ditundukan dengan kekuatan militer. Sedangkan sang prabu dan ibu suri lebih memilih langkah sebaliknya, harus tetap menempuh jalan damai.

Langkah menempuh jalan damai tersebut sudah dilakukan, salah satunya adalah dengan berbesanan. Akan tetapi, prinsip tegas Gajah Mada yang berharap Sunda Galuh bersedia tunduk, berujung pada kesalahan pengelolaan keadaan, sehingga terjadilah tragedi yang tidak diinginkan. Malang tak bisa ditolak, untung tak bisa diraih, itulah gambaran yang tepat untuk menggambarkan terjadinya tragedi Bubat.

***

Dalam Pararaton dikisahkan, setelah peristiwa Bubat, tidak lama kemudian Patih Gajah Mada Mukti Palapa, yaitu mengundurkan diri dari kepatihan dan melakukan pengembaraan. Namun pengembaraan tersebut tidak berlangsung lama, pada tahun Saka 1281 atau tahun Masehi 1359, Gajah Mada ikut serta dalam kunjungan Prabu Hayam Wuruk ke daerah Lumajang. Peristiwa tersebut tercatat dalam kitab Negarakertagama pupuh 18/2.

Pada tahun 1362, Prabu Hayam Wuruk mengadakan upacara Srada sebagai penghormatan untuk ibu suri Gayatri, Gajah Mada tampil ke depan, sebagai patih mangkubumi, mempersembahkan arca putri cantik yang sedang bersedih berlindung di bawah gubahan Nagapuspa yang melilit Rajasa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline